Senin, 30 Januari 2017

PROBLEMATIKA MADRASAH DAN ALTERNATIF SOLUSINYA

1. PENDAHALUAN

UU No 20/2003 menyiratkan peluang yang sama kepada madrasah dan pesantren yang bukan sekolah umum berciri khas Islam untuk mendapat pengakuan, penghargaan dan tidak didiskriminasikan. Namun, ditingkat implementasi pengelolaan, penyelenggaraan madrasah, apakah terjadi yang sedemikian atau sebaliknya ? Apakah tidak muncul tarik menarik terkait dengan kewenangan pengelolaan secara sentralisasi atau desentralisasi? mencuat pandangan dominan bahwa ketertinggalan pendidikan di madrasah disebabkan oleh perlakuan diskriminasi pemerintah. Benarkah demikian ?
Di era persaingan global ini, trend pendidikan mengalami pergeseran orientasi yang menempatkan pembangunan manusia seutuhnya melalui pendidikan dan latihan dengan beragam jenis, jenjang, sifat dan bentuknya. Pendidikan manusia Indonesia seutuhnya diidealisasikan menjadi titik puncak tercapainya pendidikan nasional yang sampai saat ini menjadi dambaan bangsa Indonesia. Sosok pribadi yang diidolakan belum juga dihasilkan, maka lembaga pendidikan dijadikan ekspektasi alternatif, sebagai instrumen utama proses kemanusiaan dan pemanusiaan, yaitu menghargai dan memberi kebebasan untuk berpendapat dan berekspresi. Penghargaan yang demikian adalah benih yang mulai tumbuh, dan sebagai sebuah proses kebebasan terus-menerus diperjuangkan.
Bagaimana mungkin bisa menjadi manusia yang sesungguhnya, kalau dalam realitasnya memang pendidikan Islam sebagai subsistem dinilai masih kering dari aspek pedagogis, dan lebih mekanistik dalam menjalankan fungsinya sehingga terkesan hanya akan melahirkan peserta didik yang ”kerdil” karena tidak memiliki dunianya sendiri. Menurut Ma’arif, konsep pendidikan telah dipaksa untuk menuruti konsep development-kapitalis yang terelaborasi sedemikian rupa, demi memenuhi kebutuhan industrialisasi, sehingga pendidikan yang seharusnya menjadi media pemberdayaan malah menjadi sarana pembodohan yang sistematis, penciptaan robot-robot intelektual yang terprogram secara maraton dan monoton.
Pendidikan dalam Islam pada hakekatnya adalah untuk semua (education for all), sebagai hak individu warga negara dan juga warga dunia memiliki hak memperoleh pendidikan secara adil. Ternyata, hal yang semestinya merupakan hak tersebut kini tergantikan oleh pendidikan sebagai barang dagangan. Pendidikan menjadi ritus masyarakat yang membodohkan karena mereka yang tidak sekolah dianggap bodoh. Bahkan pendidikan menjadi penyebab terjadinya ketidakadilan, karena masyarakat yang mampu sekolah adalah golongan elite yang kaya sedangkan mereka yang tidak mampu sekolah adalah masyarakat miskin.
Di sisi lain, menurut Fadjar dalam Rahardjo menyatakan bahwa kurang tertariknya masyarakat untuk memilih lembaga-lembaga pendidikan Islam sebenarnya bukan kerena telah terjadi pergeseran nilai atau ikatan keagamaannya yang mulai memudar, melainkan karena sebagian besar lembaga pendidikan Islam yang ada kurang menjanjikan masa depan dan kurang responsif terhadap tuntutan dan permintaan saat ini maupun mendatang. Padahal, paling tidak ada tiga hal yang menjadi pertimbangan masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan, yaitu nilai (agama), status sosial dan cita-cita.

