Selasa, 23 Mei 2017

BUKU: Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor

Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 1
M. Ihsan Dacholfany
BAGIAN I
PENDAHULUAN
Pendidikan adalah modal dasar pembangunan yang akan
menentukan kemajuan dan perkembangan suatu bangsa.
Dengan pendidikan, potensi dan sumber daya individu
dapat dikembangkan. Demikian pula dengan pendidikan
diharapkan akan terbina kepribadian manusia yang sadar
akan tanggung jawabnya sebagai individu, makhluk susila,
makhluk sosial, dan makhluk beragama sehingga memiliki
karakter yang baik dan bermartabat. Oleh karena itu,
pendidikan harus menjadi prioritas utama dalam
pembangunan bangsa menuju Indonesia yang lebih baik,
maju, dan berkembang di masa mendatang.
Dalam pasal 1, UU Sisdiknas, No. 20, Tahun 2003,
dinyatakan bahwa:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran, agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
Negara.
Saat ini, kita menyaksikan bangsa Indonesia
sedang mengalami krisis kepemimpinan, integritas, dan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 2
M. Ihsan Dacholfany
moral. Krisis kepemimpinan ditandai dengan beberapa
ciri: 1) tidak menjadi teladan bagi orang-orang yang
dipimpin; 2) menggunakan kekuasaan dan kewenangan
untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan golongan; 3)
tidak berpihak kepada kepentingan rakyat; 4)
menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi;
5) tidak bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan;
6) tidak merasa malu terhadap diri sendiri, keluarga, dan
masyarakat.
Jika ditelaah lebih jauh, krisis kepemimpinan
tersebut muncul akibat adanya split personality dalam diri
seseorang. Secara sederhana, split personality berarti
memiliki kepribadian ganda. Misalnya, di satu satu sisi,
sebagai umat beragama seseorang bisa saja rajin
beribadah. Tetapi di sisi lain justru perilakunya tidak
mencerminkan akhlak yang dianjurkan agamanya. Seluruh
aktivitas ibadah yang dilakukannya tidak memengaruhi
perilaku sehari-hari. Split personality tersebut salah
satunya diakibatkan oleh adanya sistem pendidikan yang
memisahkan antara materi pendidikan agama dengan
materi pendidikan lainnya serta tidak mengamalkannya.
Menurut Ketua Perguruan Ar-Rafi Bandung, Hari
Suderadjat, split personality atau orang munafik itu
disebabkan tidak adanya kesatuan antara ucapan (ilmu),
sistem nilai (iman), dan perbuatan (amal). Padahal, dalam
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 3
M. Ihsan Dacholfany
firman Allah ditegaskan agar orang-orang beriman masuk
ke dalam Islam secara kaffah (keseluruhan) serta dilarang
mengikuti langkah-langkah setan (Lihat QS Al-Baqarah
[2]: 208). Oleh karena itu, selayaknya pembelajaran agama
terintregasi pada semua mata pelajaran, baik dari tingkat
PAUD/TK, SD, SMP, SMA sampai perguruan tinggi.
Pembelajaran materi lain seperti matematika, biologi,
fisika, kimia dan lain-lain, seharusnya menambah
keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Sehingga akan
dihasilkan para lulusan yang mampu mengintegrasikan
nilai-nilai agama dengan seluruh sikap dan perilaku, yang
diwujudkan dalam bentuk nilai-nilai moral.
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dalam
sesi seminar menyampaikan bahwa krisis yang melanda
dunia saat ini sama dengan krisis yang melanda Indonesia
pada 1998, yang berakar dari krisis moral yakni terjadinya
kolusi dan korupsi yang berlebihan. Dikatakannya, karena
krisis dunia ini berakar dari krisis moral, maka perlu
diselesaikan secara moral, sebelum ada penyelesaian
secara teknis manajerial. Karena episentrum krisis dunia
ini berpusat di jantung perekonomian dunia baik di
Amerika maupun Eropa, maka imbasnya menjalar ke
seluruh dunia ( http://lakpesdam.org-), sedangkan
menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah Din
Syamsudin, Indonesia perlu sebuah terobosan besar untuk
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 4
M. Ihsan Dacholfany
mengatasi krisis moral dan korupsi yang menjangkiti
semua elite bangsa (http://sps.uhamka.ac.id)
Dalam usaha menghasilkan sumber daya manusia
yang memiliki integritas syarat dengan nilai-nilai agama
dan moral, pemerintah membentuk berbagai lembaga
pendidikan baik formal maupun non formal. Pemerintah
juga membantu pendidikan yang diselenggarakan oleh
masyarakat, seperti Pondok Pesantren, pusat-pusat kajian,
jamaah pengajian, dan lain-lain. Usaha peningkatan
lembaga pendidikan ini sangat diperlukan, dan harus
dilakukan secara simultan melalui tiga hal penting yang
saling berhubungan; masukan (input), proses (process),
dan hasil (output).
Menurut Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan
Tenaga Kependidikan (PMPTK) Kementrian Pendidikan
Nasional, Baedhowi, peningkatan mutu pendidikan
merupakan tanggung jawab kita bersama, bukan hanya
tanggung jawab lembaga pendidikan, guru, dan siswa.
Tetapi menjadi tanggungjawab masyarakat dan pemerintah
(27 Mei 2011).
Di dalam Pasal 3 UU tersebut dinyatakan dengan
jelas tentang fungsi pendidikan nasional, yaitu:
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 5
M. Ihsan Dacholfany
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Jauh sebelumnya, Bapak Pendidikan Nasional, Ki
Hadjar Dewantara, secara filosofis menyatakan bahwa
pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan
tumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin dan karakter),
pikiran, dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh
dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan
hidup anak-anak kita. Dengan demikian, hakikat, fungsi,
dan tujuan pendidikan nasional tersebut mengisyaratkan,
melalui pendidikan hendak diwujudkan peserta didik yang
secara utuh memiliki berbagai kecerdasan, baik kecerdasan
spiritual, emosional, sosial, intelektual maupun kecerdasan
kinestetika. Sehingga pendidikan nasional mempunyai
misi mulia terhadap individu peserta didik.
Di luar kegiatan tersebut, sudah banyak sekolah
unggulan yang mengembangkan karakter secara terpadu
dalam pelaksanaan pendidikan. Begitu pula tidak sedikit
lembaga pendidikan sederhana seperti Pondok Pesantren
di pedesaan yang mampu menumbuhkembangkan karakter
peserta didik. Pengembangan pendidikan karakter
dilakukan dalam budaya sekolah melalui pembiasaan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 6
M. Ihsan Dacholfany
kehidupan keseharian di sekolah/Pondok, didukung oleh
seorang Pimpinan atau guru/ustadz yang menjadi teladan
utama sekaligus sebagai kunci sukses.
Sofyan Sauri, Guru Besar Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI) Bandung, mengatakan bahwa Pendidikan
karakter adalah pendidikan utama yang diajarkan di
lingkungan Pesantren. Alasannya, hal yang penting dalam
hidup adalah karakter seseorang. Dengan karakter yang
baik, seseorang akan memiliki keterampilan baik serta
memiliki jiwa dan kehidupan yang baik, banyak alumni
Pesantren menduduki posisi penting di lingkungan
masyarakatnya dan peranan dalam usaha pembinaan
karakter dan mempertahankan eksistensi ummat Islam
serta memberikan pengaruh terhadap sumber daya
manusia di Indonesia.
Menurut Doni Koesoema, pada saat ini banyak
sekolah di Indonesia yang sudah mengembangkan
pendidikan karakter dan mampu meningkatkan prestasi
belajar siswa. Seperti Sekolah Al-Azhar, Al-Kausar,
Jakarta Islamic School yang telah menanamkan karakter
pendidikan Islam yang kuat. Tantangan ke depan adalah
bagaimana kesuksesan itu membangun pendidikan
karakter yang mampu menyentuh semua jalur, jenjang,
dan jenis pendidikan di Indonesia. Secara akademik,
Lickona memaparkan bahwa pendidikan karakter
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 7
M. Ihsan Dacholfany
dimaknai sebagai pendidikan nilai, budi pekerti, moral,
dan watak. Tujuannya adalah mengembangkan
kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan
baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan
kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh
hati.
Selanjutnya, Ary Ginanjar Agustian pendidikan
merupakan upaya memanusiakan manusia dengan
mengupayakan kemampuan dalam bentuk potensi
individu. Sehingga manusia bisa hidup optimal baik
sebagai pribadi maupun anggota masyarakat, serta
memiliki nilai-nilai moral dan sosial sebagai pedoman
hidupnya. Namun demikian, yang terpenting yaitu
membentuk keutuhan sebagai manusia yang diciptakan
oleh Tuhan Yang Maha kuasa sebagai Khalifah di muka
bumi agar berakhlak karimah, bermasyarakat dengan baik,
serta berpendidikan luas baik secara spiritual maupun
emosional, dengan begitu akan tercapai manusia seutuhnya
di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Tidak kalah penting apa yang disampaikan Guru
Besar UIN Bandung, Ahmad Tafsir bahwa pendidikan
menuntut keterlibatan semua pihak dalam mendidik para
generasi penerus bangsa. Hal ini supaya para generasi
tersebut mempunyai bekal yang cukup baik akademik
maupun non-akademik (karakter dan mental yang kuat).
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 8
M. Ihsan Dacholfany
Karena itu, dalam dunia pendidikan kita dikenal istilah
“Tri Pusat Pendidikan” yang berfungsi sebagai salah satu
konsep dasar pendidikan. Istilah ini, menurut Sofyan Sauri
pertama kali digunakan oleh Ki Hadjar Dewantara dalam
menyebut lingkungan pendidikan, yaitu: keluarga, sekolah,
dan masyarakat. Ketiga elemen ini memiliki peran penting
bagi keberhasilan pendidikan anak.
Akan tetapi, pada kenyataannya Tri Pusat
Pendidikan ini seringkali tidak saling mendukung untuk
menyukseskan pendidikan anak. Para orang tua dan
masyarakat yang seharusnya ikut mendukung dan
menyukseskan program tersebut tidak jarang terlalu
mengandalkan sekolah sebagai pendidik anak-anak
mereka. Sedangkan di sekolah, kepala sekolah dan para
guru seringkali tidak mampu mencerminkan sebagai
pendidik yang baik dalam keseharian mereka. Jika
keadaan semacam ini dibiarkan terus-menerus, akan
mengakibatkan tercetaknya generasi-generasi split
personality sebagaimana diterangkan di atas.
Beberapa faktor yang memengaruhi permasalahan
di atas bisa jadi karena para guru hanya sekadar menjadi
pengajar yang baik, tetapi tidak mampu menjadi pendidik
yang baik. Mereka cenderung mengandalkan lingkungan
masyarakat dan rumah sebagai pendidik anak-anak.
Lantas, bagaimana akan terdidik karakter yang baik jika
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 9
M. Ihsan Dacholfany
para pemimpin mereka di sekolah tidak menunjukkan
perilaku yang layak untuk ditiru atau layak dijadikan
teladan. Lebih tragis lagi ketika apa yang mereka lihat, apa
yang mereka dengar, dan apa yang mereka rasakan di
lingkungan dan rumah tidak jauh berbeda dengan
lingkungan sekolah. Anak-anak terlalu sering merekam
penggunaan bahasa “kasar,” menyaksikan ketidaksopanan
dan ketidaksantunan dalam berperilaku, minimnya teladan
penghormatan kepada yang lebih tua, ingkar janji dan
kemalasan beragama. Semua ini menjadi santapan mereka
sehari-hari. Akankah kita mengharapkan mereka memiliki
perangai dan karakter yang baik jika orang-orang yang
lebih tua yang nota bene merupakan para pemimpin
mereka tidak menunjukkan dan mencontohkannya ?.
Selayaknya pendidikan dan pengajaran yang telah
dijalani para orang tua, guru, dan masyarakat yang ada di
sekitar anak-anak mampu membentuk karakter yang baik
dan kuat dalam keseharian mereka. Bahasa yang santun,
menepati janji, menghormati yang lebih tua, sopan dan
santun dalam berperilaku, taat beragama, dan lain
sebagainya merupakan bagian dari karakter yang
seharusnya dilihat dan ditiru oleh anak-anak. Dari sini
diharapkan lahirnya akhlaqul karimah yang akan menjadi
contoh bagi anak-anak mereka.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 10
M. Ihsan Dacholfany
Di lain sebab, problematika Tri Pusat Pendidikan
sebagaimana diterangkan di atas yang menjadikan
pembentukan karakter anak ini terkadang diserap secara
tidak efektif. Hal ini juga menjadi penyebab munculnya
kecenderungan split personality. Di satu sisi mereka
sangat patuh dan taat, tetapi di sisi lain mereka berubah
dari kepatuhan menjadi pembangkangan, dari ketaatan
menjadi pelanggaran. Maka dari itu, pendidikan yang
berlatar belakang Pondok Pesantren mempunyai peranan
penting dalam menumbuhkembangkan akhlak seseorang
dalam berperilaku terhadap sesamanya. Pesantren adalah
salah satu lembaga pendidikan alternatif yang
menitikberatkan pengajarannya pada nilai-nilai islami.
Selain itu, sebagai institusi pendidikan Islam tertua di
tanah air, Pesantren juga memberikan andil besar dalam
mencerdaskan kehidupan umat dan bangsa. Dari “rahim”
Pesantren lahir tokoh-tokoh masyarakat, ulama, kaum
intelektual, dan pemimpin-pemimpin bangsa. Akan tetapi,
pada era globalisasi ini, Pesantren justru terkesan sebagai
lembaga “kumuh,” dan bukan ‘pilihan’ populer
dibandingkan sekolah-sekolah modern yang banyak
bermunculan.
Sampai saat ini jumlah Pesantren di Indonesia
mencapai 16.015 Pondok Pesantren yang tersebar di 33
provinsi di Indonesia. Berdasarkan tipe Pondok Pesantren,
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 11
M. Ihsan Dacholfany
terdapat sebanyak 3.991 (24,9%) Pondok Pesantren
salafiyah; 3.824 (23,9%) Pondok Pesantren modern; 8.200
(51,2%) Pondok Pesantren kombinasi. Adapun jumlah
santri secara keseluruhan sebanyak 3.190.394, terdiri dari:
1.696.494 (53,2%) santri laki-laki, dan 1.493.900 (46,8%)
santri perempuan. Sedangkan menurut pilihan aktivitas
belajar santri di Pondok Pesantren, di antaranya: 38,2%
santri mengaji, dan 61,8% santri mengaji dan sekolah.
Berkaitan dengan masalah di atas, Kementrian
Agama RI mengemukakan, akhir-akhir ini ada tiga Pondok
Pesantren yang tutup yakni Tarbiyatul Quran di Sodo,
Kecamatan Paliyan, Syaroful Ummah di Ledoksari Wonosari
dan Nurul ihsan di Ledutupoksari, Wonosari, Kementerian
Agama Gunungkidul menyebut salah satu penyebabnya karena
kurang minat warga mengenyam pendidikan di Pesantren.
(http://www.solopos.com/2013/Pondok-Pesantren-ditutup)
Faktor utama penyebab tutupnya Pondok
Pesantren lebih karena manajemen pengelolaan dan gaya
kepemimpinan kyai pengelola Pondok Pesantren tersebut,
terutama tipe Pesantren salafiyah.
Meskipun telah terjadi perubahan dalam sistem
pendidikan dan pengajaran, dan telah dilakukan
penyesuaian-penyesuaian dengan peraturan Sistem
Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), namun Pesantren
tetap dalam kulturnya sendiri. Sebagai salah satu institusi
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 12
M. Ihsan Dacholfany
pendidikan tradisional di Indonesia, Pesantren tetap
menekankan pentingnya tradisi keislaman di
tengah-tengah kehidupan masyarakat sekaligus menjadi
sumber utama moral dan akhlak.
Secara historis, Pesantren telah ada sejak 300 - 400
tahun yang lalu, dan telah menjangkau hampir seluruh
lapisan masyarakat Muslim Indonesia. Keberadaannya
juga memiliki peranan sebagai salah satu benteng
perlawanan terhadap kolonialisme dan feodalisme.
Peranan multifungsi Pesantren di Indonesia ini dimulai
sejak perang melawan penjajah di era kolonialisme, hingga
menjadi penyumbang pemikiran konstruktif dalam
pembangunan bangsa di era globalisasi. Dengan demikian,
keunggulan Pesantren terletak pada prinsip
“memanusiakan manusia” dalam proses pembelajarannya,
dan menggabungkan Tri Pusat Pendidikan dalam
lingkungannya agar mampu mencetak para santri yang
memiliki karakter kuat, baik dari sisi keilmuan agama,
umum, maupun perilaku sehari-hari. Dengan kata lain, jika
dalam pendidikan formal lebih berorientasi pada
pencapaian akademik dan raport atau materi semata, di
Pesantren lebih ditekankan pada pembinaan karakter dan
keteladanan guru. Inilah kondisi ideal bagi pembentukan
karakter generasi penerus bangsa, sebagaimana menjadi
pusat perhatian pendidik saat ini.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 13
M. Ihsan Dacholfany
Adapun urgensi dari pelaksanaan komitmen
nasional pendidikan karakter telah dinyatakan dalam
Sarasehan Nasional bertajuk “Pendidikan Budaya dan
Karakter Bangsa Sebagai Kesepakatan Nasional
Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa.”
Pada tanggal 14 Januari 2010. Sarasehan tersebut
menghasilkan kesimpulan antara lain sebagai berikut:
1. Pendidikan budaya dan karakter bangsa
merupakan bagian integral yang tak terpisahkan
dari pendidikan nasional.
2. Pendidikan budaya dan karakter bangsa harus
dikembangkan dan diwadahi secara komprehensif
sebagai proses pembudayaan.
3. Pendidikan budaya dan karakter bangsa
merupakan tanggung jawab bersama antara
pemerintah, masyarakat, sekolah, dan orang tua.
4. Dalam upaya merevitalisasi pendidikan dan
budaya karakter bangsa diperlukan gerakan
nasional guna menggugah semangat kebersamaan
dalam pelaksanaan di lapangan.
Dalam sambutan Menteri Agama RI pada
peringatan Hari Amal Bakti Ke 65, tanggal 3 Januari 2011,
beliau mengatakan bahwa peran Kementerian Agama ke
depan semakin penting dan strategis karena sesuai dengan
rekomendasi National Summit 2009. Rekomendasi
tersebut berisi seputar isu utama pembangunan agama
setidaknya mencakup tiga hal, yaitu: 1) peningkatan
wawasan keagamaan yang dinamis; 2) penguatan peran
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 14
M. Ihsan Dacholfany
agama dalam pembentukan karakter dan peradaban
bangsa; 3) peningkatan kerukunan umat beragama dalam
membangun kerukunan nasional.
Dalam hal ini, Pesantren menyuguhkan beragam
cara dalam membangun pendidikan karakter bagi para
santri. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh pimpinan
Pondok Gontor, Abdullah Syukri Zarkasyi:
Kegiatan ubudiah terwujud melalui shalat,
tahajud, puasa sunah, zikir, dan wirid. Juga ada
kegiatan belajar-mengajar, kegiatan organisasi,
pidato, pramuka, dan kegiatan lainnya. Di
Pesantren, pendidikan karakter berjalan melalui
kegiatan yang syarat dengan muatan akhlak
mulia dan filsafat hidup, termasuk memberikan
pemahaman tentang makna hidup.
Apa yang disampaikan di atas semuanya
menyentuh hati para santri sekaligus membuat etos kerja
serta mental mereka semakin baik. Di dunia Pesantren,
santri tidak hanya diajari berbagai mata pelajaran, mereka
pun dibimbing untuk meniti kehidupan. Pelajaran tentang
arti kehidupan inilah yang sebetulnya merupakan wujud
pendidikan karakter di Pesantren.
Menurut Guru Besar IAIN Raden Intan Lampung,
Syaripudin Basyar bahwa pendidikan Pesantren bertujuan
menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim
(karakter santri), yaitu kepribadian beriman dan bertakwa
kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 15
M. Ihsan Dacholfany
masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan
jadi abdi masyarakat, yaitu menjadi pelayan masyarakat
sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad SAW
(mengikuti sunah Nabi), mampu berdiri sendiri, bebas dan
teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau
menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di
tengah-tengah masyarakat dan mencintai ilmu dalam
rangka mengembangkan kepribadian Indonesia.
Menanggapi masalah di atas, Sapriya berargumen
bahwa pendidikan karakter bangsa sangat penting untuk
mengembangkan generasi muda Indonesia, hingga
menghasilkan generasi yang beretika dan berbudi pekerti.
Pendidikan karakter adalah gerbong untuk menanamkan
karakter mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Penulis sendiri sependapat dengan Sapriya,
pendidikan karakter hendaknya dilakukan sejak dini sebab
akan berpengaruh pada waktu dewasa kelak, dan akan
membekas dalam diri anak.
Lebih gamblang, Abdullah Syukri Zarkasyi
mengatakan:
Pendidikan karakter adalah pendidikan utama
yang diajarkan di lingkungan Pesantren.
Alasannya, hal yang penting dalam hidup
seseorang adalah karakter. Dengan karakter yang
baik, seseorang akan memiliki keterampilan baik
serta memiliki jiwa dan kehidupan yang baik.
Banyak alumni Pesantren menduduki posisi
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 16
M. Ihsan Dacholfany
penting di lingkungan masyarakatnya dan peranan
dalam usaha pembinaan karakter serta
mempertahankan eksistensi umat Islam. Mereka
memberikan pengaruh terhadap sumber daya
manusia di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui,
banyak alumni Pondok Pesantren menjadi tokoh
agama, ilmuwan, bahkan wirausahawan, mulai
kepala desa, bupati, politisi, anggota DPR, duta
besar, menteri. Juga ada yang memegang posisi
sebagai pimpinan DPR dan MPR, dan Presiden.
Apa pun jabatan seseorang, tentu akan memiliki
pengaruh terhadap orang lain. Maka dari itu, karakter
seseorang perlu dibina dan dibimbing, terlebih di dalam
kehidupan Pesantren. Sebab, santri setelah tamat akan
menghadapi dunia nyata yang jauh berbeda dari dunia
Pesantren.
Dalam konteks Pondok Pesantren, perubahan dari
yang semula hanya tempat belajar-mengajar agama Islam
menjadi pusat kegiatan multifungsi membawa implikasi
pada perluasan fungsi. Di antaranya pembinaan karakter
santri dengan nilai-nilai Islami sehingga menjadi insan
sempurna. Dengan harapan, nantinya dapat bermanfaat
bagi diri, keluarga, masyarakat, agama, dan negaranya.
Pendidikan karakter di Pesantren pada mulanya
dari kepemimpinan seorang kyai. Gaya kepemimpinan
yang digunakan kyai dalam mendidik peserta didik
tersebut diharapkan mampu mengubah peserta didik dalam
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 17
M. Ihsan Dacholfany
mengamalkan ajaran dan nilai-nilai pendidikan. Misalnya
visi, misi, jiwa Pondok Pesantren, motto, orientasi,
falsafah, sistem, kegiatan Pesantren, dan lain sebagainya.
Dalam hal inovasi, kepemimpinan kyai termasuk
ke dalam kategori leggard atau penerima inovasi golongan
akhir. Kecederungan tersebut terkait dengan keragaman
latar belakang dan dasar keilmuan para kyai. Di beberapa
Pondok Pesantren, kyai cenderung memandang perubahan
sebagai salah satu ancaman yang dapat memengaruhi visi
dan misi pendidikan Pondok Pesantren. Sebagai pemimpin
Pondok Pesantren, seorang kyai memiliki tugas pokok
membimbing pelajaran agama Islam di Pondok Pesantren.
Selain itu, kyai juga menjadi rujukan bagi santri dan
pendukungnya. Segala kebijakan yang dituangkan dalam
ucapan-ucapannya seringkali dijadikan pegangan. Sikap
dan tingkah laku keseharian seorang kyai dijadikan
referensi atau panutan. Bahasa-bahasa kiasan yang
dilontarkannya menjadi bahan renungan bagi santri dan
para pengikutnya.
Posisi kyai yang serba menguntungkan itu
membentuk mekanisme kerja Pondok Pesantren, baik yang
berkaitan dengan struktur organisasi dan kepemimpinan
maupun arah kebijakan pengembangan kelembagaan
Pondok Pesantren. Kyai sebagai pucuk pimpinan bertugas
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 18
M. Ihsan Dacholfany
mengatur, mengelola, dan menata Pesantren sehingga
menjadi baik dan sempurna.
Abdullah Syukri Zarkasyi secara lebih tegas
mengatakan:
Besarnya peran yang dilakukan oleh kyai Pesantren
tersebut bukan suatu kebetulan, tetapi ada nilai yang
mendasarinya. Dimensi soft skill yang berpengaruh
terhadap kinerja individu dan organisasi, yaitu nilai,
keyakinan, budaya, dan norma perilaku. Nilai-nilai
adalah pembentuk budaya, dan merupakan dasar bagi
perubahan kehidupan pribadi atau kelompok.
Posisi kyai sebagai pemimpin di Pesantren dituntut
untuk memegang teguh nilai-nilai luhur yang Islami, yang
menjadi acuan dalam bersikap, bertindak, dan
mengembangkan Pesantren. Nilai-nilai luhur menjadi
keyakinan kyai dalam hidupnya. Sehingga, apabila dalam
memimpin Pesantren bertentangan atau menyimpang dari
nilai-nilai luhur Islami yang diyakininya, langsung maupun
tidak langsung, kepercayaan masyarakat terhadap kyai atau
Pesantren akan pudar.
