BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pandangan
filsafat pendidikan sama pernaannya dengan landasan filosofis yang
menjiwai seluruk kebijaksanaan pelaksanaan pendidikan. Antara filsafat
dan pendidikan terdapat kaitan yang sangat erat. Filsafat mencoba
merumuskan citra tentang manusia dan masyarakat, sedangkan pendidikan
berusaha mewujudkan citra tersebut. Formula tentang hakekat dan martabat
manusa serta masyarakat erutama di Indonesia dilandasi oleh filsafat
yagn dianus bangsa Indonesia dilandasi oleh fislafat yagn dianus bangsa
Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila merupakan sumber dari segala
gagasan mengenai wujud manusia dan masyarakat yang dianggap baik, sumber
dari egama sumber yang menadi pangkal serta muara dari setiap keputusan
dan tindakan dalam pendidikan dan pembelajaran.
Filsafat
mengadakan tinjauan yang luas mengani realita, maka dikupaslan antara
lain pandangan dunia dan pandangan hidup. Konsep-konsep mengenai ini
dapat menjadi landasan penyusunan konsep tujuan dan metodologi pendidik.
Disamping itu, pengalaman pendidik dalam menuntut pertumbuhan
danperkembangan anak akan berhubungan dan berkenalan dengan realita.
Semuanya itu dapat disampaikan kepada flsafat untuk dijadikan
bahan-bahan pertimbangan dan tinjauan untuk memperkembangkan diri.
Hubungan filsafat dengan filsafat pendidikan dapat dirumuskan sebagai
berikut :
1.
Filsafat mempuyai objek lebih luas, sifatnya universal. Sedangkan
filsafat pendidikan objeknya terbatas dalam dunia filsafat pendidikan
saja
2.
Filsafat hendak memberikan pengetahuan/ pendiidkan atau pemahaman yang
lebih mendalam dan menunjukkan sebab-sebab, tetapi yang tak begitu
mendalam
3. Filsafat memberikan sintesis kepada filsafat pendidikan yang khusus, mempersatukan dan mengkoordinasikannya
4. Lapangan filsafat mungkin sama dengan lapangan filsafat pendidikan tetapi sudut pandangannya berlainan
Dalam
menerapkan filsafat pendidikan, seoran guru sebagai pendidik dia
mengharapkan dan mempunyai hak bahwa ahli-ahli filsafat pendidikan
menunjukkan dirinya pda masalah pendiidkan pad aumumnya serta bagaimna
amasalah itu mengganggu pada penyekolhan yang menyangkut masalah
perumusan tujuan, kurkulum, organisasi sekolah dan sebagainya. Dan para
pendidik juga mengahrapkan dari ahli filsafat pendiidkan suatu
klasifikasi dari uraian lebih lanjut dari konsep, argumen dirinya
literatur pendidikan terutam adalam kotraversi pendidikan sistem-sistem,
pengjuian kopetensi minimal dan kesamaan kesepakatan pendidikan.
Brubacher
(1950) mengemukakan tentang hubungan antara filsafat dengan filsafat
pendidikan, dalam hal ini pendidikan : bahwa filsafat tidak hanya
melahirkan sains atau pengetahuan baru, melainkan juga melahirkan
filsafat pendidikan. Filsafat merupakan kegiatan berpikir manusia yang
berusaha untuk mencapai kebijakan dankearifan. Sedangkan filsafat
pendidikan merupakan ilmu ayng pad ahakekantya jawab dari
pertanyaa-pertanyaan yagn timbul dalam lapangan pendidkan. Oleh karen
aberisfat filosofis, dengan sendirinya filsafat pendidikan ini
hakekatnya adalah penerapan dari suatu analisa filosofis terhadap
lapangan pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
a. Devinisi Masyarakat
“Masyarakat”
yang berarti pergaulan hidup manusia sehimpun orang yang hidup bersama
dalam sesuatu tempat dengan ikatan aturan tertentu, juga berarti orang,
khalayak ramai”.[1]
Menurut Hasan Sadily memberi pengertian bahwa masyarakat ialah
“Kesatuan yang selalu berubah, yang hidup karena proses masyarakat yang
menyebabkan terjadi proses perubahan itu”.[2]
Sedangkan menurut Plato masyarakat ialah “merupakan refleksi dari
manusia perorangan”. Suatu masyarakat akan mengalami keguncangan
sebagaimana halnya manusia perorangan yang terganggu keseimbangan
jiwanya yang terdiri dari tiga unsur yaitu nafsu, semangat dan
intelegensia.[3]
Dalam konsep an-Nas
bahwa masyarakat adalah makhluk sosial. Manusia tidak dapat hidup
sendiri dengan mengabaikan keterlibatannya dengan kepentingan pergaulan
antara sesamanya dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam hubungan manusia
dengan masyarakat terjadi interaksi aktif. Manusia dapat mengintervensi
dengan masyarakat lingkungannya dan sebaliknya masyarakat pun dapat
memberi pada manusia sebagai warganya. Oleh karena itu, dalam pandangan
Islam, masyarakat memiliki karakteristik tertentu. Prinsip-prinsip ini
harus dijadikan dasar pertimbangan dalam penyusunan sistem pendidikan
Islam. Masyarakat merupakan lapangan pergaulan antara sesama manusia.