11. LATAR BELAKANG
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia, muncul dan berkembang seiring masuk dan berkembangnya Islam di negeri ini. Madrasah mengalami sejarah panjang pasang surut perkembangan seirama perkembangan Bangsa Indonesia. Baik sejak masa kesultanan, penjajahan hingga kemerdekaan. Perkembangan ini mengubah pendidikan dari bentuk awal seperti pengajian di rumah, mushalla dan masjid menjadi lembaga formal sekolah berbentuk madrasah yang dikenal saat ini.
Pada era kolonialis Belanda, perkembangan madrasah dimulai dari semangat reformasi yang dilakukan masyarakat Muslim. Faktor penting yang melatarbelakangi kemunculan madrasah adalah karena adanya pandangan yang mengatakan bahwa sistem pendidikan Islam tradisional dirasakan kurang bisa memenuhi kebutuhan pragmatis masyarakat. Dan adanya kekhawatiran atas kecepatan perkembangan persekolahan Belanda yang akan menimbulkan pemikiran sekuler di masyarakat. Untuk menyeimbangkan perkembangan sekulerisme, para reformis kemudian memasukkan pendidikan Islam dalam persekolahan melalui pembangunan madrasah.
Pada era Orde Lama, pengaturan dua sistem pendidikan ini kemudian diupayakan untuk dihapus. Paling tidak ada tiga usaha yang dilakukan. Pertama, memasukkan pendidikan Islam ke dalam kurikulum pendidikan umum di sekolah negeri maupun swasta melalui pelajaran agama. Kedua, memasukkan ilmu pengetahuan umum ke dalam kurikulum pendidikan di madrasah. Ketiga, mendirikan sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) untuk memproduksi guru agama bagi sekolah umum maupun madrasah.
Awal pemerintahan Orde Baru (1966), Indonesia mengembangkan dua sistem pendidikan, yaitu pendidikan umum dan keagamaan. Dualisme sistem pendidikan ini sebenarnya produk dari masa kolonialis Belanda. Sistem pendidikan ini pula yang melahirkan dua dasar politik utama, yaitu kekuatan Islam dan nasionalisme. Pada perkembangannya, Pemerintah Indonesia berusaha menyatukannya dalam satu ideologi Pancasila.
Awal pemerintahan Orde Baru, pendekatan legal formal yang dijalankannya tidak memberikan dukungan pada madrasah. Tahun 1972 Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34 Tahun 1972 dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 15 Tahun 1974 yang mengatur madrasah di bawah pengelolaan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud)-sebelumnya, dikelola Menteri Agama.
Tanggapan yang muncul di kalangan muslim sangat beragam dan cenderung keras. Kebijakan itu dinilai sebagai usaha sekulerisme dan menghilangkan madrasah dari sistem pendidikan di Indonesia. Merespon reaksi tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan keputusan bersama antara Mendikbud, Menteri Agama (Menag), dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Isinya, mengembalikan status pengelolaan madrasah di bawah Menteri Agama, tetapi harus memasukkan kurikulum umum yang sudah ditentukan pemerintah.

111. PERMASALAHAN
Secara legal, madrasah sudah terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional sejak di-berlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Madrasah, juga pendidikan Islam lainnya, terus menghadapi pilihan yang tidak mudah, yaitu antara kebutuhan keagamaan dan kebutuhan duniawi. Di satu sisi, madrasah dituntut bisa berfungsi meningkatkan pemahaman ilmu-ilmu agama dan kemampuan mengamalkan ajaran Islam. Sementara di sisi lain lembaga ini dituntut berfungsi menumbuhkan kemampuan peserta didik dalam memenuhi kebutuhan hidup yang bersifat keduniawian.
Demikian pula dari materi pendidikannya, Semula hanya belajar mengaji Alquran dan ibadah praktis, melalui sistem madrasah materi pelajaran mengalami perluasan seperti tauhid, hadits, dan balaghoh. Dalam perkembangannya kemudian, madrasah juga mengadopsi pelajaran umum seperti di sekolah di bawah Dikbud. Dengan begitu, selain terjadi integrasi ilmu agama dan umum, madrasah memberikan program pendidikan yang setara dengan pendidikan yang diberikan Depdikbud. Melalui proses panjang dan sering melibatkan ketegangan politik antara eksponen yang berbeda pandangan, kecenderungan untuk menyintesiskan dua kutub pendidikan ‘nasional’ dan pendidikan Islam tampaknya semakin terbukti. Perkembangan ini tecermin dalam UU No 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN).
Perubahan kurikulum madrasah itu lebih didasari kebutuhan masyarakat pengguna jasa madrasah, karena tuntutan zaman. Munculnya gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) telah memberi legitimasi teologis perubahan kurikulum madrasah. Dari sini mulai berkembang gagasan integrasi ilmu agama dan iptek yang selama ini dikelompokkan ke dalam ilmu umum atau ilmu sekuler. Muncul kemudian berbagai model madrasah terpadu yang mengintegrasikan ilmu umum dan ilmu agama ke dalam satuan kurikulum madrasah.

Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang dikelola Depag sejak awal kehadiran departemen ini. Namun dengan disahkannya UU No 22/1999 tentang Pemda dan UU No 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, muncul dilema mengenai status madrasah. Ketentuan UU No 22/1999 menyatakan, kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan. Pertanyaannya apakah madrasah termasuk dalam bidang pendidikan atau agama? .
Sebagai bagian dari system pendidikan di Indonesia, perhatian pemerintah pada pendidikan di madrasah sangat diperlukan. Apalagi, pendidikan madrasah menyumbang 20 persen dari total siswa yang ada di sekolah. Di tingkat SLTP atau madrasah tsanawiyah jumlahnya mencapai sekitar 35 persen dari total siswa. Jumlah ini tentu saja sangat signifikan untuk mendukung penuntasan program wajib belajar 9 tahun.
Jika melihat Undang Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bisa dikatakan bahwa agama menjadi salah satu jiwa dan tujuan pendidikan. Pendidikan, sebagaimana klausul pada Bab II adalah bertujuan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi: Manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; Berakhlak mulia; Sehat; Berilmu; Cakap; Kreatif; Mandiri; Menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Arah pengembangan madrasah adalah memperkuat dan memberi makna terhadap pengakuan, madrasah adalah sekolah umum berciri khas Islam. Guna memberikan ciri khas itu, tidak cukup hanya ciri formal dalam kurikulum. Karena itu, ditetapkan tiga program utama yaitu iptek bernuansa Islam; pelajaran agama bernuansa iptek; penciptaan suasana keagamaan di madrasah.
Menghadapi abad ke 21, pembenahan madrasah harus diawali dengan tekad untuk mewujudkannya sekolah unggulan yang mampu memadukan kekuatan iptek. Salah satu ciri Umat Islam Indonesia adalah menyiapkan anak didik yang dapat memadukan iptek dan imtak. Nilai plus madrasah terletak pada pendidikan keimanan yang menekankan kepekaan hati dan ketajaman akal. Dengan nilai plus ini diharapkan madrasah tampil sebagai pioneer proyek reintegrasi ilmu Islam.
Dalam realitasnya, entah karena beban berat yang disandangkan dalam kurikulum madrasah, secara makro, atau karena kurangnya perhatian pemerintah (tidak sebagaimana pada pendidikan / sekolah umum), terjadi kesenjangan prestasi antara madrasah dan sekolah umum, hingga tak sedikit sejumlah pihak menyarankan agar pemerintah mengembalikan madrasah ke bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Mereka menilai, di bawah naungan Depag, keberadaan madrasah justru semakin termarginalkan, karena tanggung jawab Depag yang tidak pendidikan ansich. Namun, Departemen Agama (Depag) menilai, pengembalian ini justru akan mematikan sebagian besar madrasah, yang umumnya berstatus swasta, dengan sejarah panjang yang menyertai tumbuh kembangnya masyarakat.