Menurut Hasyim Muzadi bahwa keberadaan kyai
sebagai pemimpin Pesantren sangat unik untuk diteliti. Hal
ini jika dilihat dari sudut tugas dan fungsi seorang kyai
tidak sekadar menyusun kurikulum, membuat sistem
evaluasi, dan menyusun tata tertib lembaga. Seorang kyai
juga menata kehidupan seluruh komunitas Pesantren,
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 19
M. Ihsan Dacholfany
sekaligus sebagai pembina warga Pesantren dan
masyarakat. Oleh karena itu, sebagai elemen yang sangat
esensial dari Pesantren, seorang kyai dituntut memiliki
kebijaksanaan dan wawasan yang luas, terampil dalam
ilmu-ilmu agama, dan menjadi suri teladan pemimpin yang
baik. Bahkan, keberadaan kyai sering dikaitkan dengan
fenomena kekuasaan yang bersifat supranatural. Figur
seorang kyai dianggap sebagai pewaris risalah kenabian,
Nurcholis Madjid sepakat bahwa keberadaan kyai nyaris
dikaitkan dengan sosok yang memiliki hubungan dekat
dengan Tuhan.
Dengan demikian, menurut Dhofier bahwa
pertumbuhan suatu Pesantren sangat tergantung pada
kemampuan pribadi kyainya.Terlebih pada saat intensitas
dan frekuwensi perubahan yang sangat tinggi seperti pada
abad ke-21 ini. Maka, di samping manajemen yang baik
juga diperlukan kapasitas dan kualifikasi kepemimpinan
yang handal. Manajemen Pondok Pesantren tidak dapat
dilepaskan dari isu pembaharuan dan perubahan. Hal ini
sebagaimana ungkapan Abdullah Syukri Zarkasyi bahwa
pembaharuan Pondok Pesantren dapat terjadi pada
aspek-aspek seperti: (1) orientasi; (2) gaya kepemimpinan;
(3) sistem suksesi kepemimpinan; (4) mutu pelayanan
pendidikannya.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 20
M. Ihsan Dacholfany
Adapun salah satu ciri penting Pondok Pesantren
adalah ditempatkannya kyai pada posisi tertinggi. Ciri ini
tampak, misalnya, dalam pola hubungan antara kyai
dengan santri, guru, dan masyarakat di sekitarnya. Para
santri patuh dan taat kepada kyai. Apa yang difatwakan
kyai biasanya selalu diikuti, bahkan pola hubungan
tersebut telah diwujudkan ke dalam suatu doktrin sami’na
wa atha’na (kami mendengar dan kami patuh).
Menurut Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Aziz Fahrurrozi bahwa Persoalan kaderisasi
bukan hanya persoalan kelangsungan (sustainable)
melainkan kesanggupan mencetak pemimpin yang
berbasis menejemen sifat kenabian yaitu sidiq, amanah,
tablig dan fathonah.Indonesia dewasa ini sedang
kehilangan tokoh pemimpin yang mempunyai karakter the
dancing leader, yakni tokoh pemimpin yang tegas dan
luwes bukan hanya melanjutkan masa lalu tanpa
keberdayaan. Sekarang ini kita sedang kehilangan semua
sifat kenabian itu dan Pesantren harus mampu mengawal
kembalinya semua sifat nabi itu untuk hadir memimpin
menjadi insan beradab, berwibawa, dan bermartabat.
Menurut siapa: .... Lain halnya dengan Pondok
Gontor yang telah memiliki sistem kaderisasi, walaupun
Kyai Trimurti (pendiri Pesantren) sudah meninggal, nama
besarnya tetap dikenal dan dikenang oleh masyarakat,
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 21
M. Ihsan Dacholfany
meski kepemimpinan kyai telah mengalami pergantian
generasi, tetapi tetap tidak melupakan kebijakan
kepemimpinan Kyai Trimurti ketika masih hidup.
Akan tetapi, tidak ada salahnya jika ada perubahan
kebijakan yang dilakukan generasi penerus atau kader
pemimpin untuk mengelola Pondok Pesantren, justru
terkadang sangat diperlukan. Misalnya, perubahan
kebijakan dalam membangun pendidikan yang agamis dan
sesuai dengan tuntutan zaman serta pola pembinaan
karakter santri. Hal itu sangat diperlukan dalam rangka
menanamkan nilai-nilai islami sehingga dapat
membendung kerusakan akhlak serta memberikan
semangat perjuangan dan pengorbanan agama.
Sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di
Indonesia, Pondok Pesantren sudah memberikan
kemampuannya dalam membina dan mencetak
ulama-umara dan telah berjasa mencerdaskan masyarakat
Indonesia. Selain tugas utamanya mencetak dan membina
kader ulama, Pondok Pesantren juga telah berhasil menjadi
pusat kegiatan pendidikan yang memberikan semangat
jiwa
keikhlasan, kewirausahaan, tidak menggantungkan hidup
kepada orang lain, dan lain sebagainya.
Sedangkan Umar Samsudin, dosen STAI
Binamadani Tangerang, mengatakan bahwa Sebagai
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 22
M. Ihsan Dacholfany
subsistem pendidikan nasional, Pesantren mempunyai
peran penting dalam memenuhi kebutuhan nasional
melalui upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional. Hal
ini dapat dilakukan Pesantren secara terus menerus, karena
Pesantren mampu mempertahankan identitasnya disatu
pihak dan terbuka bagi kemajuan ilmu dan teknologi
dipihak lainya, dalam rangka mencapai cita-cita nasional.
Eksistensi Pondok Pesantren sebagai lembaga
pendidikan sampai sekarang masih diakui, bahkan
semakin memainkan peranannya di tengah-tengah
masyarakat. Semua itu dalam rangka menyiapkan sumber
daya manusia (SDM) yang handal dan berkualitas. Kendati
demikian, bukan berarti Pondok Pesantren luput dari
berbagai halangan dan kendala yang dihadapi. Akibat
semakin meningkatnya kebutuhan pembangunan dan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, kendala dan
ujian yang dihadapinya pun semakin komplek dan
mendesak. Tantangan dan halangan ini pun menyebabkan
terjadinya pergeseran nilai, dan memaksa Pondok
Pesantren untuk mencari bentuk baru yang sesuai dengan
kebutuhan bangunan ilmu pengetahuan. Tetapi semua itu
digali tanpa mengesampingkan kandungan keimanan dan
ketakwaan kepada Allah serta nilai-nilai pendidikan yang
ada di Pondok Pesantren tersebut.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 23
M. Ihsan Dacholfany
Memang, diakui atau tidak pendidikan Pondok
Pesantren sebelumnya hanya menekankan pada pengajaran
keagamaan semata. Bahkan, sebagian dari ilmunya pun
belum teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu,
untuk mengikuti perkembangan zaman sekaligus
membendung kerusakan moral manusia, selayaknya
Pondok Pesantren mulai membangun dan membina
karakter santri dengan nilai-nilai islami dan memajukan
sumber daya manusianya. Maka, hal yang tidak kalah
penting dari proses pendidikan karakter di Pesantren salah
satunya ditentukan oleh gaya kepemimpinan kyai di
Pesantren. Sehingga, stigma negatif dari Pesantren dapat
ditangkal dengan realitas yang berbeda.
Sungguh sangat disayangkan, saat ini masih banyak
Pondok Pesantren yang mana pemimpinnya lebih banyak
beraktivitas di luar hanya untuk membesarkan namanya.
Di dalam Pesantrennya sendiri ia hanya berlaku sekadar
menjadi manager administratif, dan tugas-tugas ke
Pesantrenan hanya diwakilkan pada guru-guru muda yang
masih minim pengalaman. Memang, Pondok Pesantren
pun kemudian menjadi terkenal karena aktivitas
pimpinannya yang sering keluar berdakwah. Akan tetapi,
kondisi proses pendidikan dan pengajaran di Pondok
Pesantren kurang diperhatikan. Alhasil, tidak ada
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 24
M. Ihsan Dacholfany
kebersamaan, pengarahan langsung dari pimpinan, dan
minimnya keteladanan sang kyai untuk para santri.
Kondisi demikian ini dapat dikatakan sebagai tidak
mendukung proses pendidikan karakter melalui rekayasa
lingkungan. Padahal, hal tersebut merupakan salah satu
faktor pendukung dalam Tri Pusat Pendidikan
sebagaimana telah dijelaskan di atas. Karena untuk dapat
melakukan peran penting dalam pendidikan, Pondok
Pesantren harus terus-menerus melakukan pengembangan
dan pembenahan ke dalam. Di dalam pembinaan karakter
santri terkandung pendidikan nilai-nilai kePesantrenan,
dan setiap Pesantren memiliki ciri khas masing-masing,
seperti visi, misi, metodologi, teknologi, dan aktivitas
pendidikan lainnya. Dalam hal ini seorang kyai atau
pengelola Pondok Pesantren harus memiliki strategi agar
mampu bersaing dan berkompetisi secara positif. Paling
tidak mampu mengejar ketertingggalan dengan
berpedoman pada “menjaga yang lama dan masih layak;
mengambil yang baru yang lebih baik”.
Menurut Dosen Senior STAIN Jurai Siwo lampung
yang juga Ketua MUI, M. Sholeh mengatakan bahwa
Pondok Pesantren dinilai masih sangat efektif sebagai
benteng pertahanan moral, sekaligus pusat pembangunan
akhlak sehingga terbentuk pendidikan karakter bangsa
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 25
M. Ihsan Dacholfany
dengan pola pembinaan dilangsungkan selama 24 jam
(dari tidur sampai tidur lagi).
Pondok Pesantren telah banyak memberikan
kontribusi positif dalam pembangunan bangsa Indonesia.
Baik di pemerintahan maupun di luar pemerintahan.
Mereka adalah pemimpin besar dengan karakter
keislaman yang kuat. Kualitas karakter lulusan Pondok
Pesantren sangat dipengaruhi oleh kualitas manajemen
dari lembaga Pesantren tersebut. Banyak Pondok
Pesantren yang akhirnya bubar karena kesalahan
manajemen. Sementara itu, kualitas manajemen lembaga
Pondok Pesantren sangat dipengaruhi oleh gaya
kepemimpinan kyai. Maka dari itu, untuk meningkatkan
kualitas manajemen Pondok Pesantren, sangat diperlukan
kajian dan tulisan dengan fokus masalah tentang gaya
kepemimpinan kyai, terutama dalam konteks pendidikan
karakter.[]
BAGIAN II
Selayang Pandang Pondok Gontor
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 26
M. Ihsan Dacholfany
A. Sejarah Pondok Gontor
Pondok Modern Darussalam Gontor didirikan pada
hari Senin, 12 Rabi'ul Awwal 1345/20 September 1926
oleh tiga bersaudara, yaitu K.H. Ahmad Sahal
(1901-1977), K.H. Zainuddin Fannani (1905-1967), dan
K.H. Imam Zarkasyi (1910-1985). Tiga bersaudara ini
kemudian lebih dikenal dengan sebutan “Trimurti”.
Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor,
atau biasa disingkat menjadi Pondok Modern Gontor atau
Pondok Gontor merupakan kelanjutan dari Pesantren
Tegalsari. Sebuah desa terpencil yang terletak 10 km di
sebelah selatan pusat kerajaan Wengker di Ponorogo. Jika
dicermati lebih jauh, Pesantren Tegalsari ini telah
melahirkan para kyai, ulama, pemimpin, dan tokoh-tokoh
masyarakat yang ikut berkiprah dalam membangun
bangsa.
Menurut Yunus Aboe Bakar alumni Gontor
mengatakan beberapa kyai dan pengasuh Pesantren,
terutama di Jawa Timur mengatakan bahwa mereka
adalah keturunan keluarga Pondok Tegalsari. Di antaranya
adalah istri K.H. Hasyim Asy‘ari yang bernama Ny.
Nafiqah—yang memiliki 10 anak, di antaranya K. H. A.
Wahid Hasyim, kemudian menurunkan K.H Abdurrahman
Wahid—keturunan dari K. H Ilyas Pondok Pesantren
Sewulan Madiun termasuk kerabat K. H. Masykur, mantan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 27
M. Ihsan Dacholfany
Menteri Agama RI. Pondok Pesantren Sewulan didirikan
oleh santri sekaligus menantu dari Pesantren Tegalsari.
Dari alur inilah pertemuan geneologis Pondok Gontor
Ponorogo dengan Pesantren Tebuireng Jombang.
Gontor, sebuah kampung yang terletak lebih
kurang 3 kilometer sebelah timur Tegalsari dan 11
kilometer ke arah tenggara dari kota Ponorogo. Pada saat
itu Gontor masih kawasan hutan yang belum banyak
didatangi orang. Bahkan, hutan ini dikenal sebagai tempat
persembunyian para perampok, penjahat, penyamun,
pemabuk, dan orang-orang yang berperangai kotor atau
buruk. Karena itu, menurut riwayat kawasan tersebut
dijuluki sebagai “tempat kotor,” atau dalam bahasa Jawa
disebut enggon kotor. Penggabungan dua susunan kata
dalam bahasa Jawa “nggon” dan “kotor” menjadi nama
desa “Gontor”. Di desa tersebut, Pesantren yang didirikan
Kyai Sulaiman Jamaluddin itu kemudian dikenal dengan
sebutan Pondok Gontor sebagaimana dalam buku
karangan Imam Zarkasyi. Maka menurut Hafidz Dasuki
bahwa pada saat itu sesuai dengan keadaan dan kebutuhan
zaman, pelajaran yang diberikan hanya masalah-masalah
keagamaan saja. Karena tujuan utamanya mengembalikan
kesadaran rakyat yang masih dipengaruhi
kebiasaan-kebiasaan melanggar hukum agama dengan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 28
M. Ihsan Dacholfany
dalih bahwa hal itu sudah menjadi kebiasaan nenek
moyang sebelumnya.
Langkah pertama untuk membuka kembali Gontor
dengan mendirikan Tarbiyat al-Atfal (Pendidikan
anak-anak). Dalam program ini, para siswa diajarkan
materi-materi dasar agama Islam, bimbingan akhlak,
kesenian, dan pengetahuan umum sesuai tingkat
pengetahuan masyarakat saat itu. Selain itu, juga diajarkan
cara-cara menjaga kebersihan, bekerja, seperti bercocok
tanam dengan cara praktik langsung mengelola sawah,
beternak ayam dan kambing, pertukangan kayu dan batu,
bertenun, dan berorganisasi. Setelah lembaga pendidikan
dasar yang berjalan enam tahun itu menamatkan murid
yang pertama, dibukalah program lanjutan yang diberi
nama Sullam al-Muta'allimin (tangga para pelajar) yang
berlangsung sampai tahun 1936.
Pada tingkat ini para santri diajari pelajaran Fikih,
Hadis, Tafsir, Terjemah al-Qur’an, cara berpidato, cara
membahas suatu persoalan secara mendalam. Juga diberi
sedikit bekal untuk menjadi guru berupa ilmu jiwa dan
ilmu pendidikan. Di samping itu, kegiatan ekstra kurikuler
juga mendapat perhatian dari pengasuh Pondok melalui
pengadaan klub-klub dan organisasi-organisasi
keterampilan, kesenian, olah raga, kepanduan, dan
lain-lain. Pada akhirnya, bermula dari didirikannya
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 29
M. Ihsan Dacholfany
Tarbiyat al-Atfal (1926), kemudian pada peringatan
kesyukuran satu dasawarsa Pondok, tanggal 19 Desember
1936, diadakan peresmian berdirinya sistem pendidikan
baru, yaitu Kulliyatul al-Mu'allimin al-Islamiyah atau
Sekolah Pendidikan Guru Islam sebagaiman menurut
Dokumen Sekretariat Pondok Gontor. Seperti kebanyakan
hal baru, sistem KMI tidak langsung diterima oleh
masyarakat. Mereka malah meragukan keberadaan sistem
yang berbeda, bahkan bertentangan dengan sistem
pendidikan tradisional yang berlaku di Pondok Pesantren
lainnya.
Menurut Ahmad Subhan Roza, staf pengajar
STAIN Metro dan IAI Ma`arif mengatakan bahwa Pondok
Modern Darussalam Gontor Ponorogo adalah salah satu
Pondok Pesantran yang mengikrarkan diri sebagai basis
pendidikan ala modern.
Pada kesempatan itu pula diberlakukan
penggunaan kata “modern” untuk Pesantren ini.
Sebelumnya, nama Pondok hanya “Darussalam.” Kata
“modern” hanya disebut oleh masyarakat di luar Pondok.
Setelah disahkan penggunaan label “modern” maka nama
lengkap Pondok Gontor berubah menjadi Pondok Modern
Darussalam Gontor. Sekarang, sebutan “Pondok Modern”
ini justru lebih dikenal oleh masyarakat daripada “Pondok
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 30
M. Ihsan Dacholfany
Darussalam, dan ada juga orang mengenal dengan sebutan
Pondok Pesantren Gontor atau Pondok Gontor ”
Kata ”modern” yang sekarang melekat dan menjadi
ciri khas dari Pondok Modern Darussalam Gontor
mempunyai kesatuan arti yang tidak dapat dipisahkan satu
sama lainnya. Kesatuan arti yang tersirat dalam kata yaitu:
syumuliyah, dynamic, sistematic, homogenizing,
progressive, innovative, irreversible, evaluative.
Sedangkan pembahasan arti kata “modern”:
a. Syumuliyah berarti komprehensif atau holistik.
Dalam arti, Pondok Modern Gontor mendidik dan
mengajarkan ilmu-ilmu agama dan pengetahuan
umum dengan porsi yang sama, tidak ada dikotomi
antarkeduanya. Sehingga mampu mencetak alumni
yang sesuai dengan motto “menjadi ulama yang
intelek, bukan intelek yang tahu agama.”
b. Dynamic, dinamis adalah penuh semangat dan
tenaga sehingga cepat bergerak dan mudah
menyesuaikan diri dengan keadaan. Maka, seluruh
kegiatan di Pondok Modern Gontor diadakan
berdasarkan asas ini, baik kurikuler, non-kurikuler,
maupun ekstra kurikuler. Semua elemen yang
berada di dalam Pondok harus mengikuti seluruh
kegiatan yang ada secara maksimal. Setiap elemen
juga harus siap dengan segala perubahan “rekayasa
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 31
M. Ihsan Dacholfany
lingkungan” yang selalu dijalankan demi
mendukung suksesnya setiap kegiatan, kecil atau
besar.
c. Sistematic, sistematis berarti teratur menurut dan
menggunakan sistem, dan dengan cara yang diatur
secara baik. Sistem itu sendiri berarti; 1) perangkat
unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga
membentuk suatu totalitas; 2) susunan yang teratur
dari pandangan, teori, asas, dan sebagainya; 3)
metode.
Adapun praktek dari konsep ini bahwa
setiap proses pendidikan dan pengajaran harus
selalu mengikuti peraturan yang telah ditetapkan.
Sebagai misal, setiap guru harus menyiapkan
persiapan mengajar (i’dad at-tadris) setiap hari dan
diperiksakan kepada guru-guru senior untuk
mendapatkan pengesahan. Jika ada guru yang
mengajar tanpa pesiapan tertulis, ia akan
dikeluarkan dari kelas, dan saat itu akan digantikan
oleh guru piket kantor. Guru yang melanggar akan
dikenakan sangsi, mulai mengajar 6 jam tiap hari
selama satu minggu sampai skorsing.
Selain itu, Pondok Gontor juga menjunjung
tinggi totalitas dalam setiap kegiatannya. Karena
itu, berhubungan dengan konsep sebelumnya,
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 32
M. Ihsan Dacholfany
selalu dijalankan “rekayasa lingkungan” supaya
mendukung setiap kegiatan yang akan
dilaksanakan.
d. Homogenizing, Homogen berarti terdiri atas jenis,
macam, sifat, watak, dan sebagainya yang sama.
Hal ini terejawantah dalam berbagai kegiatan, baik
yang wajib maupun pilihan, seperti klub-klub
olahraga, kesenian, keterampilan, pengembangan
bahasa dan lain-lain. Semuanya merupakan bagian
dari proses pendidikan untuk menaungi minat dan
mengembangkan bakat santri yang beraneka rupa.
e. Progressive berarti: 1) ke arah kemajuan; 2)
berhaluan ke arah perbaikan keadaan sekarang; 3)
bertingkat-tingkat.
f. Innovative artinya bersifat memperkenalkan
sesuatu yang baru; bersifat pembaruan (kreasi
baru). Dengan kata lain, Pondok Gontor selalu
terus berusaha berinovasi dalam proses pendidikan
dan pengajaran dengan tidak keluar dari sesuatu
yang telah ditetapkan sebagai rule of game dari
Trimurti. Perubahan bertujuan untuk menyesuaikan
segala hal memang diperlukan demi menjawab
tantangan zaman dan perubahan teknologi
informasi.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 33
M. Ihsan Dacholfany
g. Irreversible berarti tidak dapat diubah. Artinya,
Pondok Modern tidak akan merubah visi, misi,
nilai, sunah, motto, disiplin, dan orientasi yang
dijalankan sejak berdiri sampai saat ini. Tidak
adanya perubahan dalam hal ini dirasa penting
untuk menjaga tradisi dan orientasi pendidikan dan
pengajaran di Pondok Gontor. Contoh kongkrit
dari pelaksanaan konsep ini, tidak diakuinya ijazah
oleh Pemerintah Indonesia selama hampir 70
tahun, meski beberapa universitas terkemuka di
luar negeri telah mengakui ijazah Gontor
(mu’adalah). Baru pada akhir tahun 1990-an,
ijazah Pondok Gontor diakui oleh Departemen
Agama dan Departemen Pendidikan Nasional.
Pengakuan ini pun dengan syarat tidak merubah
kurikulum yang selama ini dijalankan. Sehingga,
jika suatu saat ada tekanan untuk merubah
kurikulum maka Pondok Gontor akan langsung
melepas pengakuan-pengakuan ini dan kembali
tidak diakui oleh Pemerintah Indonesia.
h. Evaluative adalah segala hal yang dijalankan dalam
rangka proses pendidikan dan pengajaran harus
dapat dinilai pencapaiannya, termasuk kelebihan
dan kekurangannya harus selalu di evaluasi. Maka,
seiring adanya evaluasi berkala, segala kegiatan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 34
M. Ihsan Dacholfany
akan mengalami peningkatan mutu, efektivitas, dan
efisiensi. Di samping itu, Pondok Gontor selalu
menuntut seluruh proses pendidikan dan
pengajaran berjalan secara maksimal, tanpa
terkecuali. Hal ini penting untuk menanamkan
karakter santri yang unggul dan mampu berkiprah
secara maksimal kelak di masyarakat.
Dalam perjalanan selanjutnya, didirikan tingkatan
lebih tinggi (bovenbow) untuk mencukupi kebutuhan guru
agama pada Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah
(1940-1945). Kemudian dilakukan penyempurnaan
penjenjangan enam tahun dengan nama Kulliyatu
al-Mu'allimin al-Islamiyah (KMI) dan menghapus
tingkatan bovenbow (1945-1954). Terakhir, pada tahun
1963 didirikan IPD (Institut Pendidikan Darussalam)
dengan program sarjana muda. Kini lembaga ini bernama
ISID (Institut Studi Islam Darussalam) dengan program
Strata satu (SI) dan Pascasarjana. Sedangkan cita-cita
selanjutnya telah terwujud menjadi Universitas
Darussalam (UNIDA). Maka dari itu, dengan
mempertimbangkan hajat masyarakat luas, sebagaimana
salah satu diktum dalam Piagam Badan Wakaf yang berisi
tentang kewajiban pihak kedua (Anggota Badan Wakaf)
adalah; memelihara dan menyempurnakan agar Pondok
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 35
M. Ihsan Dacholfany
Gontor menjadi Universitas Islam yang bermutu dan
berarti. Dengan demikian apa yang ada sekarang
merupakan langkah pendahuluan ke arah cita-cita tersebut.
Pada tanggal 12 Oktober 1958, Pondok Gontor
mencatat peristiwa penting yang sangat menentukan
perjalannya di masa depan. Suatu peristiwa yang belum
pernah terjadi dalam sejarah Pesantren pada umumnya.
Pada acara kesyukuran empat windu, para pendiri Pondok
Gontor mewakafkan Pondok miliknya kepada umat Islam
yang diwakili oleh lima belas anggota Ikatan Keluarga
Pondok Modern (IKPM). Dari lima belas orang ini
kemudian dihimpun dalam satu wadah kelembagaan yang
diberi nama Badan Wakaf Pondok Gontor. Sejak saat itu,
Pondok sepenuhnya menjadi milik Islam yang dikelola
oleh Badan Wakaf Pondok Gontor.
Selain peristiwa-peristiwa penting yang melingkupi
perjalanan Pondok Gontor, pada tanggal 21 April 1985, K.
H.Imam Zarkasyi wafat. Peristiwa ini cukup
menghentakkan seluruh elemen Pondok Gontor karena
“Trimurti” sudah meninggal dunia semua. Maka, Pondok
Gontor diserahkan kepada Badan Wakaf sebagaimana
amanat “Trimurti” yang tertulis di Anggaran Dasar Badan
Wakaf Bab X, pasal 17. Oleh karena itu, berdasarkan
sidang Badan Wakaf tahun 1985, amanat kepemimpinan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 36
M. Ihsan Dacholfany
Pondok diserahkan bersifat kolektif kepada K. H. Shoiman
Lukmanul Hakim, K.H Abdullah Syukri Zarkasyi dan
K.H. Hasan Abdullah Sahal. Kemudian Tahun 1999, K.H.
Shoiman Lukmanul Hakim wafat. Sebagai penggantinya,
Badan Wakaf bermusyawarah dan mengangkat K.H.
Imam Badri. Selang beberapa tahun, tepatnya tahun 2006
K.H. Imam Badri wafat. Maka Badan Wakaf mengangkat
K.H. Syamsul Hadi Abdan. Ketiga kyai inilah yang
memimpin Pondok Pesantren Darussalam Gontor sampai
sekarang.
Dalam sejarah Pesantren Gontor, pemimpin
Pesantren tidak harus dari keluarga atau pendiri Pesantren.
Pimpinan bisa diangkat dari guru dan santri senior yang
menurut pertimbangan para anggota badan wakaf Pondok
Gontor layak dan mampu menjadi pimpinan, seperti K.H.
Shoiman Lukmanul Hakim, K.H. Imam Badri, dan K.H.
Syamsul Hadi Abdan. Mereka adalah santri sekaligus guru
senior.