pada kenyataannya masyarakat juga dinilai ikut memberi pengaruh terhadap
berbagai aspek kehidupan dan perilaku manusia yang menjadi anggota
masyarakat tersebut. Atas dasar pertimbangan ini, maka pemikiran tentang
masyarakat mengacu pada penilaian bahwa:
1. Masyarakat
merupakan kumpulan individu yang terikat oleh kesatuan dari berbagai
aspek seperti latar belakang budaya, agama, tradisi kawasan lingkungan
dan lain-lain.
2. Masyarakat
terbentuk dalam keragaman adalah sebagai ketentuan dari Allah, agar
dalam kehidupan terjadi dinamika kehidupan sosial, dalam interaksi antar
sesama manusia yang menjadi warganya.
3. Setiap masyarakat memiliki identitas sendiri yang secara prinsip berbeda satu sama lain.
4. Masyarakat merupakan lingkungan yang dapat memberi pengaruh pada pengembangan potensi individu.
Dari
beberapa penjelasan yang telah dijelaskan di atas, dapatlah diberi
kesimpulan bahwa pengertian masyarakat yang pemakalah maksudkan ialah
sekelompok manusia yang terdiri di dalamnya ada keluarga, masyarakat dan
adat kebiasaan yang terikat dalam satu kesatuan aturan tertentu.
Masyarakat
itu sendiri merupakan satu factor yang pokok mempengaruhi pendidikan,
di samping ia merupakan arena tempat berkisarnya proses pendidikan.[4]
Pola hidup masyarakat tidak hanya menyangkut lapangan pekerjaan
pendidikan dan kehidupan keluarga belaka, tetapi jauh dari itu meliputi
keorganisasian masyarakat sosial, upacara dan adat istiadat yang berlaku
serta kehidupan keragamaan, namun dalam suatu masyarakat atau desa
terdapat beberapa pola hidup, tapi dalam pembahasan ini penulis hanya
mengambil salah satu diantaranya adalah masalah sosial.
b. Hubungan Masyarakat dan Pendidikan
Kebutuhan
manusia yang dibutuhkan dari masyarakat tidak hanya menyangkut bidang
material melainkan juga bidang spiritual, termasuk ilmu pengetahuan,
pengalaman, keterampilan dan sebagainya. Dengan demikian, dapat ditarik
suatu pemahaman bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan pendidikan manusia
memerlukan adanya lingkungan social masyarakat. Dari sebab inilah para
ahli pendidikan umumnya memasukkan lingkungan masyarakat sebagai
lingkungan pendidikan.[5]
Masyarakat
merupakan satu realitas dalam tata kehidupan manusia. Tiap-tiap pribadi
hidup dalam suatu sistem sosial, dengan segala kondisi dan
konsekuensi-Konsekuensinya. Tiap pribadi adalah bagian suatu keluarga
yang hidup dalam suatu masyarakat, demikian pula masyarakat adalah
bagian daripada suatu bangsa atau kehidupan zamannya. Kehidupan manusia
berlangsung dalam masyarakat dan sebagaian untuk masyarakat disamping
sebagian untuk dirinya sendiri. Fungsi kemanusiaan tiap pribadi dimana
manusia menunaikan semua fungsi kemanusiaan dan fungsi sosial dalam
masyarakat adalah masalah pendidikan. Prof. Thomson meuraikan dalam
bukunya :”Moder Philosophy Of Education”. Pendidikan berhubungan
dengan masalah manusia pribadi dan masyarakat, oleh beberapa ahli diberi
batasan sebagai proses penyesuaian oleh pribadi untuk melaksanakan
fungsinya dalam masyarakat. Tujuan umum poendidikan sering dirumuskan
untuk menyiapkan generasi muda menjadi orang dewasa anggota masyarakat
yang mandiri dan produktif.[6]
Suatau
kenyataan bagi setiap orang bahwa masyarakat yang (relatif) baik, maju,
modern ialah masyarakat yang di dalamnya ditemukan suatu tingkat
pendidikan yang (relative) baik, modern dan baik, dalam wujud
lembaga-lembaganya maupun jumlah dan tingkat orang yang terdidik.