IV.PEMBAHASAN
Pengakuan keberadaan madrasah yang demikian (sampai saat ini), akan membuka peluang kebhinekaan lembaga pendidikan keagamaan, namun dalam status diakui sebagai bagian dari sisdiknas. Dengan demikian sebagian berpendapat, tidak diperlukan lagi aktivitas ujian ekstra, ujian persamaan dan sejenisnya bagi madrasah yang bukan sekolah umum untuk mengikuti kurikulum sekolah.
Mencuatnya pandangan dominan bahwa ketertinggalan pendidikan di madrasah disebabkan oleh perlakuan diskriminasi pemerintah, berdasarkan pemetaan, terpapar sbb : Perhatian pemerintah terhadap madrasah sangat minim dibandingkan perhatian mereka pada sekolah umum, misalnya dalam mengadakan sarana dan prasarana pendidikan bagi madrasah. Akibatnya, madrasah beroperasi dengan sarana dan prasarana yang serba terbatas dan kurang. Ironisnya, pemerintah lebih banyak melakukan intervensi terhadap kekhasan pendidikan madrasah, selain intervensi mereka terhadap kurikulum.
Dalam menetapkan anggaran pendidikan, Madrasah sebagai sebuah lembaga pendidikan formal yang lebih menitikberatkan visi dan misi kepada model pendidikan agama, selama ini, hanya dijadikan salah satu sektor saja, karena dikategorikan sebagai lembaga keagamaan, unit cost madrasah jauh di bawah sekolah umum, demikian juga halnya dalam hal subsidi dan lain-lain. Apakah perlakuan ini merupakan bias dari pandangan dualistik dalam pendidikan, yang sebenarnya merupakan warisan dari pemerintahan kolonial Belanda? Bantuan dana pendidikan bagi siswa madrasah negeri ternyata jauh lebih kecil dibandingkan siswa sekolah umum di semua tingkatan. Bahkan guru honorer di lingkungan madrasah negeri pun dan guru swasta sama sekali tidak mendapat bantuan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Beberapa pendapat bahwa akibat dari perbedaan perlakuan tersebut berimplikasi pada kredibilitas lembaga pendidikan agama itu sendiri. Akibat dari kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan pendidikan umum di tanah air ini, lembaga pendidikan madrasah menjadi semakin marginal dan cenderung tidak berdaya. Padahal, kalau kita mau jujur melihat, lembaga pendidikan yang disebut madrasah itu telah banyak memberikan kontribusi nyata untuk meningkatkan kualitas bangsa ini dalam sebuah paradigma pendidikan yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas beragama dan berbangsa.
Padahal, diakui atau tidak, Madrasah adalah lembaga pendidikan yang menjalankan fungsi filterisasi terhadap pengaruh yang dibawa oleh arus globalisasi. keberadaan madrasah adalah sebuah wujud partisipasi masyarakat yang menyadari betapa pentingnya madrasah untuk mempersiapkan peserta didik yang siap menantang tantangan perubahan zaman yang berimplikasi pada perubahan sikap dan tingkah laku yang semakin global.
Masalah krusial lain yang dihadapi madrasah, berkaitan dengan kompetensi mengajar dari para guru yang masih kurang relevan. Demikian pula dengan tingkat pendidikan para guru madrasah, masih harus ditingkatkan. Apalagi UU Guru dan Dosen mewajibkan guru minimal berpendidikan S-1 (Untungnya, saat ini Depag telah memberikan solusinya dengan memberikan bea siswa)
Masalah lainnya adalah kesenjangan kesejahteraan guru madrasah dan sekolah umum pun belum terselesaikan. Guru yang berada di bawah Depag tidak mendapat bantuan seperti guru sekolah umum lain, terutama guru madrasah swasta. Guru-guru madrasah negeri juga tidak sedikit mengalami masalah karena banyak yang belum naik kepangkatannya, meski sudah puluhan tahun mengabdi.
Terjadinya ketidakseimbangan dalam proses menjalankan kebijakan di bidang pendidikan menyebabkan jurang kesenjangan dan ketimpangan antara lembaga pendidikan umum dengan madrasah terus terbuka. Bahkan, bentuk-bentuk kesenjangan masih terus terjadi hingga hari ini. termasuk adanya anggapan madrasah hanya sebuah lembaga pendidikan kelas dua alias tidak memiliki kesesuaian standar kualitas mutu pendidikan.
Padahal, madrasah adalah institusi pendidikan yang juga memberi pencerahan kepada anak bangsa melalui proses penyelenggaraan pendidikan sejalan dengan tujuan pendidikan nasional. Karena sistem pendidikan madrasah merupakan subsistem dari sisdiknas, seharusnya penjenjangan pendidikan madrasah sama dengan sistem persekolahan nasional. Rentetan ini membuat keberadaan madrasah semakin terjepit di tengah berbagai bentuk keprihatinan dan ketidakberdayaan dan tuntutan yang selama ini menimpanya.
Sebenarnya, dalam konteks otonomisasi pendidikan, pembelajaran yang berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan hendaknya sudah menjadikan pemerintah pada posisi sebagai fasilitator dan bukan pengendali. Sehingga, pemeran utama pembelajaran adalah guru sebagai pengajar dan murid sebagai yang belajar. Murid atau peserta didik hendaknya diberi hak untuk mendapatkan pengajaran yang sesuai dengan pilihannya dan diperlakukan sesuai dengan potensi dan prestasinya