B. Profil Pondok Modern Darusalam Gontor
1)Profil Lembaga Pondok Modern Darussalam
Gontor
Pondok Modern Darussalam Gontor memiliki
banyak cabang yang tersebar di seluruh Indonesia, dan
beberapa Negara di luar negeri. Pada saat ini, jumlah
santrinya mencapai lebih 14. 273 santri. Semua cabang
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 37
M. Ihsan Dacholfany
tersebut berada di bawah naungan Pondok pusat yang
berkantor di Pondok Gontor Ponorogo dan tahun 2013 –
2015 bertambah pesat apalagi didirikan Pondok Pesantren
Cabang Gontor
Pondok Gontor didirikan pada tanggal 12 Oktober
1958 bertepatan dengan tanggal 28 Rabi’ul Awwal. Hal itu
ditandai dengan pernyataan ikrar wakaf dari para
pendirinya. Para pendiri Pondok Gontor mengikrarkan
pewakafan harta kekayaan dan Pondoknya kepada umat
Islam yang diwakili oleh para nazhir yang berjumlah 15
orang. Nazhir tersebut mewakili Badan Wakaf Pondok
Gontor. Amanat para wakif kepada nazhir tertulis dalam
Piagam Penyerahan Wakaf yang berbunyi sebagai berikut:
1) Bahwa wakaf Pondok Modern sebagai Balai
Pendidikan Islam harus tunduk kepada
ketentuan-ketentuan hukum agama, menjadi amal
jariyah, dan tempat beramal.
2) Bahwa Pondok Modern harus menjadi sumber
pengetahuan Islam, bahasa al-Quran/ Arab, ilmu
pengetahuan umum, dan tetap berjiwa Pondok.
3) Bahwa Pondok Modern harus menjadi lembaga
yang berkhidmat kepada masyarakat dan
membentuk karakter/ pribadi umat guna
kesejahteraan lahir batin, dunia-akhirat.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 38
M. Ihsan Dacholfany
4) Bahwa Pihak ke-2 (dua) berkewajiban: a)
Memelihara dan menyempurnakan agar Pondok
Gontor menjadi universitas Islam yang bermutu
dan berarti; b) Mengusahakan agar pihak ke-2
(dua) mempunyai akte notaris di mana
syarat-syarat dan peraturan-peraturannya
ditetapkan dengan jelas, dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya.
Pada saat itu, harta benda yang diwakafkan terdiri
dari: Tanah kering seluas 1.740 ha (lokasi Pondok), 12
buah gedung beserta peralatannya, dan tanah basah/sawah
seluas 16.851 ha (terletak di Banyuwangi, Jember,
Jombang, dan Kediri) dan masih banyak lagi wakaf
Pesantren Gontor.
Dengan ditandatanganinya piagam penyerahan
wakaf itu maka Pondok Gontor tidak lagi menjadi milik
pribadi atau perorangan, sebagaimana umumnya dijumpai
dalam lembaga pendidikan Pesantren tradisional. Secara
kelembagaan, Pondok Gontor menjadi milik umat Islam,
dan semua umat Islam bertanggung jawab atasnya.
Lembaga Badan Wakaf ini selanjutnya menjadi badan
tertinggi di Pondok Gontor.
Sebagai badan tertinggi di Pondok, badan inilah
yang bertanggung jawab mengangkat kyai untuk masa
jabatan lima tahun. Dengan demikian, kyai bertindak
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 39
M. Ihsan Dacholfany
sebagai mandataris dan bertanggung jawab kepada Badan
Wakaf. Untuk ini badan wakaf memiliki lima program
yang berkenaan dengan bidang pendidikan dan pengajaran,
bidang peralatan dan pergedungan, bidang perwakafan dan
sumber dana, bidang kaderisasi, serta bidang
kesejahteraan.
Sistem wakaf ini sudah dikembangkan oleh
Pondok Gontor dengan tujuan menghindari hal-hal berikut
ini: Pertama, Pondok Pesantren biasanya akan ikut mati
dan punah seiring meninggalnya sang kyai; kedua,
sepeninggal kyainya, Pondok akan bisa menjadi
rebutan/fitnah keturunan, sedangkan Idealisme
keturunan/keluarga belum tentu sesuai dengan Pondok;
ketiga, sepeniggal kyai seringkali mutu pendidikan
Pesantren langsung menurun. Karena itu, untuk
menghindari hal-hal tersebut, Pondok Gontor diwakafkan
kepada badan/ lembaga yang diwakili oleh orang-orang
yang memahami visi dan misi Pondok Gontor (alumni dan
keluarga yang menghayati sunah, nilai, dan disiplin).
Dalam Pembentukan yayasan wakaf, di dalam akte
wakaf dicantumkan wewenang pendiri, selama pendiri
masih hidup, pengurus yayasan berlaku sebagai pembantu
pendiri, dan anggota badan wakaf tidak menggantungkan
hidupnya pada Pondok. Sedangkan Keluarga Pondok
sebagai pembantu langsung Pondok dan keluarga tidak
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 40
M. Ihsan Dacholfany
mempunyai hak waris Pondok, kecuali yang terlibat
langsung sesuai prosedur.
Untuk mempertahankan kelangsungan Lembaga
Pendidikan Pondok Gontor, pihak nazhir membentuk
berbagai unit usaha.Maka, seluruh aset Pondok berstatus
wakaf karena unit-unit usaha yang didirikan Pondok juga
berstatus wakaf. Unit-unit usaha milik Gontor terbagi
menjadi beberapa unit usaha yang berada di bawah
Koperasi La-Tansa, unit usaha yang tergabung dalam
Organisasi Pelajar Pondok Modern (OPPM) dan Gerakan
Pramuka, serta unit usaha yang dikelola oleh Dewan
Mahasiswa (DEMA). Semua unit usaha tersebut
memberikan kontribusi besar terhadap pemenuhan
kebutuhan anggaran Pondok Gontor Tersebut.
Secara detail, unit-unit usaha di bawah Koperasi
La-Tansa berjumlah sekitar 20 unit. Usaha ini
dikembangkan sekaligus berada dibawah kontrol
manejemen Koperasi La-Tansa, seperti : Penggilingan
Padi, Percetakan Darussalam, Toserba (Mini Grosir) UKK
Bahan Bangunan, Toko Buku dan Alat Tulis, Toko Palen
(Kelontongan), Warung Bakso, Kedai Alat Tulis dan
Fotokopi I dan II, Apotek La-Tansa, Wartel Pabrik Es
Balok, Unit Perkulakan dan Pasar Sayur, Kredit Usaha
Tani (KUT), Jasa Angkutan, Budi Daya Ayam Potong dan
masih banyak lagi.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 41
M. Ihsan Dacholfany
Ada beberapa unit usaha yang dikelola oleh para
santri yang tergabung dalam Organisasi Pelajar Pondok
Modern. Unit usaha tersebut antara lain: Koperasi Pelajar
(KOPEL), Koperasi Warung Pelajar (KOPWAPEL),
Fastfood, kantin/ kafetaria, Koperasi Dapur (KOPDA),
toko obat-obatan, kedai fotokopi, kedai fotografi, kedai
perlengkapan Pramuka dan benda pos, dan kedai binatu.
Di samping unit-unit usaha di atas, Pondok juga
mendirikan usaha sosial berupa Balai Kesehatan Santri
dan Masyarakat (BKSM) dan Wisma Darussalam untuk
keperluan diklat dan penginapan. Selain mengelola
berbagai usaha, Badan Wakaf mengangkat Pimpinan
Pondok Pesantren untuk mengatur seluruh proses
pendidikan di lembaga Pesantren. Setelah mangkatnya
para pendiri Pondok, Pimpinan Pondok Gontor berlaku
sebagai badan eksekutif yang dipilih oleh Badan Wakaf
setiap 5 tahun sekali. Dengan demikian Pimpinan Pondok
adalah mandataris Badan Wakaf yang mendapatkan
amanah untuk menjalankan keputusan-keputusan Badan
Wakaf, dan bertanggungjawab kepada Badan Wakaf
Pondok Gontor. Maka, selain memimpin
lembaga-lembaga dan bagian-bagian di Balai Pendidikan
Pondok Gontor, pimpinan juga berkewajiban mengasuh
para santri sesuai dengan sunah Balai Pendidikan Gontor.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 42
M. Ihsan Dacholfany
Adapun lembaga-lembaga dan bagian-bagian yang
dibawahi Pimpinan Pondok Gontor adalah sebagai berikut:
1) Lembaga perguruan menengah dengan masa
belajar 6 atau 4 tahun setingkat Tsanawiyah dan
Aliyah—bernama Kulliyatul Mu’allimin
al-Islamiyah (KMI).
2) Lembaga perguruan tinggi dengan nama
Universitas Darussalam (UNIDA). Terdiri dari
tiga fakultas setara dengan S-1, yaitu: Fakultas
Tarbiyah, Fakultas Ushuluddin, Fakultas
Syari’ah, dan Pasca Sarjana (S-2) serta akan
dibuka Fakultas Umum seperti: Manajemen
bisnis, Akuntansi, Ekonomi pembangunan, Ilmu
hubungan internasional, Ilmu komunikasi,
Teknologi industri dan pertanian, Agroteknologi,
Teknik informatika, Gizi, Farmasi, Kesehatan dan
keselamatan kerja, dan lainya.
3) Lembaga Pengasuhan Santri yang mengurusi
bidang pengasuhan santri, khususnya bidang
ekstra kurikuler. Lembaga ini membawahi tiga
organisasi santri: Organisasi Pelajar Pondok
Modern (OPPM) atau organisasi siswa KMI,
Koordinator Gugus depan Pondok Gontor atau
organisasi kepramukaan siswa KMI, Dewan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 43
M. Ihsan Dacholfany
Mahasiswa (DEMA) atau organisasi mahasiswa
Universitas Darussalam (UNIDA).
4) Lembaga yang bergerak dalam bidang penggalian
dana, pemeliharaan, perluasan, dan
pengembangan aset-aset Pondok yang dikenal
dengan nama Yayasan Pemeliharaan dan
Perluasan Wakaf Pondok Modern (YPPWPM).
5) Lembaga wadah pemersatu para alumni Gontor
yang disebut Ikatan Keluarga Pondok Modern
(IKPM).
Di samping kelima lembaga di atas, ada
bagian-bagian tertentu yang dibentuk untuk memperlancar
proses pendidikan dan pengajaran di dalam Pondok.
Bagian-bagian tersebut adalah:
a. Bagian pembinaan masyarakat yang disebut Pusat
Latihan Manajemen dan Pengembangan
Masyarakat (PLMPM).
b. Bagian yang menangani pergedungan yang disebut
Bagian Pembangunan Pondok Gontor.
c. Bagian yang menangani unit-unit usaha milik
Pondok yang disebut Koperasi Pondok Pesantren
(Kopontren) La-Tansa.
d. Bagian yang bergerak di bidang pelayanan
kesehatan santri dan masyarakat yaitu Balai
Kesehatan Santri dan Masyarakat (BKSM).
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 44
M. Ihsan Dacholfany
 Struktur Organisasi Balai Pendidikan
Pondok Modern Darussalam Gontor
Lembaga tertinggi dalam organisasi Balai
Pendidikan Pondok Gontor ialah Badan Wakaf. Lembaga
ini menjadi semacam badan legislatif dalam tubuh
Pondok. Beranggotakan 15 orang dan bertanggung jawab
atas segala pelaksanaan dan perkembangan pendidikan dan
pengajaran di Pondok Gontor. Untuk tugas dan kewajiban
keseharian amanat ini dijalankan oleh Pimpinan Pondok.
Pimpinan Pondok Gontor merupakan semacam
badan eksekutif (setelah wafatnya para pendiri Pondok)
yang dipilih oleh Badan Wakaf setiap 5 tahun sekali.
Dengan demikian Pimpinan Pondok adalah mandataris
Badan Wakaf yang mendapatkan amanah untuk
menjalankan keputusan-keputusan Badan Wakaf dan
bertanggung jawab kepada Badan Wakaf Pondok Gontor.
Pimpinan Pondok Gontor, di samping memimpin
lembaga-lembaga dan bagian-bagian di Balai Pendidikan
Pondok Gontor, juga berkewajiban mengasuh para santri
sesuai dengan sunah Balai Pendidikan Pondok Gontor.
Adapun lembaga-lembaga dan atau bagian-bagian yang di
bawahi Pimpinan Pondok Gontor adalah sebagai berikut:
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 45
M. Ihsan Dacholfany
1. Lembaga perguruan menengah dengan masa belajar 6
atau 4 tahun, setingkat Tsanawiyah dan Aliyah,
bernama Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah (KMI)
2. Lembaga perguruan tinggi yang disebut Universitas
Darussalam (UNIDA), mempunyai fakultas Agama
dan Umum.
3. Lembaga Pengasuhan Santri yang mengurusi bidang
pengasuhan santri khususnya bidang ekstra
kurikuler. Lembaga ini membawahi tiga organisasi
santri:
a. Organisasi Pelajar Pondok Modern (OPPM), yaitu
organisasi siswa KMI
b. Koordinator Gugusdepan Pondok Modern
Darussalam Gontor, yakni organisasi
kepramukaan siswa KMI.
c. Dewan Mahasiswa (DEMA), yaitu organisasi
untuk mahasiswa UNIDA.
4. Lembaga yang bergerak dalam bidang penggalian
dana, pemeliharaan, perluasan, dan pengembangan
aset-aset Pondok yang disebut Yayasan
Pemeliharaan dan Perluasan Wakaf Pondok Modern
(YPPWPM).
5. Lembaga wadah pemersatu para alumni Gontor yang
disebut Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM).
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 46
M. Ihsan Dacholfany
Di samping kelima lembaga di atas, ada
bagian-bagian tertentu yang dibentuk untuk memperlancar
proses pendidikan dan pengajaran . Bagian-bagian tersebut
adalah:
1. Bagian pembinaan masyarakat yang disebut Pusat
Latihan Manajemen dan Pengembangan Masyarakat
(PLMPM).
2. Bagian yang menangani pergedungan atau Bagian
Pembangunan Pondok Gontor.
3. Bagian yang menangani unit-unit usaha milik
Pondok yang dikenal Koperasi Pondok Pesantren
(Kopontren) La-Tansa.
4. Bagian yang bergerak di bidang pelayanan kesehatan
santri dan masyarakat atau Balai Kesehatan Santri
dan Masyarakat (BKSM).
Selain dikenal pencetak kader-kader andal, Pondok
Pesantren Modern Darussalam Gontor Ponorogo Jawa
Timur, ternyata juga sukses mengelola wakaf. Bahkan,
wakaf produktif tersebut beromzetkan miliaran rupiah.
Sekretaris Badan Wakaf Pondok Modern Darussalam
Gontor, Amal Fathullah Zarkasyi, menjelaskan aset wakaf
yang ada semaksimal mungkin digunakan untuk unit usaha
Pondok. Selain dimanfaatkan untuk membangun
Pesantren, tanah wakaf juga digunakan untuk unit usaha
ekonomi. Aset wakaf Gontor pada mulanya hanya lima
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 47
M. Ihsan Dacholfany
hektarr tanah. Kini sudah berkembang menjadi 750 hektar.
Tanah tersebut digunakan untuk Pesantren yang tersebar di
lebih dari 20 titik di seluruh Indonesia
(http://www.republika.co.id/berita).
 Falsafah Pendidikan Pondok Gontor
Sebagai lembaga pendidikan, Pondok Gontor
mempunyai beberapa landasan falsafah yang telah
dirumuskan oleh para pendiri Pondok (TRIMURTI).
(Zarkasyi, T.th.: 8-15). Beberapa falsafah pendidikan
Pondok modern antara lain:
(1) Falsafah Kelembagaan
i) Pondok Gontor berdiri di atas dan untuk
semua golongan;
ii) Pondok adalah lapangan perjuangan, bukan
tempat mencari penghidupan;
iii) Pondok itu milik umat, bukan milik kyai.
(2) Falsafah Kependidikan
i) apa yang dilihat, didengar, dirasakan, dan dialami
oleh santri sehari-hari harus mengandung
pendidikan;
ii) hidup sekali, hiduplah yang berarti;
iii) berani hidup tak takut mati, takut mati jangan
hidup, takut hidup mati saja;
iv) berjasalah, tetapi jangan minta jasa;
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 48
M. Ihsan Dacholfany
v) sebaik-baik manusia adalah yang paling
bermanfaat bagi sesamanya;
vi) hanya orang penting yang tahu arti kepentingan,
dan hanya pejuang yang tahu arti perjuangan.
(3) Falsafah Pembelajaran
i) Metode lebih penting daripada materi pelajaran,
guru lebih penting daripada metode, dan jiwa guru
lebih penting daripada guru itu sendiri;
ii) Pondok memberi kail, tidak memberi ikan;
iii) ujian untuk belajar, bukan belajar untuk ujian;
iv) ilmu bukan untuk ilmu, tetapi ilmu untuk ibadah
dan amal.
 Sintesa Pondok Gontor
Dengan tekad menjadi sebuah lembaga pendidikan
berkualitas, Pondok Gontor bercermin pada
lembaga-lembaga pendidikan internasional terkemuka.
Empat lembaga pendidikan yang menjadi sintesa Pondok
Gontor antara lain:
1. Universitas Al-Azhar, di Kairo, Mesir.
Universitas ini memiliki wakaf yang sangat luas
sehingga mampu mengutus para ulama ke
seluruh penjuru dunia dan memberikan
beasiswa bagi ribuan pelajar dari berbagai
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 49
M. Ihsan Dacholfany
belahan dunia untuk belajar di Universitas
tersebut.
2. Aligarh, di India. Memiliki perhatian sangat
besar terhadap perbaikan sistem pendidikan dan
pengajaran.
3. Syanggit, di Mauritania. Kampus ini dihiasi
kedermawanan dan keikhlasan para
pengasuhnya.
4. Santiniketan, di India; dengan segenap
kesederhanaan, ketenangan, dan kedamaiannya.
 Cabang Pondok Gontor
Pondok Gontor atau Pondok Modern Darussalam
Gontor mempunyai banyak cabang yang berada di bawah
bimbingan langsung Pimpinan Pondok Modern
Darussalam Gontor, di antaranya:
1. Pondok Modern Gontor Pusat (Gontor I)
Darussalam, Gontor Ponorogo Jawa Timur. Sejak
1926. (http://gontor.ac.id/)
2. Pondok Modern Gontor 2 Darussalam, Madusari
Siman Ponorogo Jawa Timur. Sejak 1996.
3. Pondok Modern Gontor 3 Darul Ma’rifat,
Sumbercangkring Gurah Kediri Jawa Timur.
Sejak 1993.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 50
M. Ihsan Dacholfany
4. Pondok Modern Gontor 4 (Putri) yang terdiri
dari:
 Pondok Modern Gontor Putri 1 Darussalam,
Sambirejo Mantingan Ngawi Jawa Timur.
Sejak 1990.
 Pondok Modern Gontor Putri 2 Darussalam,
Sambirejo Mantingan Ngawi Jawa Timur.
Sejak 1997.
 Pondok Modern Gontor Putri 3 Darussalam,
Karangbanyu Widodaren Ngawi Jawa
Timur. Sejak 2002.
 Pondok Modern Gontor Putri 4 Darussalam,
Konda, Konawe Selatan Kendari Sulawesi
Tenggara. Sejak 2004.
 Pondok Modern Gontor Putri 5 Darussalam,
Kandangan Kediri Jawa Timur. Sejak 2006.
5. Pondok Modern Gontor 5 Darul Muttaqin,
Kaligung Rogojampi Banyuwangi Jawa Timur.
Sejak 1990.
6. Pondok Modern Gontor 6 Darul Qiyam,
Gadingsari Mangunsari Sawangan Magelang
Jawa Tengah. Sejak 1999.
7. Pondok Modern Gontor 7 Riyadlatul Mujahidin,
Podahua Landono Kendari Sulawesi Tenggara.
Sejak 2002.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 51
M. Ihsan Dacholfany
8. Pondok Modern Gontor 8 Darussalam, Labuhan
Ratu VI Labuhan Ratu Lampung Timur
Lampung. Sejak 2005.
9. Pondok Modern Gontor 9 Darussalam, Tajimalela
Kalianda Lampung Selatan Lampung Lampung.
Sejak 2005.
10. Pondok Modern Gontor 10 Darul Amin,
Meunasah Baro Seulimum Aceh Aceh. Sejak
2008.
11. Pondok Modern Gontor 11 Darussalam, Sulit Air,
Solok, Sumatera Barat. Sejak 2010.
12. Pondok Modern Gontor 12 Darussalam, Parit
Culum I Muarasabak Barat Tanjungjabung Timur
Jambi. Sejak 2010 dan masih dirancang Pondok
Cabang di daerah lain.
Sudah puluhan ribu alumni yang dilahirkan oleh
Gontor. Dalam keanekaragaman predikat para alumninya,
dapat diyakini bahwa sebagian besar mereka telah menjadi
guru, minimal sebagai guru untuk dirinya, keluarganya,
bahkan ada yang sampai menjadi guru bangsa dan
masyarakat dunia. Ikatan moral antara santri dengan kiyai
dan ustadznya, antara santri dan Pondoknya memang tidak
bisa putus, hubungan batin tersebut – meskipun tak bersua
secara fisik – terus terjaga. Karena ikatan itulah maka
dalam rangka untuk memberi wadah bagi alumninya
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 52
M. Ihsan Dacholfany
Gontor membentuk organisasi Ikatan Keluarga Pondok
Modern yang berpusat di Gontor dengan
cabang-cabangnya yang sudah ada hampir di semua
wilayah Indonesia, dari Aceh sampai Papua, bahkan
cabang-cabang IKPM di luar negeri, baik karena memang
ada alumni Gonbtor yang berasal dari beberapa negeri
jiran (Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand, Pilipina,
Australia, Timor Leste, Suriname) juga karena banyak
alumni Gontor warga negara Indonesiua yang berdomisili
di beberapa negara.
Sebagian dari para alumni tersebut mengikuti jejak
‘ibu’ mereka – juga untuk mewujudkan cita-cita luhur
‘1000 Gontor’ – mendirikan Pondok-Pondok Pesantren.
Kumpulan-kumpulan Pondok-Pondok Pesantren yang
didirikan dan dipimpin oleh alumni Gontor tersebutk
kemudian diberi nama “Pondok Pesantren alumni” dan
tergabung dalam organisasi Forum Pondok Pesantren
Alumni Gontor (FPA Gontor) yang jumlahnya telah
mencapai 196 Pondok Pesantren yang tersebar di beberapa
bagian wilayah Indonesia sebagai berikut: Pondok
Pesantren Alumni Gontor di Jawa Timur: 30 Pesantren, di
Jawa Tengah: 26 Pesantren, di Jawa Barat : 42
Pesantren, di Banten: Pesantren, di Indonesia Timur : 19
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 53
M. Ihsan Dacholfany
Pesantren, di Sumatra: 30 Pesantren, di Kalimantan: 14
Pesantren di Sulawesi 13 Pesantren. (http://indahcintamu)
 Persamaan Ijazah Pondok Gontor
Sejak tahun 2000, ijazah Kulliyatu-l-Muallimin
Al-Islamiyah (KMI) telah mendapat persamaan dari
Departemen Pendidikan Indonesia melalui Keputusan
Menteri Pendidikan Nasional No. 105/O/2000. Selain itu,
ijazah Gontor juga telah mendapat pengakuan melalui
Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam No. E.IV/PP.03.2/KEP/64/98.
Namun demikian, jauh sebelumnya ijazah Gontor
KMI justru telah diakui oleh berbagai lembaga pendidikan
internasional, di antaranya: Unversitas Al-Azhar dan
Perguruan Darul Ulum di Kairo, Mesir, Universitas Islam
Madinah dan Universitas Ummul Quro Mekah, Saudi
Arabia, Universitas Islam Islamabad dan Universitas
Punjab Lahore, Pakistan, Universitas Aligarh, Pakistan,
International Islamic University Kuala Lumpur,
Universitas Kebangsaan Malaysia, dan Universiti Malaya,
Malaysia dan masih banyak lagi yang belum terdata dalam
buku ini.
 Motto Pondok Gontor
Pendidikan Pondok Gontor menekankan pada
pembentukan pribadi Mukmin Muslim yang berbudi
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 54
M. Ihsan Dacholfany
tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas, dan
berpikiran bebas. Kriteria atau sifat-sifat utama ini menjadi
motto pendidikan di Pondok Gontor.
1. Berbudi tinggi adalah landasan paling utama
yang ditanamkan oleh Pondok ini kepada seluruh santri
dalam semua tingkatan; dari yang paling rendah sampai
yang paling tinggi. Realisasi penanaman motto ini
dilakukan melalui seluruh unsur pendidikan yang ada.
2. Berbadan Sehat maksudnya tubuh yang sehat
adalah sisi lain yang dianggap penting dalam pendidikan
di Pondok ini. Dengan tubuh yang sehat, para santri akan
dapat melaksanakan tugas hidup dan beribadah dengan
sebaik-baiknya. Pemeliharaan kesehatan dilakukan melalui
berbagai kegiatan olahraga. Bahkan ada rutinitas olahraga
yang wajib diikuti oleh seluruh santri sesuai jadwal yang
telah ditetapkan.
3. Berpengetahuan Luas, maksudnya para santri di
Pondok ini dididik melalui proses yang telah dirancang
secara sistematik agar dapat memperluas wawasan dan
pengetahuan mereka. Santri tidak hanya diajari
pengetahuan. Lebih dari itu, mereka diajari cara belajar
yang dapat digunakan untuk membuka gudang
pengetahuan. Dalam hal ini, Kyai sering berpesan bahwa
pengetahuan itu luas, tidak terbatas, tetapi tidak boleh
terlepas dari berbudi tinggi. Dengan demikian seseorang
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 55
M. Ihsan Dacholfany
mengetahui tujuan belajar, dan memahami prinsip
bertambahnya ilmu.