Pendidikan modern hanya akan ditemukan didalam masyarakat yang modern
pula. Dalam suatu masyarakat Nampak adanaya lembaga-lembaga pendidikan
yang modern dan lengkap, maka kecenderungan dan optimism bahwa
masyarakat tersebut dalam waktu segera akan maju. Kenyataan ini
tersimpul dalam kata-kata Prof. Richey sambil mengutip tulisan John
Dewey. Seseorang mungkin berpendapat bahwa pendidikan ialah metode
fundamental untuk memajukan dan memperbaharui masyarakat dan bahwa itu
adalah sebagai masalah setiap orang yang berminat dengan pendidikan
untuk menggunakan sekolah sebagai alat utama dan efektif bagi memajukan
dan memperbaharui suatu masyarakat.
c. Landasan Filosofis Kurikulum Pendidikan
Pendidikan
berperan sangat penting dalam keseluruhan aspek kehidupan manusia,
sebab pendidikan berpengaruh langsung kepada kepribadian ummat manusia.
Pendidikan sangat menentukan terhadap model manusia yang dihasilkannya.
Kurikulum sebagai rancangan pendidikan, mempunyai kedudukan sentral;
menentukan kegiatan dan hasil pendidikan. Penyusunannya memerlukan
fondasi yang kuat, didasarkan atas hasil pemikiran dan penelitian yang
mendalam. Kurikulum yang lemah akan mengahasilkan manusia yang lemah
pula.
Pendidikan
merupakan interaksi manusia pendidik dan terdidik untuk mencapai tujuan
pendidikan. Interaksi pendidik dan terdidik dalam pencapaian tujuan,
bagaimana isi, dan proses pendidikan memerlukan fondasi filosofis, agar
interaksi melahirkan pengertian yang bijak dan perbuatan yang bijak
pula. Untuk mengerti kebijakan dan berbuat secara bijak, ia harus tahu
dan berpengetahuan yang diperoleh melalui cara berfikir sistematis,
logis dan mendalam, secara radikal, hingga keakar-akarnya. Upaya
menggambarkan dan menyatakan suatu pemikiran yang sistematis dan
komprehensif tentang suatu fenomena alam dan manusia disebut berfikir
secara filosofis. Filsafat mencakup suatu kesatuan pemikiran manusia
yang menyeluruh.
Pendekatan
Ilmu dengan filsafat berbeda, ilmu menggunakan pendekatan analitik,
mengurai bagian-bagian hingga bagian yang terkecil. Filsafat
mengintegrasikan bagian-bagian hingga menjadi satu kesatuan yang
menyeluruh dan bermakna. Ilmu berkaitan dengan fakta-fakta sebagaimana
adanya, secara objektif dan menghindari subjektifitas. Filsafat melihat
sesuatu secara das sollen (bagaimana seharusnya), faktor subjektif
sangat berpengaruh. Tetapi filsafat dan ilmu memiliki hubungan secara
komplenter; saling melengkapi dan mengisi. Filsafat memberikan landasan
bagi ilmu, baik pada aspek ontologi, epistimologi, maupun aksiologinya.
Dalam
konteks pendidikan, filsafat pendidikan merupakan refleksi pemikiran
filosofis untuk mengatasi permasalahan pendidikan. Filsafat memberi arah
dan metodologi terhadap praktik pendidikan, sebaliknya praktik
pendidikan memberikan bahan-bahan bagi pertimbangan-pertimbangan
filosofis. Menurut Butler (1957:12), hubungan filsafat dengan filsafat
pendidikan sebagai berikut: 1) Filsafat merupakan basik bagi filsafat
pendidikan, 2) Filsafat merupakan bunga bukan batang bagi pendidikan, 3)
filsafat pendidikan merupakan disiplin tersendiri yang memiliki
hubungan erat dengan filsafat umum, meski bukan essensinya, 4) Fisafat
dan teori pendidikan adalah satu.
d. Hubungan Masyarakat dengan Kurikulum Pendidikan
Secara
bertahap masyarakat tradisional yang berorientasi kepada status akan
beralih menjadi masyarakat modern yang berorientasi kepada prestasi.[7]
Prestasi yang diraih tentunya dengan melakukan pendidikan yang baik dan
terarah pencapaiannya. Guna tercapainya suatu pendidikan yang baik,
maka harus ada acuan, batasan, dan arahan sebagai bagian dari proses
pendidikan yaitu kurikulum. Kurikulum merupakan bagian dari sistem
pendidikan yang tidak bisa dipisahkan dengan komponen sistem lainnya.