Dalam upaya menghadapi permasalahan itu, ada beberapa alternatif yang mungkin dilakukan beserta segala konsekuensi antara lain :
1. Pemikiran yang paling simple ditingkat kebijakan, namun bisa bervariasi ditingkat implementasi, yakni menginginkan pendidikan madrasah tetap di bawah Depag secara struktural. Namun, pengelolaan di tingkat daerah diotonomikan sejalan diberlakukannya UU tersebut.
2. Kalau sentralisasi tetap sebagai pilihan maka Depag masih secara langsung menyelenggarakan pembinaan madrasah seperti selama ini. Pilihan ini mengandung makna, Depag memandang madrasah berada dalam kategori sektor agama sebagaimana tertuang dalam UU NO. 22/1999. Sumber dana yang diberikan untuk melakukan pembinaan dapat langsung dikelola Depag. Kekuranganya: anggaran berasal dari sektor agama yang relatif kecil; pemda merasa tidak bertanggung jawab terhadap madrasah; masyarakat kurang terlibat dalam pendidikan; dan tentunya birokrasi berbelit-belit.
3. Melakukan lobi. tinggal bagaimana political will antara pemerintah, DPR, Depdiknas dan Depag serta masyarakat. Pemda setempat memberikan perhatian cukup besar, termasuk anggaran terhadap madrasah dan pesantren. Hal ini secara kalkulasi politik tentu saja akan menguntungkan pembangunan daerah.
4. Menyerahkan pembinaan madrasah ke Pemda tingkat II sehingga satu atap dalam penyelenggaraan. Kelebihannya, antara lain pengakuan madrasah sebagai bagian dari sisdiknas semakin kuat sehingga memperoleh perlakuan sejajar dan tidak ada diskriminasi termasuk dalam masalah anggaran. Kekurangannya; dikhawatirkan Depdiknas kurang memiliki SDM yang mengerti spirit madrasah, sehingga ciri khas Islam berkurang bahkan hilang. Apalagi bila masyarakat sudah cuci tangan dalam pengelolaan sekolah.

Dari beberapa catatan kecil tersebut, perlu disampaikan beberapa pokok pikiran yang harus segera direspons secara terbuka dan dicarikan solusi konkret terhadap permasalahan yang mengemuka.
• Pertama, bagaimana semua pihak yang terkait dengan proses penyelenggaraan pendidikan ini secara serius memperhatikan sarana penunjang pendidikan yang dibutuhkan anak didik di madrasah. Di antaranya, rasio kebutuhan buku paket/buku pegangan siswa, laboratorium, dan sarana pendukung lainnya seperti perpustakaan yang selama ini sangat minim dibanding lembaga pendidikan umum.
• Kedua, merancang pola rekrutmen guru dalam rangka menyediakan tenaga guru yang memenuhi standardisasi, kualifikasi, dan kompetensi di bidang pendidikan, serta berdedikasi tinggi.
• Ketiga, tampaknya perlu mulai dipikirkan subsidi silang, ’’swastanisasi” terhadap sekolah-sekolah negeri (umum) yang sudah mapan dalam penyelenggaraan pendidikannya. Sehingga, berbagai bentuk subsidi dapat dialokasikan secara seimbang kepada sekolah-sekolah yang masih terpinggirkan, khususnya kepada madrasah yang selama ini lebih banyak bergantung kepada swadaya masyarakat.
• Keempat, tidak ada lagi dikotomi antara lembaga pendidikan umum dengan madrasah. Sebab, itu akan menimbulkan kekeliruan pemahaman di kalangan masyarakat luas, yang pada akhirnya menghambat proses penyelenggaraan pendidikan nasional yang sama-sama bertujuan mencerdaskan anak bangsa.
• Dan kelima, memberi kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk memosisikan diri, peran, serta partisipasinya dalam penyelenggaraan pendidikan secara utuh, sebagaimana pada awal-awal keberadaan madrasah, apalagi bila mampu menyediakan orang tua asuh bagi siswa yang kurang mampu.
Dengan mengurai berbagai permasalahan pendidikan keagamaan di Indonesia, kita menjadi lebih cermat, peduli dan nampaknya, hal penting lain perlu diingat pula sbb : Sebenarnya, pemerintahan mana pun tak ingin terjadi adanya ketimpangan sosial dikarenakan kecemburuan pengelola dan pemerhati madrasah di Indonesia. Karena itu, perlu dibuat klausul dalam peraturan pemerintah tentang persentase dana anggaran pendidikan agama. Jika madrasah tetap berada di bawah binaan Depag, dalam hal ini Menteri Agama, pemerintah pusat perlu memikirkan sumber tambahan anggaran untuk meningkatkan pembinaannya sehingga kesan marjinalisasi madrasah bisa terhapuskan. Saat ini permasalahan yang cukup mendasar pada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan adalah potensi mutual throwing, dikarenakan beda penerjemahan tentang otoritas kebijakan pemerintah pusat dan daerah. Hal ini harus disikapi melalui peraturan daerah sebagai penegasan atas pembagian tugas masing-masing pemegang kebijakan. Kemudian juga desain sentralisasi pembinaan madrasah saat ini apakah masih efektif untuk mencapai dan menjaga visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional? Jika dianggap masih bisa, maka Depag perlu melakukan upaya optimalisasi koordinasi dengan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, di samping meningkatkan akuntabilitas lembaganya.