4. Berpikiran Bebas, maksudnya tidak berarti
bebas sebebas-bebasnya. Kebebasan di sini tidak boleh
menghilangkan prinsip, terutama prinsip sebagai Muslim
Mukmin. Justru kebebasan di sini merupakan lambang
kematangan dan kedewasaan dari hasil pendidikan yang
telah diterangi petunjuk Ilahi (hidayah Allah). Motto ini
ditanamkan setelah santri memiliki budi tinggi, budi luhur,
dan sesudah ia memiliki pengetahuan luas. Contoh :
 Panca Jangka Pondok Gontor
Dalam rangka mengembangkan dan memajukan
Balai Pendidikan Pondok Gontor maka dirumuskan Panca
Jangka. Hal ini merupakan program kerja Pondok yang
memberikan arah dan panduan untuk mewujudkan upaya
pengembangan dan pemajuan tersebut.
Adapun Panca Jangka meliputi bidang-bidang:
1. Pendidikan dan Pengajaran. Jangka berarti
berusaha secara maksimal untuk meningkatkan dan
menyempurnakan pendidikan dan pengajaran di Pondok
Gontor. Usaha ini tercatat dalam sejarah perjalanan
Pondok ini yang dimulai dengan pendirian Tarbiyatul
Athfal pada tahun 1926 dan Sullamul Muta’allimin tahun
1932. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya tahun 1936,
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 56
M. Ihsan Dacholfany
didirikan Kulliyatu-l- Mu’allimin Al-Islamiyah, setingkat
dengan sekolah menengah; Tsanawiyah dan Aliyah. Pada
tahun 1963, didirikan Perguruan Tinggi yang bernama
Institut Pendidikan Darussalam (IPD).
2. Kaderisasi. Sejarah timbul dan tenggelamnya
suatu usaha, terutama hidup dan matinya Pondok-Pondok
di tanah air, memberikan pelajaran kepada para pendiri
Pondok tentang pentingnya perhatian terhadap kaderisasi.
Sudah banyak riwayat tentang Pondok-Pondok yang maju
dan terkenal, tetapi suatu ketika mengalami kemunduran,
bahkan mati setelah pendiri atau kyai Pondok itu
meninggal dunia. Di antara faktor terpenting yang
menyebabkan kemunduran ataupun matinya
Pondok-Pondok tersebut adalah tidak adanya program
kaderisasi yang baik. Maka, bercermin dari berbagai
peristiwa itu Pondok Gontor memberikan perhatian
terhadap upaya menyiapkan kader yang akan melanjutkan
cita-cita Pondok.
3. Pergedungan
Jangka ini memberikan perhatian pada upaya
penyediaan sarana dan pra-sarana pendidikan dan
pengajaran yang layak bagi para santri.
4. Chizanatullah. Di antara syarat terpenting agar
sebuah lembaga pendidikan tetap bertahan hidup dan
berkembang adalah memiliki sumber dana sendiri. Sebuah
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 57
M. Ihsan Dacholfany
lembaga pendidikan yang hanya menggantungkan
hidupnya kepada bantuan pihak lain yang belum tentu
didapat tentu tidak dapat terjamin keberlangsungan
hidupnya. Bahkan hidupnya akan seperti ilalang di atas
batu, “Hidup enggan, mati tak hendak”. Di antara usaha
yang telah dilakukan untuk memenuhi tujuan ini yaitu
membentuk badan khusus yang mengurusi dana, yang
diberi nama Yayasan Pemeliharaan dan Perluasan Badan
Wakaf Pondok Modern (YPPWPM). Yayasan ini
mengurusi dan mengembangkan harta wakaf milik
Pondok.
5. Kesejahteraan Keluarga Pondok. Jangka ini
bertujuan untuk memberdayakan kehidupan
keluarga-keluarga yang membantu dan bertanggungjawab
terhadap hidup dan matinya Pondok secara langsung
sehingga mereka tidak menggantungkan penghidupannya
kepada Pondok. Sebaliknya, mereka diharapkan dapat
memberi penghidupan kepada Pondok. Hal ini selaras
dengan semboyan, “Hidupilah Pondok dan jangan
menggantungkan hidup kepada Pondok”.
 Panca Jiwa Pondok Gontor
Seluruh kehidupan di Pondok Gontor didasarkan
pada nilai-nilai yang dihayati secara mendalam. Nilai-nilai
tersebut terejawantah dalam Panca Jiwa atau lima nilai
yang mendasari kehidupan Pondok Gontor:
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 58
M. Ihsan Dacholfany
1. Jiwa Keikhlasan, jiwa ini berarti sepi ing pamrih,
yakni berbuat sesuatu bukan karena didorong oleh
keinginan untuk mendapatkan keuntungan tertentu.
Segala aktivitas dilakukan dengan niat semata-mata
untuk ibadah, lillah.
Yoyok Suyoto Arief yang mewakili Pimpinan
di Pondok Gontor 9, pada acara Apel Tahunan
Khutbatul ‘Arsy, mengingatkan seluruh santri agar
memperbaiki niat supaya tidak salah niat dalam
menuntut ilmu dan pendidikan di Pondok Gontor
(http://www.majalahgontor.net)
Kyai ikhlas mendidik, para pembantu kyai
ikhlas dalam membantu menjalankan proses
pendidikan, dan para santri pun ikhlas dididik.
Menurut Azmi Sirodjudin, mahasiswa
Doktoral UII Yogyakarta dan sebagai Pimpinan
Lembaga Pendidikan Risaz College menyatakan
bahwa guru-guru menjunjung tinggi motto Pondok
yaitu keikhlasan maksudnya ikhlas berjuang,
bermanfaat bagi orang lain, berfikir yang jernih,
ikhlas dan jujur dalam setiap sikap dan mendahulukan
kepentingan jamaah.
Jiwa ini menciptakan suasana kehidupan
Pondok yang harmonis antara kyai yang disegani dan
santri yang taat, cinta, dan penuh hormat. Jiwa ini
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 59
M. Ihsan Dacholfany
menjadikan santri senantiasa siap berjuang di jalan
Allah, kapan pun dan di mana pun.
2. Jiwa Kesederhanaan. Kehidupan di Pondok diliputi
oleh suasana kesederhanaan. Sederhana tidak berarti
pasif atau nrimo, juga bukan berarti miskin dan
melarat. Justru dalam jiwa kesederhanan terdapat
nilai-nilai kekuatan, kesanggupan, ketabahan, dan
penguasaan diri dalam menghadapi perjuangan hidup.
Di balik kesederhanaan ini terpancar jiwa besar,
berani maju, dan pantang mundur dalam segala
keadaan. Bahkan, di sinilah hidup dan tumbuhnya
mental dan karakter yang kuat, yang menjadi syarat
bagi perjuangan dalam segala segi kehidupan.
Menurut Dosen UNIDA Gontor, Abu Darda’
menyatakan Sederhana bukan berarti miskin",
demikian Gontor merekonstruksi pemikiran.
Sederhana bukan berarti tidak punya harta. Sederhana
itu sikap yang wajar terhadap harta, sesuai kebutuhan
dan tidak berlebih-lebihan.( http://abudarda-crb)
3. Jiwa Berdikari. Berdikari atau kesanggupan menolong
diri sendiri merupakan senjata ampuh yang dibekalkan
Pesantren kepada para santrinya. Berdikari tidak
hanya berarti bahwa santri sanggup belajar dan
berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri,
tetapi Pondok Pesantren itu sendiri sebagai lembaga
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 60
M. Ihsan Dacholfany
pendidikan juga harus sanggup berdikari sehingga
tidak pernah menyandarkan kehidupannya kepada
bantuan atau belas kasih pihak lain. Ini menunjukkan
prinsip keberasamaan; sama-sama memberikan iuran
dan sama-sama memakai. Maka, semua pekerjaan
yang ada di dalam Pondok dikerjakan oleh kyai dan
para santrinya sendiri, tidak oleh pegawai di dalam
Pondok. Meski demikian, Pondok tidak bersifat kaku
sehingga menolak orang-orang yang hendak
membantu.
4. Jiwa Ukhuwwah Islamiah. Kehidupan di Pondok
Pesantren diliputi suasana persaudaraan yang akrab.
Karena itu, segala suka dan duka dirasakan bersama
dalam jalinan ukhuwah Islamiah. Tidak ada dinding
yang dapat memisahkan antara mereka. Ukhuwah ini
bukan saja selama mereka di Pondok Pesantren, tetapi
juga memengaruhi ke arah persatuan umat di dalam
masyarakat setelah mereka terjun di masyarakat
seperti organisasi kemasyarakatan, sosial, dan
lain-lain.
5. Jiwa Bebas. Bebas dalam berpikir dan berbuat, bebas
dalam menentukan masa depan, bebas dalam memilih
jalan hidup, bahkan bebas dari berbagai pengaruh
negatif dari luar masyarakat. Jiwa bebas ini akan
menjadikan santri berjiwa besar dan optimis dalam
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 61
M. Ihsan Dacholfany
menghadapi segala kesulitan. Hanya saja, dalam
kebebasan ini seringkali ditemukan unsur-unsur
negatif, yaitu bila kebebasan itu disalahgunakan.
Terlalu bebas (liberal) akan mengakibatkan hilangnya
arah-tujuan atau prinsip. Sebaliknya, ada pula yang
terlalu bebas—tidak mau dipengaruhi—berpegang
teguh pada tradisi yang dianggapnya pernah
menguntungkan dirinya sehingga tidak mau menoleh
pada perubahan. Akhirnya, ia tidak lagi bebas karena
mengikatkan diri pada sesuatu yang diketahui saja.
Maka, kebebasan ini harus dikembalikan ke aslinya.
Bebas di dalam garis-garis yang positif dengan penuh
tanggung jawab, baik dalam kehidupan Pesantren
maupun dalam kehidupan masyarakat. Jiwa yang
melingkupi kehidupan Pondok Pesantren itulah yang
nantinya dibawa santri sebagai bekal utama di dalam
kehidupan di masyarakat. Jiwa ini juga harus
dipelihara dan dikembangkan dengan sebaik-baiknya.
 Perguruan Tinggi Pondok Gontor
Selain lembaga pendidikan setingkat Tsanawiyah
dan Aliyah, Pondok Gontor juga memiliki perguruan
tinggi dengan nama Institut Studi Islam Darussalam
(ISID). Didirikan pada tanggal 1 Rajab 1383, bertepatan
dengan 18 November 1963 dan diresmikan menjadi
Universitas Darussalam (UNIDA) tertuang melalui Surat
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 62
M. Ihsan Dacholfany
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia No. No.197/E/O/2014 tentang Izin Pendirian
Universitas Darussalam Gontor Bersamaan dengan itu,
Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo juga
mengukuhkan Prof. Dr. Amal Fathullah Zarkasyi, M.A
sebagai Guru Besar dalam Bidang Akidah dan Filsafat
berdasarkan pada Surat Keputusan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia
No.98495/A4.3/KP/2014 yang ditetapkan oleh Direktur
Jendral Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, Muhammad Nuh.
Pondok Gontor yang di dalamnya ada Universitas
Darussalam (UNIDA) telah melakukan kerjasama dengan
lebih dari 64 Perguruan Tinggi. UNIDA telah bekerjasama
dengan lebih dari 51 Perguruan Tinggi Luar Negeri dan 13
Perguruan Tinggi Dalam Negeri serta para alumni dapat
meneruskan studi pada jenjang pendidikan yang lebih
tinggi.
Para alumni Sarjana S-1 Institut Studi Islam
Darussalam dapat meneruskan studi pada jenjang
pendidikan selanjutnya di berbagai universitas dalam dan
luar negeri, antara lain; International Islamic University
Malaysia, Institute of Leadership and Management
Pakistan, Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya,
International Islamic University Islamabad, Jami’atu
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 63
M. Ihsan Dacholfany
Afrika al ‘Alamiyah, Jamiah Zaqaziqo Mesir, Majma’
Syekh Ahmad Kaftaru Syiria, Jamiah Darulhadis Al
Hasaniyah Maroko, Institut Pendidikan Guru Malaysia
Kampus Tuanku Bainun Selangor International Islamic
University College (SIIUC), Academy Islamic Banking
Kazakhstan, Islamic University of Europe Istanbul Turkey,
San’a University Yaman, Ibnu Sina Institute Lion Prancis,
Europa Islamic University, Rotherdham Belanda, Jami’ah
Al-Iman San’a Yaman, Universitas Terusan Suez Mesir,
The Istambul Foudation for Science and Culture Istambul
Turkey, Fatih University Istambul Turkey,
Qaid-AI-Azzam University (QUA) Islamabad, University
of The Punjab Lahore Pakistan, Aligarh Muslim
University India, Institut Darul Hadits Alhasaniyah Magrib
Rabat Maroko, Kuwait University, College of shari’a &
Islamic Studies, Damascus University, Universiti Selangor
Malaysia, Universiti Sains Islam Malaysia,
Muhammadiyah Islamic College Singapore, International
Islamic University Malaysia, Islamic Univesity of
Madinah, Saudi Arabia, Intitut Pendidikan University
Islam Antarbangsa Malaysia, The World Islamic Sciences
& Education University (WISE) Jordan, Markaz Inmai’ lil
Abhats wa al-Dirosat al-Mustaqbaliyah Maroko, Al
al-Bayt Universitas Jordan, Markaz Qordhowi lil
al-Wasatiyah al-Islamiyah Wa at-Tajdid Kulliyyatu
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 64
M. Ihsan Dacholfany
al-Dirosat al-Islamiyah Qatar, Yala University Of
Thailand, International Languange Academy Middle East
(ILA) Omman Jordan, Qatar University, International
Islamic University Islamabad, Pakistan, The Islamic
Univesity Rotterdam The Netherlands, Islamic Univesity
of Europe Rotterdam, The Netherlands, Faculty of
Humanities Universiteit Leiden Royal and Royal
Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean
Studies Netherlands, Institute European Des Sciences
Humaines De Paris, The Fatih Sultan Mehmet Vakif
University, Gazi University and Sabahatain Zaim
University di Turkey, Universitas Zaitouna Tunisia,
Necmettin Erbakan University di Turkey, Universitas
Yarmouk, Aly Bayt University dan Universitas Mu’tah di
Yordan Adapun di dalam Negeri Indonesia antara lain :
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Universitas
Islam Negeri, Malang, Universitas Islam Negeri Alauddin,
Makassar, Universitas Brawijaya Malang, Universitas
Negeri Yogyakarta, Universitas Djuanda Bogor, IAIN
Raden Fatah, Palembang, Universitas Ahmad Dahlan
Yogyakarta, Fak. Hukum Universitas Muhammadiyah,
Yogyakarta, Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim, Malang, Pascasarjana Universitas
Muhammadiyah, Surakarta, Universitas Sebelas Maret
Surakarta, Universitas Gadjah Mada di Yogjakarta,
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 65
M. Ihsan Dacholfany
Universitas Negeri Malang
(http://isid.gontor.ac.id/kerjasama) dan masih banyak lagi
yang belum terdata oleh penulis.
Pondok Gontor adalah suatu lembaga pendidikan
berusia cukup matang yang mempunyai banyak
pengalaman, pembelajaran dan ibroh. Selama itu pula
Pondok telah ikut serta dalam proses pembangunan bangsa
dengan mengembangkan model pendidikan yang khas.
Tidak hanya pada tingkat menengah, tetapi juga tingkat
perguruan tinggi. Pada tahun yang sama, ISID Gontor,
perguruan tinggi yang berada di bawah binaan Pondok
Gontor telah berusia empat puluh enam tahun, usia yang
juga tidak bisa dibilang muda. Selama itu pula ISID telah
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
pencapaian cita-cita dan tujuan pendirian Pondok Gontor.
Perguruan Tinggi Pondok Gontor bersama ISID (Intitut
Studi Islam Darussalam) dan sekrang menjadi UNIDA
(Universitas Darussalam) terus berupaya memberikan
sumbangsih dan darma baktinya kepada masyarakat,
bangsa, dan agama. Maka wajar, jika kepercayaan
masyarakat, pemerintah, dan dunia Islam pada umumnya
terus diberikan pada Pondok Pesantren ini.
Sementara itu, permintaan dan harapan dari
Pondok-Pondok Alumni, Pondok- Pondok Pesantren yang
diasuh oleh para alumni Pondok Gontor, terus
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 66
M. Ihsan Dacholfany
berdatangan. Mereka mengharapkan supaya UNIDA
menyelenggarakan program studi lanjutan strata dua dan
alhamdulillah terwujud. Pendirian program studi strata dua
UNIDA diharapkan menjadi wadah pengembangan
kemampuan akademik guru-guru, terutama dosen-dosen
dari Pondok alumni yang telah memiliki perguruan tinggi.
2) Profil Pimpinan/ Kyai Pondok Gontor
a. Dr. HC. K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA.
Dr. K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, M.A adalah
Keturunan dan putra pertama K.H. Imam Zarkasyi, salah
satu pendiri Pondok Gontor. Lahir di Gontor, 19
September 1942. Pendidikan dasarnya dilalui di SDN
Gontor tamat tahun 1954. Kemudian melanjutkan di
lembaga yang dipimpin ayahnya sendiri, yaitu KMI
Pondok Gontor, lulus tahun 1960. Setelah itu, ia
melanjutkan ke IAIN Syarif Hidayatullah dan lulus 1965
pada tingkat Sarjana Muda (B.A). Gairah belajarnya pun
dilanjutkan ke Universitas Al-Azhar dan lulus tahun 1976,
dan melanjutkan ke jenjang Magister di universitas yang
sama dan lulus tahun 1978 dengan menggondol gelar MA
dan mendapat gelar Doktor kehormatan dari UIN Jakarta.
Adapun pengalaman organisasi antara lain:
Pengurus HPPI (Pelajar Islam), Kairo tahun 1971;
Pengurus PPI Den Haag Belanda tahun 1975; Pimpinan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 67
M. Ihsan Dacholfany
Pondok Gontor tahun 1985 sampai sekarang; Ketua MUI
Kabupaten Ponorogo; Ketua Badan Silaturahmi Pondok
Pesantren Jawa Timur tahun 1999 sampai sekarang; Ketua
Forum Silaturahmi Umat Islam Ponorogo sejak tahun
1999 sampai sekarang; Ketua MP3A Depag (Majelis
Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama dari
tahun 1999 sampai sekarang; Dewan Penasehat MUI
Pusat.
b. K. H. Hasan Abdullah Sahal
K. H. Hasan Abdullah Sahal adalah ketururunan
dan putra keenam K. H. Ahmad Sahal, salah satu pendiri
Pondok Gontor. Lahir di Gontor, Ponorogo pada tanggal
24 Mei 1947. Pendidikan formalnya dimulai dari SDN
Gontor tahun 1959, dan KMI tamat tahun 1965. Kemudian
melanjutkan di Institut Pendidikan Darussalam (IPD)
Pondok Gontor selama dua setengah tahun. Prestasinya
yang gemilang pun mengantarkannya menjadi mahasiswa
di Universitas Islam Madinah Al-Munawarah, dan
Universitas Al-Azhar dengan spesialisasi Hadits tahun
1962.
Selain sebagai pimpinan Pondok Gontor sejak
tahun 1985 sampai sekarang, ia juga sebagai Pendiri PP
Putri “Al-Mawaddah” Coper Jetis Ponorogo tahun 1989.
Dan sejak tahun 2007 kyai yang bijak ini menjadi
pengasuh di Pesantren tersebut. Di samping itu, ia juga
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 68
M. Ihsan Dacholfany
sebagai Pendiri dan Pengasuh PP Tahfizh Al-Quran
“Al-Muqaddasah” Nglumpang, Mlarak, sejak tahun 1992,
sekaligus sebagai dosen di ISID.
c. Drs. K.H. Syamsul Hadi Abdan
Drs. K.H. Syamsul Hadi Abdan lahir di Desa
Gandu Ponorogo. Ia adalah pimpinan Pondok sejak tahun
2006 sampai sekarang menggantikan KH. Imam Badri. Ia
bukan termasuk keturunan pendiri Pesantren Gontor,
melainkan dari santri dan ustadz senior yang ditunjuk oleh
Badan Wakaf Pondok Gontor. dilahirkan di desa Gandu
Ponorogo. Tidak banyak data mengenai kehidupannya
karena hampir seluruh hidupnya didedikasikan untuk
Pondok tercinta. Pendidikan formal dimulai di SD Gandu,
KMI Pondok Gontor. Selepas dari KMI, sembari
mengabdi menjadi guru ia melanjutkan di IPD tingkat
Sarjana Muda, dilanjutkan di institusi yang sama untuk
mengambil sarjana lengkap pada tahun 1992.
3) Profil Guru/Ustadz Pondok Gontor
Sistem kaderasi yang berhasil mengantarkan
Pondok Gontor pada kemandirian dalam bidang
pengajaran. Maka tidak heran jika seluruh guru yang
mengajar di Pondok Pesantren adalah alumni dari Pondok
Pesantren tersebut. Mereka dipilih langsung oleh para
kyai, selaku pimpinan Pondok Pesantren tersebut.
Demikian juga menyangkut kesejahtraan guru dan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 69
M. Ihsan Dacholfany
keluarganya, semua ada dalam perhatian penuh pimpinan
Pondok Pesantren tersebut.
Guru Pondok Gontor sudah beberapa kali
mengikuti sertifikasi sejak program ini dicanangkan. Akan
tetapi, selama ini Pondok Gontor hanya mengikuti
sertifikasi untuk bidang mata pelajaran Dirosah Islamiyah
bahkan ada juga dinyatakan lulus sebagai guru Matematika
seperti Tasdiq Masyhud. (http://www.gontor.pengajar-m)
4) Profil Santri/ Siswa Pondok Gontor
Pada saat ini di Pondok Gontor 1 (Pusat), ada
sekitar 5000 santri, yang berasal dari dalam dan luar
negeri. Santri-santri ini belum termasuk jumlah santri di
Pondok cabang yang berada di bawah bimbingan Kyai
Pondok Gontor. Sebagian besar santri tinggal di
asrama-asrama di dalam lingkungan Pesantren. Mereka
tidak boleh keluar dari lingkungan Pesantren, kecuali atas
izin petugas yang berwenang, baik staf Pengasuhan santri
atau bagian keamanan OPPM. Karena segala hal yang
menyangkut kebutuhan santri bisa langsung dipenuhi di
dalam lingkungan Pesantren.[]
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 70
M. Ihsan Dacholfany
BAGIAN III
Gaya Kepemimpinan Kyai dalam Pendidikan
Karakter
Ada tiga landasan penting yang digunakan dalam
penulisan buku ini, yaitu landasan Teologis (kewahyuan),
landasan filosofi, dan landasan keilmuan. Ketiga landasan
ini menjadi dasar dan pedoman bagi penulis selama
melakukan penelitian di lapangan.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 71
M. Ihsan Dacholfany
A. Landasan Teologis.
Secara keseluruhan, gaya kepemimpinan akan
memengaruhi jalannya unsur-unsur manajemen
pendidikan. Seorang pemimpin harus mampu menata,
mengembangkan, menghidupkan tata kehidupan secara
total, sekaligus menjadi figur dan teladan bagi semua
personil yang berada dalam naungan organisasi yang
dipimpinnya. Selain memotivasi, tugas utama seorang
pemimpin adalah melayani kebutuhan pihak yang
dipimpinnya. Karena hakekat pemimpin itu adalah
melayani atau memfasilitasi agar semua pekerjaan
bawahannya bisa berjalan dengan baik. Pernyataan ini
selaras dengan firman Allah Swt., Sungguh telah ada pada
diri Rasulullah itu teladan yang baik. (QS Al-Ahzab [33]:
21)
Berkaitan dengan ayat di atas bahwa keberhasilan
Nabi Muhammad Saw. dalam menyebarkan agama Islam
di dunia tidak lepas dari gaya kepemimpinan beliau yang
menempatkan dirinya sebagai sosok teladan bagi keluarga
dan semua orang di sekitarnya. Semua ajaran Nabi
Muhammad terintegrasi ke dalam bentuk ucapan, sikap,
dan tindakannya. Hal ini memberikan sinyal yang sangat
kuat bagi kita agar ajaran Islam senantiasa menjadi bagian
dari kehidupan itu sendiri. Semua tindak-tanduk dan
ucapan Rasulullah selalu sejalan dengan misinya sebagai
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 72
M. Ihsan Dacholfany
penyempurna akhlak manusia, sebagaimana tertulis dalam
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari ra.,:
)رواه أحمد والطبراني) 􀏕َ ِ 􀏼􀎧َ ْ 􀏷 اْ 􀏡 ارِ َ 􀏛 مَ َ 􀏡مِّ م َ 􀎗ُ َ 􀏷ِ 􀎕ُ 􀎛ْ 􀏌 ب ِ 􀬉 إ نَّ نمَا ُ
Sesungguhnya Aku diutus untuk
menyempunakan akhlak (HR Ahmad dan
Thabrani).
Berdasarkan paparan di atas maka landasan
teologis yang digunakan di dalam penelitian ini
berhubungan dengan gaya kepemimpinan Nabi
Muhammad yang penuh dengan nilai-nilai keteladanan.
Pribadi Muslim harus akan menjadi pemimpin bagi
diri dan keluarganya sekaligus dan menjadi teladan bagi
orang-orang di sekitarnya. Jika semua Muslim menjadi
pribadi seperti itu maka tidak ada lagi perbuatan atau
ucapan yang merugikan orang lain serta melanggar aturan
agama. Dengan demikian, akan dihasilkan pribadi-pribadi
yang mampu bertanggung jawab dengan baik sebagaimana
tergambar dalam sabda Nabi Saw. bahwa setiap orang
adalah pemimpin yang akan diminta pertanggungjawaban
tentang kepemimpinannya (H.R. Bukhari dan Muslim). Di
samping itu, jika pribadi Muslim telah menyatu dalam
sanubari maka setiap pemimpin akan memberikan teladan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 73
M. Ihsan Dacholfany
melalui sikap dan perkataan yang baik, bukan sebaliknya,
mengatakan sesuatu yang tidak dilakukannya, seperti
sindiran Allah Swt yang artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu
mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat
besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan
apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (QS-AshShaf [61]:
2-3).