Tanpa Kurikulum suatu sistem pendidikan tidak dapat dikatakan sebagai
sistem pendidikan yang sempurna. Ia merupakan ruh (spirit) yang menjadi
gerak dinamik suatu sistem pendidikan, Ia juga merupakan sebuah idea
vital yang menjadi landasan bagi terselenggaranya pendidikan yang baik.
Bahkan, kurikulum seringkali menjadi tolok ukur bagi kualitas dan
penyelenggaraan pendidikan. Baik buruknya kurikulum akan sangat
menentukan terhadap baik buruknya kualitas output pendidiksan, dalam hal
ini, peserta didik.
Dalam
kedudukannya yang strategis, kurikulum memiliki fungsi holistik dalam
dunia pendidikan; Ia memiliki peran dan fungsi sebagai wahana dan media
konservasi, internalisasi, kristalisasi dan transformasi ilmu
pengetahuan, teknologi, seni dan nilai-nilai kehidupan ummat manusia.
Dalam hal pengaruh sekolah terhadap masyarakat pada dasarnya tergantung
pada luas tidaknya prodak serta kualitas
out put pendidikan sekolah itu sendiri. Semakin besar out put sekolah
tersebut dengan disertai kualitas yang mantap, dalam artian mampu
mencetak sumber daya manusia yang berkualitas, maka tentu saja
pengaruhnya sangat positif bagi masyarakat sebaliknya, meskipun lembaga
pendidikan mampu mengeluarkan out put-nya, tetapi dengan SDM yang rendah
secara kualitas, itu juga menjadi masalah, tidak saja bagi out put yang
bersangkutan, tetapi juga berpengaruh bagi masyarakat.[8]
Sebagai
wahana dan media konservasi, kurikulum memiliki konstribusi besar dan
strategis bagi pewarisan amanat ilmu pengetahuan yang diajarkan Allah
SWT melalui para nabi dan rosul, para filosof, para cendikiawan, ulama,
akademisi dan para guru, secara turun temurun, inter dan antar generasi
melalui pengembangan potensi kognetif, afektif dan psikomotorik para
muridnya. Sehingga ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kehidupan dalam
kerangka menciptakan situasi kondusif, dinamis dan kostruktif tatanan
dunia ini berlangsung secara kontinum.
Sebagai
wahana dan media internalisasi, kurikuluim berfungsi sebagai alat untuk
memahami, menghayati dan sekaligus mengamalkan ilmu dan nilai-nilai
itu, dalam spektrum relitas kehidupan yang sangat luas dan universal,
sehingga kehidupan ini memiliki kebermaknaan, dalam arti nilai guna dan
hasil guna.
Kurikulum
berperan dan berfungsi sebagai wahana dan media kristalisasi ilmu
pengetahuan dan nilai-nilai kehidupan, sebab manusia baik sebagai objek
maupun subjek pendidikan dan kurikulum, tidak hanya dituntut mengerti,
memahami, mengauasai, menghayati dan mengamalkan ilmu pengetahuan dan
nilai-nilai itu, tetapi juga dituntut untuk memiliki concern dan
commitment terhadap ilmu dan nilai-nilai itu. Sehingga pemilik ilmu
pengetahuan dan nilai-nilai itu merasa memiliki (sense of belonging) dan merasa tanggungjawab (sense of responsibility) yang replektif terhadap diri dan lingkungannya, atas dasar amanat yang diembannya..