Apa pun kebijakan yang diambil dalam menentukan nasib madrasah (termasuk pesantren) di era otda ini, setidaknya perlu memperhatikan beberapa hal:
1. Tidak merugikan ciri khas Agama Islam baik jangka pendek maupun panjang. Misalnya, adanya perubahan sosial politik, pergantian decision maker, dsb.
2. Tidak ada lagi diskriminasi perlakuan antara madrasah dan sekolah umum. Termasuk misalnya diskriminasi dalam anggaran. Pengaturan dana antara pendidikan di bawah Depdiknas dan Depag hanya masalah teknis prosedural yang diharapkan bisa diatur. Misalnya, melalui Panitia Kerja Anggaran Bersama untuk menentukan kebijakan yang adil dan proporsional antara anggaran pendidikan di bawah Depdiknas dan Depag.
3. Perlunya perhatian pemerintah daerah yang cukup, meskipun selama ini madrasah berada langsung di bawah pusat. Sebab bagaimanapun, persoalan pendidikan adalah persoalan universal, dan merupakan investasi jangka panjang .

V. ASPEK YANG PERLU DIKEMBANGKAN DI LEMBAGA
PENDIDIKAN ISLAM (MADRASAH)
Ada beberapa aspek yang perlu dikembangkan dalam lingkup lembaga pendidikan Islam pada umumnya, dan Madrasah pada khususnya untuk menumbuhkan kualitas SDM yang berwawasan global paling tidak harus asanya pengelolaan yang baik aspek-aspek dibawah ini, yaitu:
1. Aspek pendidikan (pedagogis). Sebagai lembaga yang bergerak dalam dunia pendidikan, lembaga pendidikan Islam berperan penting dalam peningkatan SDM yang berkualitas dan melahirkan kader-kader pemimpin bangsa dan agama yang memiliki wawasan keislaman dan nasionalisme yang tinggi serta mempunyai pandangan yang luas tentang dunia luar. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa reformasi dan pembaharuan dalam Islam haurus dimulai dari pendidikan.
2. Aspek Moral-Spiritual. Pendidikan Islam bertujuan membina peserta didik menjadi seseorang yang mencapai derajat ulul albab yakni intelektual muslim yang tangguh, yang tidak hanya memiliki ketajaman analisis obyektif, tetapi juga subyektif. Lembaga pendidikan Islam berupaya memberikan penguatan dan dasar pemahaman keagaamaan secara baik. Mengajarkan nilai-nilai kejujuran, kerendahan hati, kesederhanaan dan nilai-nilai keluruhan kemanusiaan. Nilai keluhuran itulah yang mengantarkan peserta didik mendapat penilaian yang baik di sisi masyarakat dan di mata Tuhan-Nya.
3. Aspek sosio-kultural. Tidak dapat dipungkiri lembaga pendidikan Islam memberikan pengaruh yang signifikan terhadap corak karekter masyarakat. Merespons persoalan-persoalan masyarakat seperti memelihara tali persaudaraan, menciptakan kehidupan yang sehat dan sebagainya. Lembaga pendidikan dalam aspek ini memberikan penanaman akan pentingnya makna-makna etis dalam dialog keagamaan, khususnya istitusi pendidikan Islam.
4. Aspek Sistem pendidikan. Sistem pendidikan di lembaga pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang dapat berbentuk isolatif tradisional, serta bercorak sintesis dengan berbagai variasi pola pendidikannya.
5. Aspek Sarana dan prasarana. Pengadaan sarana yang sentralistik menjadikan perlakuan yang sama, pukul rata, semua mendapatkan yang sama, tanpa memperhitungkan kesiapan lembaga pendidikan Islam khususnya Madrasah yang menjadi obyek bantuan. Seringkali pemberian bantuan sarana mengindahkan ketersediaan pengelola, keberlangsungan sarana tersebut, biaya maintenance-nya, kesesuaian dengan kebutuhan (needs assesment), sebab kondisi Madrasah di satu lokasi dengan yang lainnya sangat berbeda, dengan kata lain, belum tentu sarana yang diberikan dibutuhkan, tetapi di tempat lain sangat dibutuhkan. Di sisi lain, lokal yang dapat digunakan untuk mendukung pemanfaatan yang optimal dari sarana tersebut Madrasah kita masih belum mampu menyediakan secara khusus, karena konsekwensinya adalah sumberdana masyarakat.
VI. PERLUNYA MADRASAH MENINGKATKAN SUMBERDAYA INSANI.
Kita ketahui bersama bahwa Pendidikan Islam merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis yang bertujuan untuk membentuk manusia yang berkualitas antara lain :
1. Berkepribadian Islam. Ini sebetulnya merupakan konsekuensi keimanan seorang Muslim. Intinya, seorang Muslim harus memiliki dua aspek yang fundamental, yaitu pola pikir (’aqliyyah) dan pola jiwa (nafsiyyah) yang berpijak pada akidah Islam . ada tiga langkah yang harus ditempuh, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw., yaitu:
a. Menanamkan akidah Islam kepada seseorang dengan cara yang sesuai dengan kategori akidah tersebut, yaitu sebagai ‘aqîdah ‘aqliyyah; akidah yang muncul dari proses pemikiran yang mendalam.
b. Menanamkan sikap konsisten dan istiqâmah pada orang yang sudah memiliki akidah Islam agar cara berpikir dan berprilakunya tetap berada di atas pondasi akidah yang diyakininya.
c. Mengembangkan kepribadian Islam yang sudah terbentuk pada seseorang dengan senantiasa mengajaknya untuk bersungguh-sungguh mengisi pemikirannya dengan tsaqâfah islâmiyyah dan mengamalkan ketaatan kepada Allah SWT.
2. Menguasai tsaqâfah Islam. Islam telah mewajibkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu. Berdasarkan takaran kewajibannya, menurut al-Ghazali, ilmu dibagi dalam dua kategori, yaitu:
a. Ilmu yang termasuk fardhu ‘ain (kewajiban individual), artinya wajib dipelajari setiap Muslim, yaitu tsaqâfah Islam yang terdiri dari konsepsi, ide, dan hukum-hukum Islam; bahasa Arab; sirah Nabi saw., Ulumul Quran, Tahfizh al-Quran, ulumul hadis, ushul fikih, dll.
b. Ilmu yang dikategorikan fadhu kifayah (kewajiban kolektif); biasanya ilmu-ilmu yang mencakup sains dan teknologi serta ilmu terapan-keterampilan, seperti biologi, fisika, kedokteran, pertanian, teknik, dll.
3. Menguasai ilmu kehidupan (IPTEK). Menguasai IPTEK diperlukan agar umat Islam mampu mencapai kemajuan material sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi dengan baik. Islam menetapkan penguasaan sains sebagai fardlu kifayah, yaitu jika ilmu-ilmu tersebut sangat diperlukan umat, seperti kedokteran, kimi, fisika, industri penerbangan, biologi, teknik, dll.