Ayat di atas menyatakan bahwa Allah sangat
murka kepada orang-orang yang hanya berkata, tetapi tidak
mengerjakan apa yang diucapkannya. Maka dari itu, ayat
ini menjadi strategi kepemimpinan kiyai di Pondok
Pesantren dalam mengatur semua proses pendidikan
dengan segala aspek pendukungnya, sehingga, apa yang
dikatakan dapat dilaksanakan dengan baik.
B. Landasan Filosofis
Landasan filosofis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah filsafat rekonstruksionisme. Sebuah
mazhab filsafat pendidikan yang menempatkan lembaga
pendidikan sebagai pelopor perubahan masyarakat. Selain
itu, konsep filsafat ini digunakan karena lembaga
pendidikan seperti Pesantren dipandang sebagai agen
perubahan masyarakat. Para lulusannya akan menjadi
anggota masyarakat di masa yang akan datang, yang
diharapkan mampu memberikan pengaruh positif dalam
pengembangan masyarakat ke arah yang lebih baik.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 74
M. Ihsan Dacholfany
Pembangunan karakter lulusan Pesantren tidak
akan berjalan dengan baik jika pimpinannya tidak menjadi
suri tauladan yang baik bagi santrinya. Maka, pemimpin
Pesantren bukan hanya sekadar menjadi figur yang
disegani, tetapi harus mampu mengatur kehidupan
Pesantren sesuai dengan perkembangan zaman, etika, dan
ajaran Islam, serta menancapkan karakter yang baik
kepada para santrinya. Karena perubahan tidak akan terjadi
dengan sendiri, tetapi harus diatur sedemikian rupa agar
menghasilkan ouput yang diinginkan, sebagaimana firman
Allah Swt., Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan
suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri. (QS Ar-Ra’d [13]: 11)
C. Landasar Teoritis
Selain dua elemen landasan di atas, penelitian ini
didasarkan pada teori kepemimpinan totalitas dan
pendidikan karakter. Teori kepemimpinan totalitas adalah
teori kepemimpinan yang dicontohkan oleh Nabi
Muhammad Saw. dalam membangun karakter islami
untuk semua umatnya. Totalitas dalam kepemimpinan
Nabi Muhammad tergambar di dalam keterpaduan antara
ucapan, sikap, dan perilaku Nabi, yang menjadi contoh
bagi para sahabat dan penganutnya. Pada kenyataannya,
Nabi Muhammad berhasil membangun karakter islami
yang kuat, dan menjadi panutan dan teladan sampai
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 75
M. Ihsan Dacholfany
sekarang. Dalam teori pendidikan karakter yang
dikembangakan oleh Achmad Sanusi disebutkan, proses
pendidikan karakter bisa dikembangkan melalui; proses
keteladanan, proses pengasuhan, pembinaan, pelatihan,
pelibatan dalam kegiatan nyata, ganjaran dan hukuman.
Sebagai tambahan, buku ini juga di landaskan pada teori
pendidikan karakter yang menjelaskan mengenai karakter;
mengapa dan bagaimana karakter itu bisa dilakukan,
dikemukakan Dedi Mulyasana,; teori karakteristik seorang
Mukmin yang kompeten oleh Hari Suderadjat dan teori
tentang berbahasa santun yang dikemukakan oleh Sofyan
Sauri []
BAGIAN IV
KONSEP DASAR
Sebelum lebih jauh masuk dalam pembahasan
utama, setidaknya ada yang perlu diketahui bahwa
keberhasilan Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren
tidak lepas dari bagaimana peran dan gaya kepemimpinan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 76
M. Ihsan Dacholfany
kyai dalam pendidikan Karakter dan buku ini diberi judul
“Pendidikan Kakater Belajar Ala Pesantren Gontor” maka
penulis sedikit akan menjelaskan tentang beberapa konsep
dasar yang akan digunakan sebagai acuan pengertian
“Teori Kepemimpinan” dan “Teori Pendidikan Karakter”.
Kedua tema ini selalu menarik untuk dikaji dan diteliti
karena paling banyak diamati sekaligus paling sedikit
dipahami. Maka, dalam bagian ini penulis akan mengupas
konsep dasar teori kepemimpinan dan pendidikan karakter.
Kemudian mengombinasikan keduanya untuk melihat
lebih detail bagaimana kepemimpin seorang kyai mampu
beriringan dengan pendidikan karakter, terutama yang
diajarkan kepada para santri di Pondok Gontor.
A. Konsep Kepemimpinan
1) Pengertian Kepemimpinan
Istilah kepemimpinan atau leadership berasal dari
kata leader, artinya pemimpin, atau to lead yang berarti
memimpin. Pada dasarnya, term ini telah menjadi kajian
tersendiri dalam ilmu manajemen. Sebagian besar teori
memberikan asumsi bahwa kepemimpinan berkaitan
dengan proses yang disengaja dari seseorang untuk
menekankan pengaruh yang kuat terhadap orang lain.
Pengaruh tersebut dalam rangka membimbing, membuat
struktur, memfasilitasi aktivitas, dan hubungan di dalam
kelompok. Definisi ini juga berbeda dalam berbagai hal,
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 77
M. Ihsan Dacholfany
termasuk siapa yang bisa menanamkan pengaruh, maksud
tujuan dari pengaruh itu, cara menanamkan pengaruh, serta
hasil pengaruh itu sendiri. Sedangkan perbedaan itu bukan
hanya dalam pandangan ilmiah saja, tetapi perbedaan yang
memperlihatkan ketidaksetujuan mendalam tentang
identifikasi pemimpin dan proses kepemimpinan.
Dalam hal ini, peneliti hendak membidik
kepemimpinan dalam perspektif yang berbeda untuk
selanjutnya diinterpretasikan. Ketika kepemimpinan
didefinisikan secara sempit, akan ditemukan beberapa poin
yang tidak sesuai atau tidak konsisten dengan asumsi awal
mengenai efektivitas kepemimpinan. Hal ini karena
penulis terbiasa mendefinisikan kepemimpinan sesuai
dengan perspektifnya beserta gejala yang paling menarik
perhatiannya. Di samping itu, setiap penulis literatur
kepemimpinan pada umumnya mengajukan pengertian
tersendiri tentang kepemimpinan. Akibatnya, konsep
kepemimpinan menjadi kabur dan tidak jelas karena
pengertiannya akan beragama dan kompleks. Sebagai
contoh, Stogdill mengatakan: “There are almost as many
definitions of leadership as there are persons who have
attempted to define the concept.” Walaupun demikian,
tampaknya ada kata sepakat bahwa kepemimpinan
mencakup suatu proses pengaruh.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 78
M. Ihsan Dacholfany
Dengan demikian, kepemimpinan dapat
didefinisikan sebagai kemampuan untuk memengaruhi
suatu kelompok ke arah tercapainya tujuan, dan dapat pula
dirumuskan sebagai proses memengaruhi kegiatan
seseorang atau kelompok dalam usaha-usaha ke arah
pencapaian tujuan dalam situasi tertentu (Sutisna, 1982:
65). Kepemimpinan menyangkut hal-hal yang bersifat
memengaruhi, mengatasi, mengarahkan, dan
mengembangkan perubahan visi terhadap masa depan
lembaga atau organisasi.
Ketua MUI Pusat yang juga Pimpinan Pondok
Pesantren Husnayain, KH Achmad Cholil Ridwan
memaparkan kriteria seorang pemimpin umat islam di
indonesia yang ideal. Beilau mengutarakan ada lima hal,
yaitu seorang pemimpin umat Islam harus alim, amil,
sholih, mujahid, dan mukhlis. (http://www.muslimdaily.)
Selain skills, karakteristik nilai dasar
kepemimpinan yang dinyatakan oleh O’Toole sangat
identik dengan Nabi Muhammad Saw. Setidaknya ada tiga
poin yang dibangun oleh O’Toole, yaitu: Integrity; tidak
pernah kehilangan pandangan. Ini dibuktikan bahwa
Muhammad Saw. tidak pernah kehilangan samangat,
meskipun tekanan dan permusuhan datang dari segala
arah, seperti yang terjadi dalam perang Hunain dan Uhud
dan Trust; dapat merefleksikan nilai dan aspirasi
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 79
M. Ihsan Dacholfany
pengikutnya, dapat menerima kepemimpinan sebagai suatu
tanggung jawab, bukan prestise. Menurut Syafii Antonio
bahwa Sejak muda, Nabi Muhammad dikenal sebagai
orang yang dipercaya. Beliau pernah dipercaya untuk
menyelesaikan persoalan peletakan Hajar Aswad yang
hampir menimbulkan pertikaian di kalangan suku-suku
Quraisy serta Lestening; mau mendengarkan orang-orang,
tetapi tidak terpenjara oleh opini publik. Nabi Muhammad
Saw. sangat mengutamakan musyawarah dalam
pengambilan keputusan, termasuk dalam perang Badar,
Uhud, dan Khandak.
Dengan demikian, menurut Al-Banjari teori, gaya,
dan sifat kepemimpinan yang dibangun oleh para ahli
manajemen modern sesungguhnya telah dibuktikan oleh
Nabi Muhammad Saw. dalam kepemimpinan profetiknya
selama hidupnya. Maka keterkaitan kepemimpinan dan
manajemen Rasulullah Saw. harus terus diteladani oleh
umatnya, khususnya para ulama atau kyai sebagai pewaris
ajaran para Nabi (warasatul anbiya).
2) Kepemimpinan Kyai Pondok Pesantren
Kyai adalah salah satu unsur terpenting sekaligus
sebagai figur utama di dalam Pesantren. Di dalam dirinya
terdapat beberapa kemampuan; sebagai perancang
(arsitektur), pendiri dan pengembang (developer), dan
sebagai pemimpin dan pengelola (leader dan manager)
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 80
M. Ihsan Dacholfany
Pesantren. Maka, ditinjau dari tugas dan fungsinya
keberadaan seorang kyai dapat dipandang sebagai
fenomena kepemimpinan yang unik. Menurut Arifin
Sebagai pemimpin sebuah lembaga pendidikan Islam,
seorang kyai tidak sekadar bertugas menyusun kurikulum,
membuat peraturan, merancang sistem evaluasi,
melaksanakan proses belajar-mengajar, melainkan ia
bertugas sebagai pembina dan pendidik umat dan
pemimpin masyarakat.
Dalam pandangan Islam, keberadaan pemimpin
pada suatu kelompok atau organisasi hukumnya wajib. Hal
ini mengacu pada sabda Rasulullah Saw., Jika tiga orang
berjalan dalam suatu perjalanan, angkatlah salah satu di
antara mereka sebagai pemimpin (HR Abu Dawud).
Hadis di atas dipertegas oleh Al-Quran yang
menyebutkan tentang kewajiban menaati dan mematuhi
perintah imam (pemimpin). Allah Swt. berfirman, yang
artinya:
Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan
ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pemimpin) di
antara kamu (QS An-Nisa` [4]: 59).
Ayat di atas mengandung pengertian bahwa setiap
orang harus patuh dan taat kepada pemimpinnya sepanjang
mengajak kepada kebaikan. Kewajiban untuk taat dan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 81
M. Ihsan Dacholfany
patuh dalam pandangan Islam karena ia dipandang
memiliki sifat-sifat terpuji. Dalam proses
kepemimpinannya seorang pemimpin tidak lepas dari
pengawasan Allah dan pandangan umat yang dipimpinnya.
Keunikan lain dari kepemimpinan kyai, ia
memimpin dengan karisma yang kemudian berkembang
menjadi apa yang disebut oleh Sidney Jones sebagai
hubungan patron client yang sangat erat. Menurut Thoha
bahwa Otoritas seorang kyai besar (dari Pesantren induk)
diterima di kawasan seluas provinsi, baik oleh pejabat
pemerintah, pemimpin publik, maupun kaum hartawan.
Lebih jauh Taufiq Abdullah menjelaskan,
legitimasi kepemimpinan seorang kyai secara langsung
diperoleh dari masyarakat yang menilai. Tidak saja dari
segi keahlian ilmu-ilmu agama seorang kyai, melainkan
dinilai pula dari kewibawaan yang bersumber dari ilmu,
kesaktian, sifat pribadi, dan seringkali dinilai dari
keturunan.
Abdurrahman Wahid menegaskan, terlepas dari
sifat kepemimpinan kyai yang karismatik dan paternalistik,
kepemimpinan kyai di Pesantren adalah pribadi
(personal), dan segala masalah kePesantrenan bertumpu
kepada kyai. Akan tetapi, yang terjadi belakangan ini
menurut Shobirin kepemimpinan Pesantren tidak lagi
merupakan kepemimpinan tunggal, dan organisasi
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 82
M. Ihsan Dacholfany
Pesantren pun telah dimasukkan dalam bentuk yayasan.
Dengan gejala baru ini, organisasi Pesantren menjurus ke
arah impersonal, tanpa mengurangi peranan kyai sebagai
pemimpin tertinggi. Maka, kepemimpinan mengarah pada
pola kolektif sesuai dengan hierarki kepemimpinan sebuah
organisasi yayasan. Hal ini menunjukkan bahwa
kelangsungan eksistensi Pesantren tidak lagi bergantung
kepada kyai sebagai pemimpin tertinggi, tetapi kyai juga
mendelegasikan kepemimpinannya kepada bawahannya.
Lain halnya menurut Dawam Rahardjo bahwa
posisi kepemimpinan kyai di Pesantren lebih menekankan
pada aspek kepemilikan saham Pesantren dan moralitas,
kedalaman ilmu agama, dan sering mengabaikan aspek
manajerial. Keumuman kyai bukan hanya sekadar
pimpinan, tetapi juga sebagai pemilik persantren. Namun
demikian, posisi kyai sebagai pembimbing para santri
dalam segala hal, pada gilirannya menghasilkan peranan
kyai sebagai peneliti, penyaring, dan akhirnya similator
aspek-aspek kebudayaan dari luar. Dalam kondisi seperti
itu, dengan sendirinya menempatkan kyai sebagai agent of
change (agen perubahan).
Di samping itu, menurut Abdurrahman Wahid
kepemimpinan kyai timbul sebagai pendiri Pesantren yang
bercita-cita tinggi dan mampu mewujudkannya.
Kepemimpinan ini biasanya didasarkan pada tempaan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 83
M. Ihsan Dacholfany
pengalaman dan dilandasi keunggulan-keunggulan
potensial dalam pribadinya sehingga dapat mengalahkan
pribadi-pribadi lain di sekitarnya.
Sementara itu, menurut Tholhah Hasan bahwa
kepemimpinan kyai umumnya tampil dalam empat macam
dimensi, yakni: 1) sebagai pemimpin masyarakat
(community leader), jika tampil sebagai pemimpin
organisasi masyarakat atau organisasi politik; 2) pemimpin
keilmuan (intellectual leader), dalam kapasitasnya sebagai
guru agama, pemberi fatwa, dan rujukan hukum; 3)
pemimpin rohani (spiritual leader) bila kyai memimpin
kegiatan peribadatan, menjadi mursyid tarekat, dan
menjadi panutan moral; 4) pemimpin administratif, jika
kyai berperan sebagai penanggung jawab
lembaga-lembaga pendidikan, Pesantren, atau
badan-badan kemasyarakatan lainnya
Berkaitan dengan teori kepemimpinan, Islam juga
menawarkan konsep tentang karakteristik-karakteristik
seorang pemimpin, Kartajaya mengungkapkan
sebagaimana terdapat pada pribadi rasul yaitu: 1. Siddiq;
2. Amanah; 3. Tabligh; 4. Fatanah. Keempat sifat
kepemimpinan Rasulullah Saw. di atas dapat dipahami
dengan konteks pemahaman yang lebih luas. Maka, secara
umum keempat sifat tersebut akan mengantarkan siapa
saja pada keberhasilan dalam menjalankan roda
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 84
M. Ihsan Dacholfany
kepemimpinannya. Dengan demikian, sifat-sifat
kepemimpinan kyai di Pesantren atau pimpinan formil
lainnya memiliki beban yang berat, terutama berhubungan
dengan kemajuan dan perubahan yang terjadi di dalam
masyarakat dewasa ini. Seorang pemimpin harus memiliki
kelebihan dalam ilmu pengetahuan sekaligus daya tahan
mental dan fisik.
B. Gaya dan Tipologi Kepemimpinan Kyai Pondok
Pesantren
Sampai sejauh ini, kepemimpinan kyai di Pesantren
masih tetap memegang teguh nilai-nilai luhur. Nilai-nilai
ini menjadi acuan dalam bersikap, bertindak, dan
mengembangkan Pesantren. Di samping itu, ia juga
menjadi keyakinan kyai dalam hidupnya sehingga jika
dalam kepemimpinanya bertentangan atau menyimpang
dari nilai-nilai luhur tersebut, secara langsung atau tidak
kepercayaan masyarakat akan pudar. Karena,
sesungguhnya nilai-nilai luhur yang diyakini kyai atau
umat Islam itu menjadi ruh (kekuatan) yang merupakan
anugerah dan rahmat dari Allah Swt.
Dalam pandangan Islam, nilai-nilai luhur itu adalah
Iman, Islam, dan Ihsan. Nurcholis Madjid berpendapat,
setiap pemeluk agama Islam mengetahui dengan pasti
bahwa Islam tidak absah tanpa Iman, dan Iman tidak
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 85
M. Ihsan Dacholfany
sempurna tanpa Ihsan. Sebaliknya, Ihsan mustahil tanpa
Iman, dan Iman juga tidak mungkin tanpa inisial Islam.
Ketiga kata itu saling mengisi satu sama lain, dan harus
bersemayam dalam diri seorang Muslim. Ketika seseorang
bisa mengamalkan ketiga nilai luhur itu maka ia adalah
Muslim sejati. Sehingga, dalam Iman terdapat Islam dan
Ihsan, dan dalam Ihsan terdapat Iman dan Islam. Jika
boleh ditasybihkan (dianalogikan), Ihsan ibarat estetika
sebuah bangunan dengan pancangan tiang Iman dan
dinding Islam yang kokoh, hingga membentuk bangunan
yang sempurna, kuat dan kokoh, indah dipandang dan
nikmat dimasuki. Rasulullah Saw. Melukiskan Ihsan
dengan keikhlasan dan ketajaman mata batin
sampai-sampai tidak ada sekat antara hamba dengan Allah.
Hal ini tampak dalam sabda Nabi Saw., Ihsan adalah
engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau
melihatnya. Jika engkau tidak bisa melihatnya maka
sesungguhnya Allah melihatmu (Sahih al-Bukhari no. 51
dan 4777).
Dari beberapa hasil penelitian, ada beberapa gaya
kepemimpinan kyai di Pondok Pesantren, yaitu:
a) Gaya kepemimpinan religio-paternalistic. M
Thoha adalah Suatu gaya interaksi antara kyai
dengan para santri atau bawahan didasarkan atas
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 86
M. Ihsan Dacholfany
nilai-nilai keagamaan yang disandarkan kepada
gaya kepemimpinan Nabi Muhamammad Saw.
b) Gaya kepemimpinan paternalistic-otoriter. Gaya
pemimpin pasif, atau gaya seorang bapak yang
memberi kesempatan anak-anaknya untuk
berkreasi, tetapi sekaligus otoriter. Ia memberikan
kata-kata final untuk memutuskan apakah karya
anak buah yang bersangkutan dapat diteruskan
atau dihentikan sebagaimana ungkapan M Thoha.
c) Gaya kepemimpinan legal-formal. Menurut
sukamto adalah mekanisme kerja kepemimpinan
ini adalah menggunakan fungsi kelembagaan.
Dalam hal ini, masing-masing unsur berperan
sesuai dengan bidangnya, dan secara keseluruhan
bekerja mendukung keutuhan lembaga.
d) Gaya kepemimpinan bercorak alami. Menurut
Qomar bahwa Gaya kepemimpinan ini adalah
pihak kyai tidak membuka ruang bagi
pemikiran-pemikiran menyangkut penentuan
kebijakan Pesantren, dan mengingat hal itu
menjadi wewenangnya secara mutlak. Jika ada
usualan-usulan pengembangan yang berasal dari
luar yang berbeda sama sekali dari kebijakannya,
justru direspon secara negatif .
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 87
M. Ihsan Dacholfany
Dari uraian di atas dapat dipahami, kyai sebagai
pimpinan Pesantren dalam membimbing para santri atau
masyarakat sekitarya memakai pendekatan situasional. Hal
ini tampak dalam interaksi antara kyai dan santri dalam
mendidik, mengajarkan kitab, dan memberikan nasihat.
Selain itu, ia juga berlaku sebagai tempat konsultasi
masalah sehingga seorang kyai kadangkala berfungsi
sebagai orang tua sekaligus guru yang bisa ditemui tanpa
batas waktu. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa
kepemimpinan kyai penuh tanggung jawab, penuh
perhatian, penuh daya tarik dan sangat berpengaruh.
Dengan demikian, perilaku kyai dapat diamati, dicontoh,
dan dimaknai oleh para pengikutnya (secara langsung)
dalam interaksi keseharian.
C. Konsep Pendidikan Karakter
1) Pengertian Pendidikan
Dalam Undang-Undang sistem pendidikan
Nasional Pasal 1, UU RI No. 20, Tahun 2003 dinyatakan
bahwa pendidikann adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran, agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 88
M. Ihsan Dacholfany
kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.
Menurut M. J. Langeveld bahwa pendidikan adalah
memberi pertolongan secara sadar dan segaja kepada
seorang anak (yang belum dewasa) dalam pertumbuhannya
ke arah kedewasaan atau dapat berdiri dan bertanggung
jawab susila atas segala tindakan menurut pilihannya
sendiri. Lebih jauh sebelumnya, Ki Hajar Dewantoro
mengatakan bahwa pendidikan berarti daya upaya untuk
memajukan pertumbuhan budi pekerti (kekuatan batin,
karakter), pikiran (intellect) dan pertumbuhan anak, saling
berhubungan satu sama lain agar dapat memajukan
kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan
anak-anak yang kita didik selaras. Pendidikan berarti
segala tindakan yang dilakukan bersamaan dengan
pertumbuhan, dan tidak punya tujuan akhir di balik
dirinya.
Dalam proses pertumbuhan ini, anak
mengembangkan diri ke tingkat yang lebih sempurna atau
life long Education. Dengan ungkapan lain, pendidikan
berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan merupakan
gejala insani yang fundamental dalam kehidupan manusia
untuk mengantarkan anak manusia ke dunia peradaban. Di
samping itu, juga merupakan bimbingan eksistensial
manusiawi dan otentik, supaya anak mengenali jati dirinya
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 89
M. Ihsan Dacholfany
yang unik; mampu bertahan memiliki dan melanjutkan
atau mengembangkan warisan sosial generasi terdahulu,
untuk kemudian dibangun lewat akal budi dan pengalaman
sebagaimana diungkapkan Sidarta. Sedangkan dari segi
bahasa, menurut Alisuf Sabri pendidikan dapat diartikan
perbuatan (hal atau cara, dan lain sebagainya) mendidik;
dan berarti pengetahuan tentang mendidik, atau
pemeliharaan (latihan-latihan dan sebagainya) badan, batin
dan sebagainya.
Dari berbagai definisi tersebut dapat diketahui
bahwa pendidikan adalah usaha atau proses yang ditujukan
untuk membina kualitas sumber daya manusia seutuhnya,
agar dapat melakukan perannya dalam kehidupan secara
fungsional dan optimal. Dengan demikian, pada intinya
pendidikan tindakan pertolongan di tengah-tengah
kehidupan manusia sehingga dapat dirasakan manfaatnya
bagi manusia.
2) Pengertian Karakter
Term ini berasal dari bahasa Yunani, charassein,
berarti “to mark”, menandai atau mengukir. Lapsley
mengungkapkan lebih terfokus pada melihat tindakan atau
tingkah laku. Dalam hal ini, penulis mengartikan karakter
sebagai sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang
membedakan seseorang dari yang lain; tabiat atau watak.
Jadi, karakter bukan sekadar penampilan lahiriah,
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 90
M. Ihsan Dacholfany
melainkan mengungkapkan hal tersembunyi secara
implisit.
Indonesia Heritage Foundation (IHF), sebuah
yayasan yang bergerak dalam character building
(pendidikan karakter) yang diprakarsai oleh Ratna
Megawangi dan Sofyan A. Djalil melakukan pengkajian
dan pengembangan pendidikan dengan menerapkan
sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur
universal, yaitu: Pertama, cinta Tuhan dan alam semesta
beserta isinya; kedua, tanggung jawab, kedisiplinan, dan
kemandirian; ketiga, kejujuran; keempat, hormat dan
santun; kelima, kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama;
keenam, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang
menyerah; ketujuh, keadilan dan kepemimpinan;
kedelapan, baik dan rendah hati; Kesembilan, toleransi,
cinta damai, dan persatuan. Kesembilan pilar karakter
inilah yang harus dimiliki setiap manusia, khususnya
generasi muda, guna menghadapi tantangan di masa
depan.
Menurut Karwono, Guru Besar Universitas
Muhammadiyah Metro mengatakan bahwa karakter adalah
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian
seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai
kebijaan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 91
M. Ihsan Dacholfany
landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan
bertindak.
Adapun Singh dan Agwan berpendapat karakter
berarti tabiat atau kebiasaan. Sedangkan menurut ahli
psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan
kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu.
Karena itu, jika pengetahuan mengenai karakter seseorang
itu dapat diketahui maka dapat diketahui pula bagaimana
individu tersebut akan bersikap untuk kondisi-kondisi
tertentu. Pengertian ini dapat dikembangkan lagi bahwa
karakter merupakan aktualisasi potensi dari dalam dan
internalisasi nilai-nilai moral dari luar sehingga menjadi
bagian kepribadiannya. Ia menjadi nilai-nilai yang terpatri
dalam diri kita melalui pendidikan, pengalaman,
percobaan, pengorbanan, dan pengaruh lingkungan,
menjadi nilai intrinsik yang melandasi sikap dan perilaku
kita. Jadi, karakter harus diwujudkan melalui nilai-nilai
moral yang terpatri menjadi semacam nilai intrinsik dalam
diri kita, dan ini akan melandasi sikap dan perilaku kita.