Lebih
jauh, kurikuluim bukan hanya berfungsi sebagai wahana dan media
konservasi, internalisasi dan kristalisai, tetapi Ia juga merupakan
wahana dan media transformasi. Pemilik ilmu pengetahuan dan nilai-nilai,
dituntut mempelopori, memimpin dan mendesain peradaban ummat manusia
yang konstruktif, dinamis, produktif dan innovatif, serta mengawal,
membimbing, membina, dan mengarahkan perubahan- perubahnya secara
proaktif dan dedikatif melalui perubahn-perubahan peradaban yang semakin
baik.[9]
e. Hubungan Masyarakat dengan Kompetensi Sosial Pendidik
Kompetensi Sosial adalah kemampuan untuk memulai dan mempertahankan hubungan timbal balik yang memuaskan dengan teman sebaya. Dalam devinisi lain dijelaskan bahwa Kompetensi
sosial adalah kondisi yang memiliki keterampilan sosial, emosional, dan
intelektual dan perilaku yang dibutuhkan untuk berhasil sebagai anggota
masyarakat. Kompetensi
Sosial juga harus memiliki dan menggunakan kemampuan untuk
mengintegrasikan pikiran, perasaan dan perilaku untuk mencapai tugas
sosial dan hasil yang dinilai dalam konteks host dan budaya.
Kompetensi
sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi
secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, kepala
sekolah, orang tua/wali siswa, dan masyarakat sekitar. Kompetensi sosial
menuntut guru untuk mampu bergaul secara proporsional dan profesional.
Mampu bergaul secara proporsional artinya ia dapat memosisikan dirinya
siapa yang sedang dihadapinya. Jika berkomunikasi dengan teman sejawat
(misalnya dengan guru yang lain) tentunya bahasa, sikap dan perilaku
berbeda ketika berkomunikasi dengan atasan (misalnya kepala sekolah)
atau dengan siswa. Kita sebagai guru harus bisa menenpatkan diri di
tengah-tengah orang lain. Janganlah menjadi orang yang mengucilkan diri
atau bahkan dikucilkan oleh orang lain. Tentunya kompetensi sosial yang
dimilliki guru sangat erat dengan kompetensi keperibadiannya. Manakala
guru memiliki kompetensi keperibadian yang baik dapat dipastikan ia
mudah dan mampu berkomunikasi dengan orang lain. Lain halnya jika dalam
keadaan sebaliknya.
Kemampuan dasar kedua bagi pendidik adalah menyangkut kepeduliannya terhadap masalah-masalah sosial selaras dengan ajaran Islam. Sikap gotong –royong, tolong- menolong, egalitarian (persamaan derajat antara sesama manusia), sikap toleransi dan sebagainya juga perlu dimiliki oleh pendidik untuk selanjutnya diciptakan dalam suasana pendidikan dalam rangka transinternalisasi sosial atau transaksi sosial antara pendidik dan anak didik.
Masalah
penyebaran guru dan ketidakcocokan latar belakang pendidikan dan
penugasan guru merupakan masalah yang sangat signifikan. Dalam menangani
masalah, pemerintah telah melakukan berbagai upaya antara lain melalui
penataran dan pemberian kesempatan tugas belajar. Perubahan dan
perkembangan masyarakat yang semakin maju menuntut profesi guru
menyesuaiakan diri dengan perubahan dan kebutuhan masyarakat.
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Dari
uraian makalah diatas, dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa
masyarakat ialah kesatuan yang selalu berubah, yang hidup karena proses
masyarakat yang menyebabkan terjadi proses perubahan itu. Masyarakat
menurut pemakalah ialah Sekelompok manusia yang terdiri di dalamnya ada
keluarga, masyarakat dan adat kebiasaan yang terikat dalam satu kesatuan
aturan tertentu.
Kebutuhan
masyarakat tidak hanya menyangkut bidang material melainkan juga bidang
spiritual, termasuk ilmu pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan
sebagainya. Pendidikan berhubungan dengan masalah manusia pribadi dan
masyarakat.
Kurikulum
sebagai rancangan pendidikan, mempunyai kedudukan sentral; menentukan
kegiatan dan hasil pendidikan. Kurikulum yang lemah akan mengahasilkan
manusia yang lemah pula. Kurikulum merupakan bagian dari sistem
pendidikan yang tidak bisa dipisahkan dengan komponen sistem lainnya.
Kurikulum pendidikan sangat mendukung bagi terciptanya out put peserta
didik yang berkualitas, yang akan turun langsung kedalam satuan elemen
masyarakat.
[1] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1984), h. 186.
[2] Hassan Sadily, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia (Cet. I; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), h. 50.
[3] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Cet. 33; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 29.
[4] Omar Mohammad At-Toumy Al-Syaibany, Falsafah pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), Cet I, h. 164
[5] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. I, h. 120
[6] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktik, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010), Cet 13, h. 59
[7] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), Cet ke 16, h. 268
[8] Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), h. 104
Tidak ada komentar:
Posting Komentar