4. Memiliki keterampilan yang memadai. Penguasaan ilmu-ilmu teknik dan praktis serta latihan-latihan keterampilan dan keahlian merupakan salah satu tujuan pendidikan Islam, yang harus dimiliki umat Islam dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah SWT. Sebagaimana penguasaan IPTEK, Islam juga menjadikan penguasaan keterampilan sebagai fardlu kifayah, yaitu jika keterampilan tersebut sangat dibutuhkan umat, seperti rekayasa industri, penerbangan, pertukangan, dan lainnya.
VII. SEBAGIAN POKOK PIKIRAN DALAM BANYAKNYA PERMASALAHAN

Beberapa pokok pikiran yang harus segera direspons secara terbuka dan dicarikan solusi konkret terhadap permasalahan yang mengemuka.
1. Bagaimana semua pihak yang terkait dengan proses penyelenggaraan pendidikan ini secara serius memperhatikan sarana penunjang pendidikan yang dibutuhkan anak didik di madrasah. Di antaranya, rasio kebutuhan buku paket/buku pegangan siswa, laboratorium, dan sarana pendukung lainnya seperti perpustakaan yang selama ini sangat minim dibanding lembaga pendidikan umum.
2. Merancang pola rekrutmen guru dalam rangka menyediakan tenaga guru yang memenuhi standardisasi, kualifikasi, dan kompetensi di bidang pendidikan, serta berdedikasi tinggi sehingga dapat meningkatkan Kualitas sumberdaya Insani.
3. Tampaknya perlu mulai dipikirkan subsidi silang, ’’swastanisasi” terhadap sekolah-sekolah negeri (umum) yang sudah mapan dalam penyelenggaraan pendidikannya. Sehingga, berbagai bentuk subsidi dapat dialokasikan secara seimbang kepada sekolah-sekolah yang masih terpinggirkan, khususnya kepada madrasah yang selama ini lebih banyak bergantung kepada swadaya masyarakat.
4. Tidak ada lagi dikotomi antara lembaga pendidikan umum dengan madrasah. Sebab, itu akan menimbulkan kekeliruan pemahaman di kalangan masyarakat luas, yang pada akhirnya menghambat proses penyelenggaraan pendidikan nasional yang sama-sama bertujuan mencerdaskan anak bangsa.
5. Memberi kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk memosisikan diri, peran, serta partisipasinya dalam penyelenggaraan pendidikan secara utuh, sebagaimana pada awal-awal keberadaan madrasah, apalagi bila mampu menyediakan orang tua asuh bagi siswa yang kurang mampu