Tentu saja hal ini tidak datang dengan sendiri, melainkan
harus kita bentuk, kita tumbuhkembangkan, serta kita
bangun.
Karakter inilah yang akan melandasi sikap dan
perilaku, yaitu budi pekerti luhur dan moralitas yang
memiliki daya juang untuk mencapai tujuan yang mulia.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 92
M. Ihsan Dacholfany
Jadi, seorang yang berkarakter tidak hanya sebagai orang
baik saja, tetapi ia harus mampu menggunakan nilai
kebaikannya menjadi energi juang untuk mencapai tujuan
mulia. Karena karakter merupakan aspek penting dari
kualitas sumber daya manusia (SDM), dan kualitas ini
akan menentukan kemajuan bangsa. Ia menjadi titian ilmu
pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill).
Pengetahuan tanpa landasan kepribadian yang benar akan
menyesatkan, dan keterampilan tanpa kesadaran diri akan
menghancurkan. Karena itu, karakter menjadi prasyarat
dasar dan integral yang akan memotivasi, dan pada saat
yang sama dibentuk dengan metode dan proses yang
bermartabat.
Selanjutnya, karakter didefinisikan berbeda-beda
oleh berbagai pihak. Sebagian menyebut karakter sebagai
penilaian subjektif terhadap kualitas moral dan mental,
sementara yang lain mengatakan karakter sebagai
penilaian subyektif terhadap kualitas mental saja.
Sehingga, upaya perubahan atau pembentukan karakter
hanya berkaitan dengan stimulasi terhadap intelektual
seseorang saja.
Coon sebagaimana dikutip dalam Megawangi
mendefinisikan karakter sebagai suatu penilaian subyektif
terhadap kepribadian seseorang yang berkaitan dengan
atribut kepribadian yang dapat atau tidak dapat diterima
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 93
M. Ihsan Dacholfany
oleh masyarakat. Sementara itu, menurut Megawangi,
kualitas karakter meliputi sembilan pilar, yaitu: 1) cinta
tuhan dan segenap ciptaan-Nya; 2) tanggung jawab,
disiplin, dan mandiri; 3) jujur/amanah dan arif; 4) hormat
dan santun; 5) dermawan, suka menolong, dan
gotong-royong; 6) percaya diri, kreatif, dan pekerja keras;
7) kepemimpinan dan adil; 8) baik dan rendah hati; 9)
toleran, cinta damai, dan kesatuan.
Karakter, seperti juga kualitas diri yang lain, tidak
berkembang dengan sendirinya. Perkembangan karakter
setiap individu dipengaruhi oleh faktor bawaan (nature)
dan lingkungan (nurture). Menurut para developmental
psychologist, setiap manusia memiliki potensi bawaan
yang akan termanisfestasi setelah dilahirkan, termasuk
potensi yang terkait dengan karakter atau nilai-nilai
kebajikan.
Pendidikan karakter Menurut Thomas Lichona
dalam Megawangi, pendidikan karakter perlu dilakukan
sejak usia dini. Erik Erikson yang terkenal dengan teori
Psychososial Development juga menyatakan hal yang
sama. Dalam hal ini Erikson menyebutkan bahwa anak
adalah gambaran awal manusia menjadi manusia, yaitu
masa di mana kebajikan berkembang secara perlahan tapi
pasti. Dengan kata lain, bila dasar-dasar kebajikan gagal
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 94
M. Ihsan Dacholfany
ditanamkan pada anak usia dini, ia akan menjadi orang
dewasa yang tidak memiliki nilai-nilai kebajikan.
Di samping itu, lingkungan juga harus berkarakter
supaya bisa menghasilkan anak yang berkarakter. Hal ini
seperti disampaikan Megawangi bahwa anak-anak akan
tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter apabila dapat
tumbuh di lingkungan yang berkarakter. Sehingga fitrah
setiap anak yang dilahirkan suci dapat berkembang segara
optimal. Mengingat lingkungan anak bukan saja
lingkungan keluarga yang sifatnya mikro maka semua
pihak—keluarga, sekolah, media massa, komunitas bisnis,
dan sebagainya—turut andil dalam perkembangan karakter
anak.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa
karakter merupakan kualitas moral dan mental seseorang
yang dibentuk dan dipengaruhi oleh faktor bawaan
(fitrah-nature) dan lingkungan (sosialisasi atau
pendidikan—nurture). Sebelum dilahirkan, manusia telah
memiliki potensi karakter yang baik. Akan tetapi, potensi
tersebut harus terus-menerus dibina melalui sosialisasi dan
pendidikan sejak usia dini. Dengan demikian, jika ditelaah
lebih lanjut maka pengertian karakter dan akhlak tidak
memiliki perbedaan yang signifikan. Keduanya
didefinisikan sebagai suatu tindakan kebajikan yang
dilakukan tanpa pemikiran karena sudah tertanam dalam
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 95
M. Ihsan Dacholfany
pikiran, dalam arti perbuatan baik yang telah mengakar
dan menjadi kebiasaan.
3) Pengertian Pendidikan
Karakter
Apakah pendidikan karakter itu?. Pertanyaan
pendek ini bisa memunculkan jawaban yang beragam,
bahkan tidak mustahil menjebak kita dalam kumparan
definisi rumit dan silang argumen yang memancing selisih
pendapat. Meskipun pertanyaan itu melahirkan sederet
pengertian, namun semua sepakat tentang pentingnya
pendidikan karakter bagi pengembangan generasi dan
masyarakat Indonesia.
Pendidikan karakter adalah sebuah usaha sadar
untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil
keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam
kehidupan sehari-hari. Sehingga, mereka dapat
memberikan kontribusi positif bagi lingkungannya.
Pendidikan karakter dilakukan tidak sebatas
membebankan tugas kepada peserta didik untuk mengenal
atau mengetahui karakter yang seharusnya dijalankan,
melainkan bagaimana melatih dan membiasakan karakter
yang kuat dan terpuji dalam kehidupan sehari-hari.
Pengetahuan dan pengenalan terhadap sesuatu yang baik
tidak menjamin seseorang akan berkelakukan baik pula.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 96
M. Ihsan Dacholfany
Menurut Lickona, pendidikan karakter merupakan
pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang
melalui budi pekerti. Hasilnya terlihat dalam tindakan
nyata, tingkah laku yang jujur, sikap bertanggung jawab,
menghormati hak orang lain, kerja keras, dan sebagainya.
Selain itu, pendidikan karakter tidak hanya sekadar
mengajarkan tentang benar dan salah. Lebih dari itu, ia
menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang
baik sehingga siswa didik menjadi paham (domain
kognitif) tentang mana yang baik dan salah, dan mampu
merasakan (domain afektif) nilai yang baik, serta mau
melakukannya (domain psikomotor). Pendidikan karakter
berbeda dengan pendidikan moral. Jika pendidikan moral
hanya terfokus pada pengetahuan tentang moral atau
menekankan aspek kognisi maka pendidikan karakter tidak
hanya menekankan pada pembentukan karakter anak saja,
tetapi juga mengembangkan kemampuan anak dalam
aspek kognitifnya.
Menurut Brooks dan Gooble, dalam menjalankan
pendidikan karakter terdapat tiga elemen penting yang
harus diperhatikan, yaitu: prinsip, proses, dan praktik
dalam pengajaran. Karena itu, dalam menjalankan prinsip
itu maka nilai-nilai yang diajarkan harus termanifestasi
dalam kurikulum sehingga semua siswa sekolah
benar-benar paham tentang nilai-nilai tersebut, dan mampu
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 97
M. Ihsan Dacholfany
menerjemahkan dalam perilaku nyata. Maka untuk
mewujudkan hal itu diperlukan pendekatan optimal untuk
mengajarkan karakter secara efektif, menurut Brooks dan
Goble, harus diterapkan di seluruh sekolah. Bukan hanya
siswa yang terlibat, tetapi juga warga sekolah.
Lebih lanjut bahwa pendidikan karakter adalah
pendidikan yang melibatkan aspek pengetahuan,
perasaan, dan tindakan. Hal ini selaras dengan ungkapan
Lickona bahwa tanpa ketiga aspek; pengetahuan, perasaan
dan tindakan, maka pendidikan karakter tidak akan
berjalan secara efektif. Pelaksanaannya pun harus
dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Jika tidak
demikian, karakter tidak akan terbangun kuat dan mantap.
Dari pernyataan di atas, kita bisa melihat betapa
banyak orang telah memahami kerugian atau keburukan,
bahkan kejahatan orang yang melakukan tindakan korupsi,
tetapi mereka masih melakukannya. Para koruptor
bukanlah orang yang tidak mengerti bahaya korupsi, baik
terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Akan tetapi,
justru mereka yang tahu, atau mungkin sehari-hari
berkampanye “anti-korupsi” pun tetap melakukannya.
Oleh karena itu, mendidik karakter unggul tidak cukup
sebatas menyusun bahan pelajaran atau kuliah tentang
karakter terpuji, lalu menyampaikan kepada para siswa di
depan kelas. Tidak sekadar menghitung berapa jam
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 98
M. Ihsan Dacholfany
pelajaran dilaksanakan, berapa semester bahan-bahan bisa
dihabiskan, termasuk buku pegangan apa yang digunakan
dan seterusnya. Kalaupun hanya sebatas ini, pendidikan
karakter yang dianggap penting itu tidak akan berhasil
mengantarkan peserta didik menjadi siswa yang
berkarakter. Pendidikan seperti itu tidak akan berhasil
membangun karakter. Sebaliknya, justru karakter mereka
akan semakin merosot, terlebih bila pendidikan tersebut
dijalankan dengan pendekatan proyek.
Menurut Achmad Sanusi, guru memiliki peranan
penting dalam membentuk karakter anak-anak. Sementara
itu Guru Besar UNINUS, Dedi Mulyasana juga
menyampaikan bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah
proses pematangan kualitas peserta didik. Proses tersebut
dimaksudkan untuk membantu kesulitan mereka dalam
memahami arti dan hakikat hidup secara benar. Lebih
mengemukakan bahwa pendidikan bukan sekadar ujian
atau membekali peserta didik dengan angka-angka dan
ijazah. Tetapi pendidikan berperan membantu kesulitan
mereka dalam memahami dan mengembangkan konsep
dan jati dirinya secara benar. Proses tersebut bukan saja
dimaksudkan untuk membekali peserta didik agar mereka
dapat hidup di zaman yang berbeda ketika menuntut ilmu.
Akan tetapi, juga diharapkan mampu memahami alasan;
mengapa, untuk apa, dan bagaimana cara melaksanakan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 99
M. Ihsan Dacholfany
tugas hidup dan kehidupan secara benar dan cerdas. Dan
tugas guru adalah mendidik siswa untuk memiliki karakter
yang luhur sekaligus untuk mengetahui jawaban-jawaban
dari pertanyaan tersebut.
Lain halnya dengan pernyataan Sofyan Sauri
bahwa pendidikan karakter itu sebenarnya pendidikan
akhlak. Sedangkan pendidikan akhlak itu pendidikan yang
penuh dengan makna-nilai. Jadi, antara yang satu dengan
yang lainnya saling berkaitan erat. Ia tidak bisa dipisahkan,
dan lebih tepat menggunakan istilah pendidikan akhlakul
karimah. Di samping itu, metode menyampaikan
pendidikan karakter kepada siswa harus memerhatikan
prinsip perkembangan, yaitu: berkelanjutan, integrasi
semua mata pelajaran, pengembangan diri dan budaya
sekolah, serta nilai-nilai yang tidak diajarkan tetapi
dikembangkan.
Proses pemberian tuntunan pada anak didik
ditujukan agar mereka menjadi manusia seutuhnya dalam
dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Peserta didik
diharap memiliki karakter yang baik meliputi; kejujuran,
tanggung jawab, cerdas, bersih dan sehat, peduli, dan
kreatif. Karakter tersebut diharapkan menjadi kepribadian
yang utuh yang mencerminkan keselarasan dan
keharmonisan olah hati, pikir, raga, rasa, dan karsa.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 100
M. Ihsan Dacholfany
Konsep-konsep tentang kehidupan yang didapat
dari ajaran agama harus dilatih dan dibiasakan sehari-hari.
Untuk melatih dan membiasakan itu semua diperlukan
guru, orang tua, atau pelatih. Mereka adalah para guru di
sekolah, orang tua, dan orang-orang dekatnya. Tanpa
pelatihan dan pembiasaan maka perilaku berkarakter
unggul tersebut sulit terbentuk.
Menurut Dosen Pascasarjana Universitas Ibn
Khaldun Adian Husaini, pendidikan karakter bukan
pendidikan yang berwujud mata pelajaran. Ia menjelma
dalam keteladan yang harus diperlihatkan oleh semua
lapisan, baik guru, pemerintah, orang tua, dan pemuka
agama. Dengan kata lain, kunci keberhasilan pendidikan
karakter adalah keteladan dan dunia pendidikan saat ini
sedang menghadapi tantangan yang sangat serius. Di
antara tantangan yang paling krusial adalah masalah
karakter anak didik. Berbagai program pendidikan dan
kucuran dana yang jor-joran tidak bisa menjadi solusi dari
permasalahan krusial dalam dunia pendidikan. Bahkan,
dalam kenyataannya semakin tinggi pendidikan seseorang,
semakin tidak berpendidikan dan tidak berkarakter orang
tersebut. Hal penting yang harus diingat bahwa wacana
pendidikan karakter yang akhir-akhir ini populer jangan
sampai menjadi lumbung baru untuk menumbuhsuburkan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 101
M. Ihsan Dacholfany
fenomena tidak berkarakter, seperti sekadar mementingkan
sertifikat seminar.
Dalam realitas di lapangan, sebenarnya
“diam-diam” pendidikan karakter sudah banyak diterapkan
di berbagai sekolah di Indonesia, meski tidak secara
khusus atau terus terang menyatakan adanya praktik
pendidikan karakter. Ada sekolah yang menyebutnya
sebagai pendidikan nilai-nilai kemanusiaan, atau
pembinaan akhlak, bahkan tidak memberi label sama
sekali. Beberapa sekolah unggulan dan sekolah alternatif
di kota-kota besar telah berupaya menyelenggarakan
pendidikan karakter. Pendidikan ini dijalankan dengan
berbagai variasi dengan mempertimbangkan konteks dan
kebutuhan lingkungannya. Bahkan, di Pondok Pesantren
dan sekolah berbasis agama lainnya pun sudah lama
mengembangkan pembinaan mental spiritual. Sehingga
lembaga-lembaga tersebut mampu melahirkan alumni
yang berkepribadian dan beriman kuat.
Menurut Lickona Karakter terdiri dari tiga unjuk
perilaku yang saling berkaitan, yaitu tahu arti kebaikan,
mau berbuat baik, dan nyata berperilaku baik. Ketiga
substansi dan proses psikologis tersebut bermuara pada
kehidupan moral dan kematangan moral individu. Dengan
kata lain, karakter dapat dimaknai sebagai kualitas pribadi
yang baik. Lebih jelas bahwa dalam pendidikan karakter
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 102
M. Ihsan Dacholfany
selayaknya dikembangkan pendekatan terpadu dan
menyeluruh. Efektivitas pendidikan karakter tidak selalu
harus dengan menambah program tersendiri, melainkan
bisa melalui transformasi budaya dan kehidupan di
lingkungan sekolah. Melalui pendidikan karakter semua
berkomitmen untuk menumbuhkembangkan peserta didik
menjadi pribadi utuh yang menginternalisasi kebajikan
(tahu dan mau) dan terbiasa mewujudkan kebajikan itu
dalam kehidupan sehari-hari.
4). Unsur dan Mekanisme Pendidikan Karakter
Unsur terpenting dalam pendidikan karakter adalah
pikiran. Karena di dalam pikiran terdapat seluruh program
yang terbentuk dari pengalaman hidupnya, sekaligus
merupakan pelopor segalanya menurut Byrne, Program
ini kemudian membentuk sistem kepercayaan yang dapat
membentuk pola berpikir dan dapat memengaruhi perilaku
seseorang. Jika program ini tertanam sesuai prinsip-prinsip
kebenaran universal maka perilakunya berjalan selaras
dengan hukum alam. Hasilnya, perilaku tersebut
membawa ketenangan dan kebahagiaan. Sebaliknya, jika
program tersebut tidak sesuai prinsip-prinsip hukum
universal, perilakunya justru akan membawa kerusakan
dan menghasilkan penderitaan. Oleh karena itu, pikiran
harus mendapatkan perhatian serius.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 103
M. Ihsan Dacholfany
Penjelasan Adi W. Gunawan mengenai fungsi
pikiran sadar dan bawah sadar menarik untuk dikutip.
Pikiran sadar yang secara fisik terletak di bagian korteks
otak bersifat logis dan analisis dengan memiliki pengaruh
sebesar 12 % dari kemampuan otak. Sedangkan pikiran
bawah sadar secara fisik terletak di medulla oblongata
yang sudah terbentuk ketika masih dalam kandungan.
Karena itu, ketika bayi yang dilahirkan menangis, bayi
tersebut akan tenang dalam dekapan ibunya karena ia
sudah merasa tidak asing lagi dengan detak jantung
ibunya. Pikiran bawah sadar bersifat netral dan sugestif.
Pikiran sadar dan bawah sadar terus berinteraksi.
Pikiran bawah sadar akan menjalankan apa yang telah
dikesankan kepadanya melalui sistem kepercayaan yang
lahir dari hasil kesimpulan nalar, dari pikiran sadar
terhadap objek luar yang diamati. Karena, pikiran bawah
sadar akan terus mengikuti kesan dari pikiran sadar maka
pikiran sadar diibaratkan nahkoda, sedangkan pikiran
bawah sadar diibaratkan awak kapal yang siap
menjalankan perintah, terlepas perintah itu benar atau
salah. Dari sini pikiran sadar bisa berperan sebagai penjaga
untuk melindungi pikiran bawah sadar dari pengaruh objek
luar.
Sebagai contoh, jika media masa memberitakan
bahwa Indonesia semakin terpuruk, berita ini dapat
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 104
M. Ihsan Dacholfany
membuat seseorang merasa depresi. Sebab setelah
mendengar dan melihat berita tersebut, ia menalar
berdasarkan kepercayaannya. Secara logika mungkin bisa
diilustrasikan seperti berikut ini, “Kalau Indonesia
terpuruk, rakyat jadi terpuruk. Saya adalah rakyat
Indonesia maka ketika Indonesia terpuruk, saya pun
terpuruk.”
Kesan yang diperoleh dari hasil penalaran dalam
pikiran sadar adalah ketidakberdayaan yang akan
mengakibatkan putus asa. Akhirnya, ketidakberdayaan
tersebut akan memunculkan perilaku destruktif, bahkan
bisa mendorong tindak kejahatan seperti pencurian dengan
alasan untuk bertahan hidup. Melalui pikiran sadar pula,
kepercayaan tersebut dapat diubah guna memberikan
kesan berbeda, misalnya, dengan menambahkan kalimat
berikut ini, “... tapi aku punya banyak relasi orang-orang
kaya yang siap membantuku.”
Cara berpikir seperti model terakhir ini akan
memberikan kesan keberdayaan sehingga dapat
memberikan harapan dan meningkatkan rasa percaya diri.
Dengan memahami cara kerja pikiran tersebut, kita
memahami bahwa pengendalian pikiran itu sangat penting.
Dan dengan kemampuan mengendalikan pikiran ke arah
kebaikan, kita akan mudah mendapatkan apa yang kita
inginkan, yaitu kebahagiaan. Sebaliknya, jika pikiran kita
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 105
M. Ihsan Dacholfany
lepas kendali, sehingga terfokus pada keburukan dan
kejahatan maka disadari atau tidak kita akan terus menuai
penderitaan demi penderitaan.
5) Proses Pembentukan Karakter
Sebelum penulis melanjutkan pembahasan, mari
kita kaji ilustrasi berikut ini. Dalam sebuah ruangan
terdapat bayi dan dua orang dewasa. Mereka duduk dalam
posisi melingkar. Kemudian masuk satu orang lain yang
membawa kotak besar berwarna putih ke arah mereka.
Lalu, ia pun meletakkan kotak tersebut di tengah-tengah
mereka. Orang tersebut langsung membuka tutupnya agar
keluar isinya. Setelah dibuka, ternyata terlihat tiga ular
kobra berwarna hitam dan besar keluar dari kotak tersebut.
Langsung saja salah seorang dari mereka lari ketakutan,
sedangkan yang lainnya justru berani mendekat untuk
memegang ular agar tidak membahayakan. Dan, tentu saja
dengan si bayi yang ada di dekatnya tetap tidak
memperlihatkan respon apapun terhadap ular tersebut.
Ilustrasi di atas menggambarkan bagaimana
kehidupan manusia di dunia ini. Kita semua dihadapkan
dengan permasalahan yang sama; kehidupan duniawi.
Akan tetapi, respon yang kita berikan terhadap
permasalahan tersebut berbeda-beda. Di antara kita ada
yang hidup penuh semangat, sedangkan yang lain
hidupnya bermalas-malasan dan putus asa. Ada juga yang
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 106
M. Ihsan Dacholfany
hidup bersama keluarga dengan damai dan tenang,
sementara yang lain hidup dengan kondisi keluarga
berantakan. Ada pula di antara mereka yang hidup dengan
perasaan bahagia dan ceria, yang lain hidup dengan penuh
penderitaan dan keluhan. Padahal, kita semua berangkat
dari kondisi yang sama, kondisi ketika masih kecil yang
penuh semangat, ceria, bahagia, dengan tidak ada perasaan
takut atau pun sedih.
Pimpinan Ar-Rafi Bandung, Hari Suderadjat
mengatakan bahwa karakter santri yang ingin dibangun
oleh pendidikan Pesantren hendaknya sesuai dengan
karakteristik seorang Mukmin yang kompeten, antara lain:
1) Beriman dan bertakwa kepada Allah Swt., dengan
selalu mengingat-Nya; 2) memikirkan fenomena alam
sehingga memeroleh konsep-konsep keilmuan dan
teknologi yang bisa digunakan dalam kehidupan
sehari-hari untuk meningkatkan harkat dan martabatnya;
3) dalam mengamalkan ilmunya selalu berorientasi pada
kebermaknaan bagi orang lain; 4) orang-orang yang
kompeten selalu berhati-hati, takut terjadi kesalahan yang
akan menyeretnya ke azab neraka. Karena itu, mereka
selalu berusaha berpegang pada tali Allah Swt. yaitu
Al-Quran.
Dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan
bahwa kompetensi merupakan integrasi dari pengetahuan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 107
M. Ihsan Dacholfany
(ilmu), nilai, sikap (iman), dan perbuatan (amal). Dalam
definisi operasional, kompetensi lulusan adalah
penguasaan dan pemilikan ilmu pengetahuan (knowledge),
yang dapat diterapkan dalam kehidupan (skill) dengan
nilai-nilai akhlak mulia (attitude). Dengan demikian,
diharapkan santri yang memiliki ilmu dapat
mengamalkannya secara saleh.
6) Proses dan Landasan Perkembangan
Karakter.
Adapun proses pembelajaran pendidikan karakter
menurut Achmad Sanusi dengan Teori Model Pendidikan
Pengembangan Karakter—antara lain melalui keteladanan,
pengasuhan dan pembiasaan, pelatihan, partisipasi dalam
kegiatan, ganjaran dan hukuman. Di samping itu, beberapa
indikator yang dapat membentuk masyarakat Muslim yang
berkarakter adalah masyarakat taat beragama yang
menjadikan dunia sebagai alat untuk mengumpulkan
perbekalan akhirat. Masyarakat yang menjadikan
kenikmatan sebagai alat untuk ridha Allah Swt. dengan
cara membangun kehidupan yang bermakna dan
bermanfaat, menghindari perbuatan dosa dan kemaksiatan,
serta menumbuhkan sikap saling mengingatkan dan saling
menolong. Masyarakat Muslim adalah masyarakat
bertakwa yang menjadikan iman, amal shaleh, dan
keikhlasan sebagai fondasi hidupnya.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 108
M. Ihsan Dacholfany
Berkenaan dengan masalah karakter, Achmad Sanusi
juga menyatakan bahwa hal yang sangat penting untuk
diindentifikasi secara seksama tentang berbagai macam
nilai serta tingkat perkembangan kedewasaan yang
dimiliki para pelaku bersangkutan ditinjau dari beberapa
sudut antara lain: 1. Nilai teologik (ketuhanan/
keberagamaan) 2. Nilai fisik-fisiologik (keberadaan dan
keberfungsian lingkungan alam) 3. Nilai etik (sopan
santun atau baik buruk dalam pergaulan sosial) 4. Nilai
estetika (tata tertib, kebersihan, keindahan, dan keserasian)
5. Nilai teleologik (kemanfaatan, kegunaan dalam
ekonomi, politik) 6. Nilai logik (ketepatan, kecocokan,
benar salah, ilmu teknologi).
Dengan demikian, tugas dan peran fungsional dari
pendidikan karakter bagi para pembelajar adalah supaya
menyadari, memahami, dan mengembangkan sistem
nilai-nilai tersebut di dalam konteks sosial budaya dan
lingkungan yang relevan. Dengan bantuan konsep-konsep
ilmu psikologi dan lainnya, tujuan spesifik bahan
pembelajaran berikut disesuaikan dengan berbagai tahap
dan tingkat kedewasaan para peserta didik yang
bersangkutan.
Dedi Mulyasana menegaskan ada beberapa indikator
Karakter masyarakat Muslim, yaitu: 1) beriman dan
bertakwa kepada Allah Swt.; 2) takut kepada Allah Swt.,
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 109
M. Ihsan Dacholfany
bersikap sederhana, dan berlaku adil; 3) pemberi manfaat
bagi sesama; 4) gemar mencari ilmu; 5) pekerja keras; 6)
mencari ridha Allah Swt.; 7) mencintai Allah Swt. dan
Rasul-nya, mencinta sesama manusia, dan benci
melakukan kemaksiatan; 8) mencari dunia untuk akhirat:
9) berjiwa penolong dan pemberi kemudahan; 10) berjiwa
stabil—tidak cemas terhadap sesuatu yang hilang dan tidak
terlalu gembira terhadap yang diperoleh; 11) menjadi
sumber ketenteraman bagi sesama; 12) ucapan dan
perbuatannya tidak merugikan orang lain; 13) saling
mengingatkan dan menitipkan diri; 14) bersikap toleran
terhadap sesama; 15) pemaaf dan penyambung
silaturahmi; 16) masyarakat saleh.