VIII.PENUTUP
Eksistensi madrasah, mulai tingkat Madrasah Ibtidaiyah (MI), Tsanawiyah (MTs), hingga Madrasah Aliyah (MA) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), sebagai elemen penting dalam sistem pendidikan nasional (sisdiknas) sulit terbantahkan.
Peran signifikan madrasah itu di samping terkait langsung dengan usaha suksesnya kebijakan wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah, pada saat bersamaan juga merupakan titik awal bagi usaha sistematis untuk mewujudkan cita kualitas insani anak bangsa yang beriman, berilmu, dan bertaqwa. Satu hal yang tidak boleh dilupakan, sesungguhnya keberadaan madrasah merupakan reaksi terhadap parsialisme kebijakan sistem pendidikan yang lebih mengunggulkan aspek rasional ketimbang spritual dan budi pekerti.
Sehingga, ke depan, madrasah dapat menjadi lembaga pendidikan ”alternatif” yang mampu mengedepankan mutu dan memiliki daya saing dalam mewujudkan integritas dan kualitas insani bangsa ini. Tentunya, tanpa harus menghilangkan ciri khas madrasah sebagai lembaga pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai Islami yang berfungsi sebagai filter.
Peluang menjadi lembaga pendidikan yang bermutu dan memiliki daya saing yang tinggi sesungguhnya sangat terbuka dengan adanya penegasan madrasah adalah lembaga pendidikan umum yang bercirikan agama Islam. Konsekuensi logisnya, madrasah menanggung ”dua beban” pendidikan sekaligus. Tidak hanya mentransfer aspek-aspek kauniyah, tetapi juga memiliki kredibilitas yang mumpuni dalam mentransfer aspek-aspek diniyah dalam proses penyelenggaraan pendidikannya.
Dan, kualitas pendidikan di madrasah (sudah banyak contoh baik negeri maupun swasta ) terbukti dengan kerja kerasnya mampu memperkuat daya saing dan mutu pendidikan madrasah di kancah pendidikan nasional. Hal itu sejalan penegasan pasal 17 ayat (2) dan pasal 18 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Penegasan UU Sisdiknas tersebut seharusnya menjadi cermin bening bagi pemerintah, masyarakat, praktisi, pelaku, atau stakeholders pendidikan, agar tidak lagi memandang sebelah mata kepada madrasah.
Dalam salah satu rapat kerja Komisi VIII dengan pemerintah yang diwakili Menteri Agama (Menag) dan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Senin (19/2/2007), mencuat pandangan dominan bahwa ketertinggalan pendidikan di madrasah disebabkan oleh perlakuan diskriminasi pemerintah. Untuk menjawab itu, dalam dua butir kesimpulan rapat, pada akhirnya DPR sepakat membentuk panitia kerja dengan agenda menghapus berbagai bentuk perbedaan perlakuan dalam bidang pendidikan.

IX. KHOTIMAH
Demikianlah makalah yang dapat saya sampaikan, atas segala kekurangan dan kekhilafan mohon maaf dan dimaklumi, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.amin

Wallahu a’lam bis-showab
Wassalam. Wr.Wb.

1 komentar:

  1. Assalamualaikum ustadz, Terima kasih ilmunya. sangat jelas pernyataan mengenai pandangan dikotomi antara pendidikan madrasah dan umum, itu bisa saya lihat dan rasakan sendiri. Selama ini saya memandang tidak ada perbedaan antara keduanya namun setelah membaca keseluruhan isi makalah yang disampaikan barulah terbuka point-point manakah yang menjadi problematika pendidikan madrasah pada awal era soeharto hingga pada saat ini. Berkah dunia akhirat ustad M.Ihsan Dacholfany

    BalasHapus