Berkaitan dengan pendidikan bergaya
kepemimpinan, Sofyan Sauri menambahkan bahwa
pemimpin yang baik harus memberikan keteladanan dalam
berbahasa santun, benar, jujur, baik, lurus, halus, sopan,
pantas, penghargaan, khidmat, optimisme, indah,
menyenangkan, logis, fasih, terang, menyentuh hati,
selaras, mengesankan, tenang, efektif, dermawan, lemah
lembut, rendah hati.
Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam
pembelajaran setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran
yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap
mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 110
M. Ihsan Dacholfany
dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Alhasil,
pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran
kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi dan
pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik
sehari-hari di masyarakat. Sedangkan terkait dengan
sejumlah konsep dan permasalahan, sebagaimana
dikemukakan di atas, diperlukan berbagai upaya sehingga
pendidikan karakter mampu mempersiapkan masa depan
bangsa yang bermutu dan bermartabat.
Upaya tersebut bisa dilakukan dengan, pertama,
kebijakan pendidikan lebih menitikberatkan pada
kebutuhan belajar daripada sekadar mengutamakan tertib
administrasi. Kedua, pendidikan karakter adalah
pendidikan akhlak mulia yang berorientasi pada realita,
tuntutan perubahan, dan tantangan masa depan. Oleh
karena itu, landasannya adalah keimanan, keilmuan, amal
saleh, dan keikhlasan. Ketiga, ukuran keberhasilan belajar/
mengaji tercermin dalam semangat menata masa depan
atas dasar ketaatan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya.
Keempat, proses pembelajaran/mengaji tidak sebatas
mentransfer sejumlah informasi, teori, dan ilmu
pengetahuan keagamaan, tetapi lebih ditekankan pada
pembentukan spirit, motivasi dan budaya mutu. Kelima,
sistem pembelajaran/ mengaji yang menggunakan pola
sorogan dan bandongan tidak sekadar menekankan pada
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 111
M. Ihsan Dacholfany
hapalan semata, tapi dikembangkan menjadi sistem yang
mampu mengembangkan potensi dan jati diri santri secara
utuh. Keenam, konsep-konsep keagamaan yang bersumber
dari wahyu dan hadis Nabi Saw. harus dijadikan pedoman
dalam mengembangkan teori-teori dan konsep dalam
pengembangan pendidikan karakter.
Menurut Direktur PPs STAIN Jurai Siwo, Husnul
Fatarib, pendidikan karakter merupakan pendidikan yang
diarahkan untuk membentuk peserta didik sebagai manusia
yang memiliki ciri-ciri baik, baik dalam ucapan maupun
perbuatan. Pendidikan agama dapat dijadikan salah satu
sarana untuk membangun karakter peserta didik. Muatan
pendidikan Agama Islam pada unsur akhlak dapat diisi
dengan pendidikan karakter dan yang tidak kalah
pentingnya, penilaian dalam pendidikan karakter
sebaiknya tidak hanya dilakukan melalui pengukuran
kemampuan terkait dengan aspek kognitif semata.
Penilaian harus dilakukan secara komprehensif yang
meliputi pengetahuan, perasaan, dan tindakan.
7) Pembentukan Karakter Bangsa
Pembentukan karakter bangsa (Nation Character
Building) adalah hal penting untuk mempertahan
eksistensi bangsa dan Negara itu sendiri. Ironinya, kualitas
karakter anak bangsa ini dari masa ke masa mengalami
kehancuran. Azyumardi Azra (cek lagi nama) menyatakan:
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 112
M. Ihsan Dacholfany
Sejak awal reformasi bergulir bangsa Indonesia
mengalami krisis moneter, ekonomi, dan politik yang
mengakibatkan terjadinya krisis sosial-kultural di dalam
kehidupan bangsa dan Negara. Hal ini memperlihatkan
bagaimana masalah karakter bangsa ini menjadi
permasalahan serius dan selalu aktual.
Upaya pengembangan karakter melalui pendidikan
karakter sebenarnya telah banyak dilakukan, terutama di
dunia persekolahan dengan ujung tombaknya mata
pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (civic education).
Namun demikian, menurut Sapriya upaya pendidikan
kewarganegaraan yang sejak lama itu belum optimal dan
berhasil mencapai harapan. Bahkan, hingga saat ini
program pendidikan ini malah dipertanyakan keberadaan
dan kenyataannya.
Dalam hal ini Dedi Mulyasana menawarkan materi
yang dipandang lebih aplikatif dan bermanfaat dalam
pembentukan kepribadian mahasiswa. Materi tersebut
antara lain, pendidikan agama yang orientasi; menjadi
ilmuwan dan profesional yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan YME; berakhlak mulia; memiliki etos kerja;
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan.
Adapun usulan materi perkuliahan tentang akhlak
mulia menurutnya dengan cara: menumbuhkan budaya
malu dan perasaan dosa; membangun nilai-nilai
kesantunan, persaudaraan, dan kemanusiaan; menata
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 113
M. Ihsan Dacholfany
orientasi hidup dengan membangun nilai-nilai keteladanan
dan kebermanfaatan; melatih kejujuran, keadilan, dan
keikhlasan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara; melatih sikap saling
menghargai, bergotong royong, kekeluargaan; bekerja
sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara; meningkatkan kualitas ibadah secara benar.
Bagi Bangsa Indonesia, pendidikan karakter pada
masyarakat dewasa ini seolah tidak menjadi prioritas
negara. Hal ini diasumsikan bahwa pendidikan karakter
bangsa masih ditekankan pada lingkungan persekolahan
melalui ujung tombaknya Pendidikan Kewarganegaraan,
yang mana sampai saat ini pun masih mencari bentuknya.
Padahal, seperti telah dibahas di atas bahwa pendidikan
karakter merupakan pendidikan yang mesti terencana,
terarah, berkesinambungan dari sejak dini oleh berbagai
pihak, baik pihak sekolah maupun masyarakat, termasuk
keluarga. Oleh karena itu, banyak terjadi kesenjangan di
lapangan antara tata nilai yang diajarkan melalui
pendidikan di sekolah dengan dunia nyata di lingkungan
masyarakat. Pihak sekolah memberikan tata nilai terhadap
siswa, tetapi ketika di lingkungan masyarakat tata nilai itu
tidak diterapkan, bahkan tidak ada. Sehingga, sangat wajar
bila siswa lebih memilih tata nilai yang berasal dari
lingkungan terdekatnya yaitu keluarga dan masyarakat.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 114
M. Ihsan Dacholfany
Inilah yang mengakibatkan karakter masyarakat kita
semakin melemah, dan mengarah pada karakter yang tidak
lebih baik.
Karakter yang baik tidak hanya sekadar perkataan,
melainkan sebuah pilihan yang membawa kesuksesan. Ia
bukan anugerah, melainkan dibangun sedikit demi sedikit,
dengan pikiran, perkataan, perbuatan, kebiasaan,
keberanian, usaha keras, bahkan dibentuk dari kesulitan
hidup. Pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi
dari pendidikan moral. Karena bukan sekadar mengajarkan
mana yang benar dan mana yang salah. Lebih dari itu,
pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation)
tentang hal yang baik sehingga siswa didik menjadi paham
(domain kognitif) tentang mana yang baik dan salah,
mampu merasakan (domain afektif) nilai yang baik, serta
mau melakukannya (domain psikomotor).
Dalam hal ini penulis meminjam istilah Lickona
bahwa komponen ini dalam pendidikan karakter disebut
“desiring the good” atau keinginan untuk berbuat
kebaikan. Menurut Lickona, pendidikan karakter yang baik
dengan demikian harus melibatkan, bukan saja aspek
“knowing the good” (moral knowing), tetapi juga
“desiring the good” atau “loving the good” (moral
feeling) dan “acting the good” (moral action). Tanpa itu
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 115
M. Ihsan Dacholfany
semua manusia akan sama seperti robot yang
terindoktrinasi oleh suatu paham.
Sebagaimana diungkap oleh Dedi Mulyasana
sebelumnya bahwa persoalan karakter bangsa Indonesia
dewasa ini memang sudah pada tahap memprihatinkan.
Karakter tersebut dapat terlihat dari gejala sosial yang
muncul, seperti tawuran remaja di kota-kota besar di
Indonesia, seks bebas yang menjadi trend di kalangan
remaja didorong oleh maraknya penyebaran VCD dan
situs-situs porno, penggunaan narkoba, serta minuman
alkohol yang meluas sampai ke pedesaan, etos kerja yang
buruk, rendahnya disiplin diri, kurangnya semangat
bekerja keras, keinginan untuk memperoleh hidup yang
mudah tanpa kerja keras, dan nilai materialisme yang telah
menjadi gejala yang umum di masyarakat.
Akibatnya, hal ini tercermin pada tingginya
praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang terjadi
di Indonesia.Inilah yang menyebabkan karakter bangsa
yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila seolah-olah sirna.
a. Lemahnya institusi keluarga
Apabila ditelaah secara mendalam, akar
permasalahan terjadinya demoralisasi adalah lemahnya
institusi keluarga dan standarisasi moral menurut
pandangan Megawangi, sehingga tinjauan teori keluarga
memiliki cara pandang yang berbeda dalam melihat
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 116
M. Ihsan Dacholfany
penyebab kriminalitas dan demoralisasi dalam masyarakat.
Dalam pandangan mereka, keluarga tidak lagi menjadi
wadah yang dapat menumbuhkembangkan karakter
manusia karena permasalahan yang dialami oleh pasangan
suami-istri, di samping adanya tekanan dari lingkungan
luar termasuk media massa dan bekerjanya kaum
perempuan di sektor publik.
Secara umum, pendidikan karakter melalui
situs-situs kewarganegaraan ini terbagi dalam dua
kelompok, yaitu: 1) pendidikan karakter yang dikelola
secara tradisional, yang mana manajemen dan metode
yang dilakukan sangat sederhana dan cenderung kaku,
seperti kegiatan-kegiatan majelis taklim, pengajian
mingguan atau harian di lingkungan masyarakat, dan
sebagainya; 2) pendidikan karakter yang dilakukan secara
profesional. Dalam hal ini pengelolaan, kurikulum, model,
atau metode yang dirancang dan dilaksanakan sedikit lebih
baik. Biasanya, pendidikan karakter seperti ini dilakukan
oleh masyarakat yang secara struktur organisasi,
kurikulum, serta metode lebih terarah dan terfokus pada
bidang tertentu. Misalnya, gerakan-gerakan yang
dilakukan oleh Pesantren Darut Tauhid (DT) dengan
kegiatan Pelatihan Manajemen Qolbu (MQ), atau
Pelatihan-pelatihan Emotional Spiritual Quotient (ESQ)
seperti oleh Ary Ginanjar, Pendalaman Terapi Shalat
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 117
M. Ihsan Dacholfany
Bahagia (PTSB) oleh Moh Ali Aziz, Duta Training Center
adalah sebuah divisi dari Finance and Management
Consultant PT. Duta Pratama Konsulindo yang didirikan
oleh ddy Faisal, Rento Akhiatri, DH. Ismail dan Imam
Ratrioso, Training dan motivator Man Jadda Wajada
oleh Akbar Zainudin dan masih banyak lagi
pelatihan-pelatihan motivasi, pendidikan non formal, dan
sebagainya.
Pendidikan karakter di masyarakat melalui
situs-situs kewarganegaraan ang dipimpsebenarnya sudah
dilakukan sejak masyarakat ini terbentuk, bahkan sebelum
adanya pendidikan-pendidikan formal, seperti sekolah
dasar sampai perguruan tinggi. Namun, persoalan
mendasar saat ini adalah tidak adanya relevansi yang
signifikan antara program pendidikan karakter di
persekolahan dengan masyarakat. Sehingga terjadi
kesenjangan antara konsepsi karakter bangsa yang
diajarkan di dunia persekolahan yang begitu ideal dengan
kenyataan di masyarakat.
a. Membangun Kepribadian Berkarakter Ulul
Albab
Dalam al-Quran, kata Ulul albab disebut sebanyak
enambelas kali. Menurut al-Qur’an, ulul albab berarti
sekelompok manusia yang diberi keistimewaan Allah Swt.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 118
M. Ihsan Dacholfany
di antaranya mereka diberi hikmah, kebijaksanaan, dan
pengetahuan, di samping pengetahuan yang diperoleh
secara empiris.
Di dalam sifat ulul albab berpadu sifat-sifat
ilmuwan, sifat-sifat intelektual, dan sifat orang yang dekat
dengan Allah Swt. Untuk itu, Islam mengharapkan lahir
individu-individu berkarakter ulul albab dari generasi ke
generasi yang mampu menciptakan lompatan-lompatan
besar. Dan pada gilirannya menjadi batu loncatan lahirnya
peradaban, kebudayaan, dan manusia yang dinamis dan
kreatif.
Dari pembahasan teori di atas, penulis
berkesimpulan bahwa:
1. Dalam rangka membangun karakter santri yang
kuat, gaya kepemimpinan kyai di Pondok Pesantren
tertentu setidaknya harus terwujud dalam bentuk: a.
Keteladanan dalam berbahasa santun; b. gaya
kepemimpinan; c. perilaku pemimpin tersebut; d.
sifat-sifat dasar kepemimpinannya; e. keterampilan dalam
proses memimpin; f. karateristik dasar kepemimpinannya.
Seorang kyai yang memiliki karakter Islam yang
kuat akan tercermin dalam ucapan lisannya. Karena lisan
adalah perwujudan dari sikap dan pemikiran yang
dimilikinya. Lisan dan ucapan kyai akan langsung menjadi
bahan pembelajaran bagi para santri. Para santri pun akan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 119
M. Ihsan Dacholfany
meniru gaya dan cara kyai berucap dan berbahasa. Dalam
hal ini, penulis sependapat dengan teori pendidikan
berbahasa santun yang dikemukan oleh Sofyan Sauri yang
digambarkan dengan 24 indikator berbahasa santun, yaitu:
benar, jujur, baik, lurus, halus, sopan, pantas,
penghargaan, khidmat, optimisme, indah, menyenangkan,
logis, fasih, terang, tepat, menyentuh hati, selaras,
mengesankan, tenang, efektif, dermawan, lemah lembut,
dan rendah hati.
Strategi kyai dalam membangun karakter juga
harus terwujud dalam bentuk gaya kepemimpinannya. Ada
lima gaya kepemimpinan yang menurut penulis sangat
cocok dikembangkan di dalam membangun karakter
santri, yaitu: 1) gaya kepemimpinan Nabi Muhammad
(Menjadi teladan bagi umatnya, baik ucap, sikap maupun
perilakunya); 2) gaya kepemimpinan transaksional
(berkompromi dengan pihak yang dipimpinnya dalam
rangka mencari alternatif yang paling baik, dan
membangun tim); 3) gaya kepemimpinan situasional
(disesuaikan dengan kondisi pihak yang dipimpinnya); 4)
gaya kepemimpinan partisipatif; 5) gaya kepemimpinan
demokratis.
2. Ada banyak teori tentang karakter siswa atau
santri yang bisa dikembangkan dalam proses pendidikan,
tetapi semuanya sudah terangkum dalam teori yang
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 120
M. Ihsan Dacholfany
dikemukakan oleh Hari Sudrajat dan teori Dedi
Mulyasana. Hari Suderajat menggambarkan karakter siswa
(santri) dalam empat indikator, yaitu: a. Beriman dan
bertakwa kepada Allah Swt., dengan selalu mengingat
Allah; b. Memikirkan fenomena alam sehingga memeroleh
konsep-konsep keilmuan dan teknologi untuk digunakan
dalam kehidupan sehari-hari supaya dapat meningkatkan
harkat dan martabatnya; c. Dalam mengamalkan ilmunya
selalu berorientasi kepada kebermaknaan bagi orang lain;
d. Mereka yang kompeten dalam kehidupannya selalu
berhati-hati, takut terjadi kesalahan yang akan
menyeretnya ke azab neraka. Oleh karena itu, mereka
selalu berusaha berpegang pada tali Allah Swt.; al-Quran.
Adapun Dedi Mulyasana menggambarkan karakter
siswa yang baik dalam 15 indikator, yaitu: beriman dan
Bertakwa pada Allah; takut pada Allah; bersikap
sederhana dan berlaku adil; pemberi manfaat bagi sesama;
gemar mencari Ilmu; pekerja keras; mencari ridha Allah
Swt.; mencintai Allah, Rasul, dan sesama manusia; benci
melakukan kemaksiatan; mencari dunia untuk akhirat;
berjiwa penolong dan pemberi kemudahan; berjiwa stabil
(tidak cemas terhadap sesuatu yang hilang dan tidak terlalu
gembira dengan apa yang diperoleh); menjadi sumber
ketenteraman bagi sesama. Ucapan dan perbuatannya tidak
merugikan orang lain; suka saling mengingatkan dan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 121
M. Ihsan Dacholfany
saling menitipkan diri; bersikap toleran terhadap sesama
pemaaf dan penyambung silaturahmi; menjadi pribadi dan
masyarakat saleh.
3. Berkaitan dengan proses pembentukan karakter,
penulis sepakat dengan teori Achmad Sanusi bahwa proses
pembentukan karakter siswa akan sangat efektif melalui:
proses keteladanan, pengasuhan, pembiasaan, pelatihan,
pelibatan siswa dalam kegiatan nyata, dan pembelajaran
melalui hadiah dan hukuman. Dalam aplikasinya semua
metode tersebut harus integrated, tidak terpisah-pisah, dan
berlaku secara umum atau tidak pilih kasih.[]
BAGIAN V
Gaya Kepemimpinan Kyai Dalam Upaya
Menyelenggarakan Pendidikan Karakter
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 122
M. Ihsan Dacholfany
A. Gaya Kepemimpinan Kyai Pondok Gontor dalam
Membangun Karakter Santri.
Apabila diamati secara seksama, gaya
kepemimpinan di Pondok Gontor adalah
religio-paternalistic. Artinya, gaya interaksi antara kyai
dengan para santri atau bawahan didasarkan atas nilai-nilai
keagamaan dengan bersandar pada gaya kepemimpinan
Nabi Muhammmad Saw. Sebentuk kepemimpinan yang
mementingkan pengelolaan lingkungan kehidupan secara
total, sebagaimana disampaikan Pimpinan Pondok Gontor,
Abdullah Syukri Zarkasyi :
Saya ini bukan pemimpin yang hanya mengelola
kurikulum, administrasi. Kalau pekerjaan seperti
itu, bisa saya wakilkan kepada siapa pun. Akan
tetapi saya ini mengelola kehidupan secara
totalitas; kehidupan santri, ustadz, dan keluarga
ustadz. Pekerjaan ini tidak bisa saya wakilkan
karena saya takut ruhnya tidak bisa nyampe karena
perilaku pemimpin yang satu tidak sama dengan
perilaku pemimpin lainnya. Dan saya harus selalu
menggerakkan semua komunitas Pesantren setiap
saat, bagaimana Pondok ini horek (Jawa: bergerak/
dinamis) setiap saatnya. Atau mewakilkan kyai
yang lain atau ustadz senior yang dipercaya.
Realitas ini juga ditangkap oleh salah seorang guru
senior bahwa Kyai Abdullah Syukri Zarkasyi tidak hanya
membina santri, tetapi para Ustadz, pengurus, pengasuhan,
bahkan para istri ustadz juga dibina. Mereka dididik dalam
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 123
M. Ihsan Dacholfany
berbagai forum pertemuan. Lebih dari itu, kesejahteraan
keluarga juga tidak luput dari perhatian kyai, misalnya
kadang-kadang mempertanyakan berapa tabungan yang
kita miliki, dan tak jarang pula ia berkunjung ke
rumah-rumah para ustadz sekadar melihat keberadaan
rumah yang kemungkinan membutuhkan
perbaikan-perbaikan.
Sama halnya dengan penjelasan Nur Hadi Ihsan,
alumni Universitas Malaysia, Program Doktoral yang juga
Wakil Direktur KMI Pondok Gontor, bahwa Kyai
Abdullah Syukri Zarkasyi sangat mendukung, bahkan
perhatian kepada para ustadz yang belum mampu
membuat rumah sendiri. Sebagai contoh, ketika ada ustadz
yang sedang membangun rumah, lalu mengalami
kekurangan dana sehingga pembangunannya terhenti maka
kyai akan segera memberi bantuan pinjaman untuk
menyelesaikan pembangunan rumah ustadz tersebut .
Hal di atas menunjukkan betapa sebagai pimpinan
Pesantren Kyai Abdullah Syukri Zarkasyi memberikan
keteladanan terhadap komunitas Pesantren, sebagai bentuk
komitmen terhadap nilai-nilai yang mendasari perilaku
Pesantren. Keteladanan ini sekaligus membuat semua
elemen Pesantren (pembantu kyai, ustadz, dan santri)
terbangun untuk bersama-sama berkomitmen terhadap
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 124
M. Ihsan Dacholfany
kyai dalam pendidikan karakter di Pondok Pesantren
Gontor.
Menjadi pemimpin bukanlah impian setiap orang.
Akan tetapi setiap orang haruslah memiliki bekal dan
persiapan untuk memimpin. karena yang dihadapi, tidak
saja hal-hal yang bersifat materiil, yang bisa diatur dengan
kemampuan mekanik, tetapi yang lebih rumit adalah yang
bersifat non materiil, yaitu pola fikir, sikap dan prilaku
manusia yang dipimpin. Di Gontor selalu diajarkan ”Siap
memimpin dan siap dipimpin”, falsafah itu, selalu
dikumandangkan K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, hampir
di setiap pertemuan dan kesempatan. Di setiap saat
manusia bisa berubah dan berkembang, Untuk itu amat
diperlukan kekuatan yang prima, yaitu daya dorong, daya
tahan, daya juang, daya suai dan daya kreatif
(http://www.gontor.ac.id)
Di bawah ini adalah bagan kerangka berfikir untuk
melihat bagaimana gaya Kepemimpinan Kyai dalam
Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren Gontor, Jawa
Timur.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor 1
M. Ihsan Dacholfany
LULUSAN
PESANTREN
GONTOR
MEMILIKI
KOMPETENSI
KUAT DAN
BERKARAKTER
ISLAMI
MANAJEMEN
PESANTREN
GONTOR
1. Visi
2. Misi
3. Strategi
STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN :
Standar Isi, Standar Proses, Standar Sarana dan Prasarana, Standar pembiayaan, Standar
Pengelolaan, Standar Penilaian Pendidikan, Standar Komptensi Lulusan, Standar pendidik dan
tenaga kependidikan
FAKTOR PENDUKUNG:
1. Masjid sebagi pusat pedidikan
2. Lingkungan Pondok Pesantren Gontor yg sudah
diwakafkan (Badan Wakaf)
3. Totalitas kehidupan Islami di Pondok Pesantren
Kehidupan asrama yang islami
4. Budaya belajar di Pesantren Gontor.
KUALITAS PEMBELAJARAN DI PESANTREN GONTOR:
1. Sistem:Kepemimpinan,Pengasuhan,Pengajaran,Kaderisasi,Pendanaan
2. Tulisan :Wardun, Majalah, TV, Mas Media
3. Perbuatan: Sikap & Tingkah laku, kiprah alumni dll
4. Lisan :Khutbah, Kamisan, silaturahmi, pertemuan penting
5. Kenyataan : Hub Guru-Santri erat, kualitas akademisi meningkat, masyarakat
terbina, alumni berkualitas
6. Pendekatan: Personal, tidak dipekerjakan, penugasan, pendekatan idealisme
7. Proporsional : sesuai dengan kebutuhan
KEPEMIMPINAN
KIYAI PONDOK
PESANTREN
DARUSSALAM
GONTOR
STANDAR KOMPETENSI
PENGAJAR DI
PESANTREN GONTOR
PRINSIP:
1. Pendidikan Nilai = Panca jiwa , Motto, Orientasi, Sintesa, Falsafah
2. Kurikulum Pembelajaran Pesantren Gontor = Integrasi
3. Sistem pembiayaan Pesantren Gontor = Kemandirian dana
4. Kebijakan Yayasan Pesantren Gontor = Panca Jangka
5. Sistem Pembelajaran =Tri pusat pendidikan (Pondok, rumah, masyarakat) dan
keteladanan oleh Kyai dan Para Guru
6. Fasilitas (sarana dan prasarana pendidikan)=Tepat : jumlah, waktu dan guna
Masyarakat
Sekitar
Pemerintah Pesantren
Setempat
BADAN WAKAF PONDOK PESANTREN
DARUSSALAM GONTOR
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Sebagai pimpinan Pesantren, KH, Hasan Abdullah sahal
sebagai slah satu pimpinan mengatakan bahwa seorang kyai selalu
berupaya berkomunikasi langsung dengan seluruh unsur dan
komponen Pondok, baik keluarga, guru, santri, maupun
masyarakat sekitar. Hal ini dilakukan untuk menekankan
pentingnya nilai-nilai, asumsi-asumsi, komitmen dan keyakinan,
serta tekad untuk mencapai tujuan. Dengan tetap
mempertimbangkan semua aspek yang akan muncul dari setiap
keputusan yang dibuat; positif maupun negatif. Ia memperlihatkan
kepercayaan pada cita-cita, keyakinan, dan nilai-nilai hidupnya.
Demikian pula ia selalu berusaha mentransformasikan seluruh
unsur yang ada di Pesantren dengan cara-cara yang tegas tetapi
santun. Karena ketegasan tanpa kesantunan akan menggagalkan
proses transformasi, dan akan berakibat pada kehancuran sistem
yang telah ditetapkan.
Selanjutnya, dalam setiap kesempatan Pimpinan Pondok
gontor, KH. Abdullah Syukri Zarkasyi juga senantiasa
menyampaikan untuk bekerja dan berbuat yang maksimal dalam
setiap tanggung jawab. Keteladanan inilah yang selalu ditunjukan
dan dijalankan oleh pimpinan dalam rangka memberikan contoh
yang baik, bagaimana seorang pemimpin seharusnya berbuat
untuk semua unsur yang ada dibawah kepemimpinannya. Karena,
pada hakekatnya semua pemimpin adalah pelayan bagi yang
dipimpinnya. Bukan sebaliknya, selalu minta dilayani oleh yang
dipimpinnya, atau dikenal dengan istilah feodalisme ala
Pesantren. Pimpinan Pondok Gontor selalu berusaha memimpin
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
dengan keteladanan. Ia juga menjabarkan setiap hikmah dari
seluruh kegiatan kurikuler, ekstra kurikuler, dan non-kurikuler
yang telah ditetapkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
proses pendidikan.
Alhasil, kepemimpinannya banyak dikagumi, dipercaya,
dihargai, dan semua unsur yang berada dibawahnya berusaha
mengindentikkan diri dengannya (proses duplikasi). Hal ini
disebabkan oleh perilaku menomorsatukan kebutuhan umum
daripada kebutuhan pribadi dan keluarganya, membagi risiko
secara konsisten, dan menghindari penggunaan kekuasaan untuk
kepentingan pribadi. Dengan demikian, seluruh unsur yang
terlibat dibawah kepemimpinannya termotivasi untuk
mengoptimalkan usaha dan pekerjaannya guna meraih tujuan
bersama. Di samping itu, juga berorientasi pada pencapaian visi,
misi, dan tujuan lembaga seperti perilaku komunitas Pesantren
yang senantiasa melandaskan pada peraturan yang ditetapkan
dalam setiap aktivitas.
Inilah sebenarnya hakekat kepemimpinan totalitas yang
dijalankan oleh Pimpinan Pondok Gontor. Bukan kepemimpinan
totalitas yang berarti mengambil seluruh tanggung jawab dan
keputusan yang akan melanggengkan otoritas kyai seakan tanpa
salah dan cenderung diktator. Akan tetapi, kepemimpinan yang
menguasai seluruh permasalahan dan mampu memberikan solusi
atas permasalahan yang terjadi. Karena yang dipimpin adalah
lembaga pendidikan yang mempunyai visi dan misi untuk
mencetak para pemimpin umat Islam maka pimpinan kemudian
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
membagi kekuasaannya kepada orang-orang yang memiliki
kredibilitas dan kapabilitas tinggi. Untuk selanjutnya dilakukan
transfer keteladanan dan pemaksimalan potensi diri dalam setiap
tanggung jawab agar bersama-sama meraih tujuan yang telah
ditetapkan.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, fungsi pertama dari
kepemimpinan dalam lembaga adalah bagaimana pemimpin dapat
memengaruhi bawahan untuk bekerja sama dalam mencapai
tujuan yang telah ditetapkan bersama. Melalui komunikasi
tersebut memungkinkan para pemimpin organisasi untuk
mempengaruhi dan memotivasi kerja bawahan. Komunikasi
adalah proses perpindahan pengertian dalam bentuk gagasan atau
informasi dari seseorang ke orang lain. Suatu proses yang
memberikan pengertian dan pemahaman melalui pengiringan
berita secara simbolis sehingga dapat menghubungkan para
anggota berbagai satuan organisasi yang berbeda. Proses ini juga
sering disebut sebagai rantai pertukaran informasi, yang meliputi
unsur-unsur: 1) suatu kegiatan untuk membuat seseorang
mengerti; 2) suatu sarana pengaliran informasi; 3) suatu sistem
bagi terjalinnya komunikasi di antara individu-individu. Selain
itu, komunikasi juga menjalankan empat fungsi utama di dalam
suatu kelompok atau organisasi yaitu, sebagai kendali (kontrol,
pengawasan), motivasi, pengungkapan emosional, dan informasi.
Ahmad Ghiyats Fawwaz, salah satu Guru KMI Pondok
Gontor Pusat menyatakan Pendidikan dalam lingkungan Pondok
Gontor begitu luas, bukan terpaku pada pengajaran di kelas,
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
penyampaian materi oleh guru, bukan sekedar itu. Itu hanya
sekelumit, sebagian kecil yang menjadi bagian dari pendidikan
Pondok Gontor yang luas dan total. Total yang dimaksud disini
adalah pendidikan yang melingkupi segala sisi kemanusiaan yang
bisa dikembangkan dan diperbaiki: sisi jasmani, sisi
intelektual/akal dan sisi akhlak. Bagaimana Pondok Gontor
mampu mensinergikan ketiga sisi tersebut dalam pola
pendidikannya, sehingga mampu mencetak manusia yang
memiliki kapabilitas dan etos kerja yang baik dalam segala sisi
kehidupan.
Untuk mencapai tujuan pendidikannya, menurut KH.
Abdullah Syukri Zarkasyi bahwa Pondok Gontor menerapkan
strategi pendidikan yang mana kehidupan Pondok dengan segala
totalitasnya menjadi media pembelajaran dan pendidikan itu
sendiri. Maka, unsur-unsur pembentuk Pesantren, baik
manusianya (kyai, guru, santri, dan pembantu Pondok lainnya),
maupun sarana dan prasarana fisik dan non-fisik, diarahkan untuk
mendukung penciptaan lingkungan pendidikan tersebut. Sehingga,
secara keseluruhan dirancang untuk kepentingan pendidikan yang
berbasis komunitas. Karena itu, Pondok ini menerapakan falsafah
bahwa segala yang didengar, dilihat, dirasakan, dikerjakan, dan
dialami para santri, bahkan seluruh penghuni Pesantren ditujukan
untuk mencapai tujuan pendidikan .
Sebagaimana K.H. Masyhudi Subari, Direktur KMI
Pondok Gontor, mengatakan bahwa sejak awal para pendiri
Pondok ini menyadari bahwa tujuan ideal pendidikan tersebut
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
tidak dapat dicapai seketika, tetapi membutuhkan proses yang
panjang. Maka, dirumuskan lima rencana strategis (Panca Jangka)
yang meliputi pendidikan dan pengajaran, kaderisasi,
pergedungan (insfrastruktur), pembiayaan, serta kesejahteraan
keluarga Pesantren. Semua program tersebut tidak lain menjadi
proses yang sengaja dibentuk dan ditetapkan. Untuk selanjutnya
dijalankan sebaik mungkin guna menjaga keberlangsungan prinsip
kemandirian Pondok Gontor yang harus disadari oleh warga
komunitas dalam Pesantren seperti kyai, guru/dosen, para santri,
dan keluarga guru.
Dalam hal ini para guru bertindak sebagai pembantu kyai,
pengajar dan pengasuh, juga manajer unit-unit usaha dan
pengurus lembaga di Pondok.Selain untuk menunjang kegiatan
pendidikan dan pengajaran, beberapa lembaga tersebut juga
diarahkan pada peningkatan kesejahteraan keluarga maupun guru.
Dengan cara ini maka biaya untuk kesejahteraan guru tidak
diambil dari SPP para santri, melainkan dari unit-unit usaha
tersebut. Selain SPP, semua hasil dari unit usaha (koperasi) yang
dikelola santri di bawah naungan Organisasi Pelajar Pondok
Modern (OPPM) tidak diperkenankan untuk digunakan sebagai
sumber pemasukan bagi kesejahteraan kyai atau guru di Pondok
Pesantren ini. Apa yang diusahakan para guru kembali kepada
para guru, dan apa yang dibayarkan serta diusahakan oleh santri
dikembalikan kepada santri. Jadi, di lembaga ini tidak dikenal
istilah “santri membayar gurunya.” Konsep ini menjadi penting
untuk menjamin kebebasan penerapan disiplin yang bertujuan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
membangun karakter santri dengan life skill yang cukup dan
pemantapan nilai-nilai kemandirian.
Pernyataan di atas sejalan dengan falsafah kelembagaan
yang ditanamkan oleh pendiri Pesantren, “Pondok adalah
lapangan perjuangan, bukan tempat mencari penghidupan,” atau
selaras dengan jargon, “Hidupilah Pondok dan jangan mencari
penghidupan dari Pondok” yang sering diungkapkan oleh
Pimpinan Pondok Gontor Abdullah Syukri Zarkasyi.
Proses pendidikan seperti itu harus didasari kesadaran
akan makna hidup dan kehidupan. Dalam hal ini, kyai selalu
menanamkan pandangan bahwa hidup haruslah bermakna, “hidup
sekali hiduplah yang berarti.” Hidup akan bermakna bila dapat
memberi manfaat bagi orang lain. Dengan begitu, semakin besar
manfaat seseorang bagi orang lain maka semakin besar nilai
kebaikan orang itu, “Sebaik-baik manusia ialah yang paling
bermanfaat untuk sesamanya,”. Dengan ungkapan yang berbeda
juga digaungkan jargon, “Berjasalah tapi jangan minta jasa.”
Artinya, hal yang penting itu adalah berbuat dahulu bagi
kemaslahatan orang banyak, dan biarkan orang yang akan
menilainya, bukan sebaliknya. Allah Swt. Berfirman yang artinya:
Dan Katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah dan
Rasul-Nya serta orang-orang Mukmin akan melihat
pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada
(Allah) yang mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu
diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.
)QS At-Taubah [9]: 105).
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Betapa pentingnya kesadaran akan nilai-nilai hidup ini
sehingga manfaat yang diperoleh oleh setiap santri ditentukan
oleh seberapa besar kesadarannya akan makna proses belajarnya.
Dengan kata lain, “Sebesar keinsyafanmu, sebesar itupula
keuntunganmu” dalam buku yang dikarang oleh Abdullah Syukri
Zarkasyi. Di samping itu, pola komunikasi yang dilakukan para
pimpinan bersifat direct dan indirect, massif atau personal, secara
umum maupun khusus. Komunikasi semacam ini dimaksudkan
sebagai kendali (kontrol, pengawasan), motivasi, pengungkapan
emosional, dan informasi.
Hal ini sebagaimana diungkapkan Pengurus Yayasan
Perguruan Tinggi UNIDA Gontor, Akrim Mariyat
“Kadang-kadang pimpinan Pondok, Kyai Abdullah Syukri
Zarkasyi datang ke rumah ustadz (rumah Pondok) untuk melihat
kondisi ril kebutuhan apa yang dianggap kurang, atau kondisi
rumah yang perlu diperbaiki. Sidak langsung ini tanpa
memberitahu penghuninya sebelumnya.”
Sebagai pemimpin Pesantren, kyai bertindak dengan cara
memotivasi dan memberikan inspirasi kepada bawahan melalui
pemberian arti dan tantangan terhadap tugas bawahan. Bawahan
diberi kesempatan untuk berpartisipasi secara optimal dalam hal
gagasan-gagasan, serta memberikan visi organisasi yang
menjanjikan harapan yang jelas dan transparan.
Dari sini diharapkan dapat meningkatkan semangat,
antusiasisme, dan optimisme, serta pengorbanan kelompok yang
akan menggerakkan dinamika positif dari seluruh kegiatan baik
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
kurikuler maupun ekstra kurikuler. Selain itu, dinamika kegiatan
yang beraneka ragam (kesenian, keterampilan, keorganisasian,
dan lain-lain) diharapkan akan membentuk etos kerja yang baik
demi tercapainya tujuan kegiatan-kegiatan yang ada.
Harapan-harapan itu menjadi penting dan bernilai bagi mereka,
dan perlu direalisasikan melalui militansi dan komitmen yang
tinggi, sekaligus dapat membentuk iklim kerja komunitas Pondok
Pesantren melalui kerja sama yang saling mendukung.
Skema Proses Pendidikan Dengan Kegiatan
Sumber. Slide KePondokmodernan, Tidak Diterbitkan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Selaras dengan visinya, Pondok Gontor adalah tempat
persemaian para pemimpin Islam masa depan. Di Pondok ini
banyak wadah organisasi sebagai lahan pelatihan para santri,
seperti Organisasi pelajar, cabang dan rantingnya, organisasi
kepanduan (Pramuka), dan lain sebagainya (KMI Ponorogo, 1997:
63). Berkaitan dengan kegiatan organisasi di Pondok Gontor,
Ustadz Suharto mengatakan bahwa semua lembaga, organisasi,
dan unit-unit usaha di Gontor dijalankan oleh para guru dan santri
sendiri dalam buku karangan Abdullah Syukri Zarkasyi. Oleh
karena itu, penugasan ini merupakan salah satu metode
pendidikan, di samping metode keteladanan, conditioning,
pengarahan, pembiasaan, dan tidak kalah pentingnya adalah
evaluasi.
Para santri kelas V dan kelas VI diberi kesempatan untuk
menjadi pengurus di berbagai organisasi intra. Organisasi intra
terdiri dari dua, yaitu OPPM (Organisasi Pelajar Pondok Modern)
dan Organisasi Pramuka. OPPM membawahi 18 seksi,
masing-masing seksi membutuhkan kurang lebih 10 pengurus dan
puluhan asrama, dan masing-masing asrama membutuhkan 10
pengurus yang terdiri dari Keamanan dan Penggerak Bahasa.
Sedangkan Organisasi Pramuka yang membawahi 6 seksi dan
puluhan regu Pramuka.
Penugasan dalam kepengurusan di Pesantren ini bersifat
totalitas, meski tetap ada kontrol dari kyai melalui staf
pengasuhan santri. Di samping itu, dalam berorganisasi
ditanamkan semboyan “Siap memimpin dan siap dipimpin.”
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Adapun menurut Mohammad Masruh Ahmad, salah
anggota badan wakaf Pesantren Gontor mengatakan bahwa santri
dilatih memimpin dan berorganisasi, sehingga jika pulang ke
masyarakat akan dapat memahami segala di sekitarmu dan
diharapkan dapat memimpin masyarakat.
Totalitas yang dimaksud bahwa semua pengurus harus
tahu dan mampu menguasai permasalahan yang ada di bagiannya
masing-masing, dan wajib berkoordinasi dengan bagian-bagian
lain dalam setiap gerak dan langkah yang dijalankan.
Inilah yang dikenal di Pondok Gontor dengan istilah “tidak
sektoral”. Dalam arti yang lebih luas, di Pondok ini semua ustadz,
pengurus, dan santri harus siap memimpin dan dipimpin.
Semboyan ini terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari
sehingga tidak mengherankan dan telah menjadi pemandangan
yang biasa ketika melihat ustadz merangkap sopir Pondok dan
melayani santri untuk keperluan makan dan lain sebagainya.
Selain itu, masing-masing organisasi diberi kesempatan
membuat dan membahas perencanaan dalam forum Musyawarah
Kerja (Muker) yang dilakukan di bulan Ramadhan. Muker ini
diikuti semua siswa kelas V, dan membahas program kerja OPPM
dan Koordinator Gerakan Pramuka berikut bagian-bagiannya.
Lain dari pada itu, para guru di Pesantren ini bersifat multi-fungsi.
Di samping mendidik dan mengajar, juga menjadi pengelola
berbagai lembaga dan unit usaha yang dimilki oleh Pesantren.
Menurut Akrimul Hakim, salah satu kader Pondok Gontor
mengatakan bahwa bagi guru dan santri, pengabdian dalam
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
berbagai organisasi atau unit usaha merupakan kepercayaan yang
harus dijaga semaksimal mungkin. Pengerjaan tugas-tugas itu
sangat bermanfaat bagi guru dan santri yang mengalami dan
melaksanakannya.
Guru dan santri juga diberikan pemahaman bahwa
kemanfaatan dari tugas-tugas yang mereka kerjakan itu kembali
kepada mereka sendiri. Bahkan, Kyai Syukri selalu menanamkan
nilai kepada mereka bahwa semua yang mereka perbuat itu untuk
kebaikan mereka sendiri. Hal ini sebagaimana yang diungkapan
oleh Budi Sukardi, salah satu alumni Gontor dan dosen IAIN Solo
(cek lagi iain, jika mereka bersyukur, berarti mereka telah
bersyukur untuk dirinya sendiri. Sebesar keinsayafan seorang
santri dalam menjalankan suatu tugas, sebesar itu pula
keuntungan yang akan diperolehnya.
Apa yang ditanamkan oleh Kyai Syukri merupakan wujud
dorongan seorang pemimpin kepada bawahan untuk memikirkan
kembali dan mencari, atau berinovasi menciptakan cara-cara kerja
baru dalam menyelesaikan tugasnya. Dengan begitu diharapkan
bawahan merasa bahwa pimpinan menerima dan mendukung
mereka dalam memikirkan cara-cara kerja mereka. Mencari
cara-cara baru dalam menyelesaikan tugas, dan merasa
menemukannya guna mempercepat tugas-tugas mereka. Pengaruh
positif ini lebih jauh menimbulkan semangat belajar yang tinggi.
Peter Senge disebut learning organization. Perilaku komunitas
Pesantren yang berani menanggung risiko ini dapat meningkatkan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
keahliannya melalui inisiatif, improvisasi, serta inovasi dalam
kerja tim.
Selanjutnya, gaya kepemimpinan totalitas ini dikemas ke
dalam format yang disebut seni memimpin. Seni memimpin
adalah seni untuk menggerakan orang lain dalam mencapai tujuan
yang sudah ditentukan. Keterampilan inilah yang dijalankan oleh
Pimpinan dalam memimpin Pondok Pesantren.
Format ini diwujudkan juga dalam bentuk delegasi
kepemimpinan. Dalam arti, Pimpinan Pondok sangat paham
mengenai wewenang mana yang harus didelegasikan pada
bawahannya dan mana yang tidak boleh didelegasikan; mana yang
bisa didelegasikan, dan kapan harus ditangani sendiri secara
langsung dan menguasai seni dan Keterampilan mendelegasikan
beberapa tugas penting kepada para staf dan lembaga pendidikan
yang ada Pondok tersebut. Misalnya, untuk urusan kesejahtraan
guru dan keluarganya, beliau akan terjun langsung dan tidak
mewakilkan pada siapa pun. Akan tetapi, dalam urusan
pengasuhan santri selama 24 jam, beliau mendelegasikan kepada
para staf dan lembaga yang ada di bawahnya.
Staf pengasuhan santri adalah lembaga yang mendidik dan
membina langsung seluruh kegiatan ekstra-kurikuler santri tingkat
menengah (KMI), dan membawahi DEMA (Dewan Mahasiswa)
sebagai santri tingkat perguruan tinggi (ISID/UNIDA). K.H
Abdullah Syukri Zarkasyi mengemukakan bahwa kegiatan santri
tingkat menengah mencakup kegiatan-kegiatan yang
diselengarakan oleh Organisasi Pelajar Pondok Modern (OPPM)
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
dan Organisasi Kepramukaan. Sedangkan kegiatan santri tingkat
perguruan tinggi (mahasiswa) adalah kegiatan yang dikelola oleh
Dewan Mahasiswa. Selain itu, beberapa kegiatan pengajaran di
tingkat KMI juga ditangani oleh Pengasuhan santri, dan begitu
sebaliknya. Semua itu merupakan integrasi pendidikan dan
pengajaran di Gontor dalam Seminar Jakarta Design Center.
Berdasarkan deskripsi di atas diambil kesimpulan bahwa
gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh Kyai di Pondok Gontor
dalam menyelenggarakan program pendidikan karakter adalah
gaya kepemimpinan totalitas. Dalam arti, seorang pemimpin harus
mau dan mampu mencurahkan waktu serta pikirannya untuk
kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dan keluarganya.
Pemimpin juga harus mampu mengidentifikasi dan menyelesaikan
seluruh permasalahan serta menyelesaikannya, baik secara sendiri
ataupun di delegasikan kepada lembaga-lembaga dibawahnya
Setidaknya ada beberapa strategi yang dikembangkan oleh
Kyai di Pondok Gontor dalam rangka membangun karakter santri,
di antaranya:
a. Mengembangkan keteladanan dan berbahasa santun. Kyai
selalu menjadi suri tauladan dalam menggunakan bahasa yang
sederhana, sopan, dipahami oleh seluruh guru, santri, dan
masyarakat sekitar. Hal ini dilandasi oleh sikap kesederhanaan
yang menjadi salah satu dari panca jiwa Pesantren.
Bahasa santun kyai tersebut diwujudkan juga dalam
kehidupan yang sederhana. Kesederhanan dalam berucap dan
bertingkah laku menjadi strategi efektif dalam pembentukan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
karakter santri. Kosep kesederhanaan yang dipegang dan
dijalankan oleh pimpinan adalah “Sederhana bukan berarti
miskin”. Dalam arti, sederhana itu sesuai kebutuhan.
Kesederhanaan dan kesopanan dalam berbahasa santun juga
ditanamkan dalam latihan berpidato dalam tiga bahasa. Praktik
ini dijalankan secara rutin seminggu sekali dengan agenda yang
bergantian; Ahad malam bahasa Inggris, Kamis siang bahasa
arab, dan kamis malam bahasa Indonesia. Proses latihan ini
akan membentuk santri, bukan hanya berani maju ke atas
podium, tetapi juga mampu membawa massa dan
menyampaikan isi pidato mereka dengan baik, sebagaimana
teori pendidikan berbahasa santun yang digagas oleh Sofyan
Sauri.
b. Gaya kepemimpinan yang diterapkan dan dalam
mengaplikasikan visi dan misi Pesantren melibatkan seluruh
personil. Kegiatan dan program ini diimplimentasikan dan
dikontrol secara berjenjang. Kyai membagi kekuasaan dan
kewenangannya kepada staf pengasuh untuk membuat program
dan mengontrol pelaksanaan program/ kegiatan yang telah
dicanangkan. Kemudian, pengasuh membagi kekuasaan dan
wewenangnya kepada guru untuk mengajar dan mendidik
sesuai bidangnya. Dan guru membagikan wewenang dan
kekuasaannya kepada santri senior. Seterusnya, santri senior
membagikan kekuasaan dan wewenang untuk membina dan
mengorientasi santri yunior.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Berjenjangnya sistem ini telah membentuk kemampuan
para santri untuk berorganisasi dengan baik. Dimulai dari
organisasi terkecil seperti kelas dan kamar, meningkat ke
organisasi asrama, klub bahasa dan olahraga, organisasi santri
(OPPM) dan organisasi mahasiswa (santri senior), dan
dilibatkan pula dalam organisasi YPPWPM, unit-unit usaha,
dll. Bahkan, dalam beberapa kesempatan diagendakan
pelatihan-pelatihan, seminar, dan diskusi interaktif guna
memperluas dan memperdalam wawasan keilmuan serta
keterampilan berorganisasi, seperti jurnalistik, manajemen
organisasi, photografi, dan lain sebagainya.
Para santri dituntut untuk mempunyai prestasi yang lebih
dari pengurus sebelum mereka. Inilah yang kemudian menjadi
pemicu para santri untuk mengeluarkan seluruh kemampuan
mereka secara maksimal guna mencapai prestasi yang lebih
baik dari pendahulu mereka.
Menurut KH. Heru Saiful Anwar, alumni Gontor yang
sekarang menjadi salah satu Pimpinan di Pesantren Wali
Songo Ngabar mengatakan bahwa di Pondok Pesantren
Gontor terdapat berbagai macam kegiatan yang diciptakan agar
menjadi sarana pendidikan mental bagi santri/santriwati.
Pendidikan mental yang dimaksud bukan hanya sebatas mental
yang berarti fisik melainkan juga mental spiritual dan
intelektual serta emosional yang ada pada dirinya. Dari
pendidikan inilah terbentuk kepribadian yang berkarakter dan
memiliki mental yang kuat dan handal. Melalui proses yang
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
panjang dan usaha yang tiada hentinya, dan kelak Pondok
Gontor berhasil menghasilkan benih – benih calon pemimpin,
paling tidak calon pemimpin keluarga ata orangtua yang akan
melahirkan para pemimpin dan pejuang yang bermanfaat bagi
keluarga, agama, bangsa dan negara. Keberhasilan ini terbukti
dengan adanya prestasi yang diraih alumni.
Adapun karakter yang diajarkan Pesantren Gontor
menurut Akbar Zainudin sebagai Pengelola lembaga pelatihan
Man Jadda Wajada Education, di antaranya adalah pantang
menyerah. Pesantren mengajarkan para santrinya menjadi
tangguh, tidak cengeng, dan terus bangkit jika mengalami
kegagalan. Contoh sederhana, kalau di sekolah umum atau
Pesantren lain tidak naik kelas terus keluar, di Pesantren
Gontor ada beberapa kawan yang tidak naik kelas hampir
setiap tahun, tetapi tetap terus berjuang di tahun berikutnya di
kelas yang sama. Karakter pantang menyerah dan kemampuan
para santri untuk bangkit dari keterpurukan menjadikan mereka
tangguh saat hidup dalam dunia nyata di masyarakat.
Kemampuan inilah yang membuat santri bisa bertahan hidup,
dalam berbagai keadaan, sesulit apapun.
Semua kegiatan di atas merupakan salah satu bentuk
proses pendidikan dalam rangka membina pribadi-pribadi yang
bertanggung jawab terhadap amanah yang diembannya. Para
santri yang menjadi pengurus diharapkan dapat membentuk
karakter santri yang kuat dan tangguh menghadapi tantangan
zaman serta tidak gampang menyerah.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Gaya kepemimpinan model religio-paternalistic yang
dipraktikkan kyai Pondok Gontor secara situsional dan totalitas
ini terbukti berhasil dalam melaksanakan kemimpinan bertingkat,
serta mampu menghasilkan santri-santri yang berkarakter kuat,
disiplin, dan memiliki integritas di dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini sesuai dengan teori perilaku pemimpin menurut Gary
Yulk, teori keterampilan, seni memimpin, dana teori tentang
karakteristik dasar kepemimpinan yang digagas oleh syafii
Antonio.
Di samping itu, gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh
Kyai Pondok Gontor dalam pendidikan karakater ini memberikan
pengertian bahwa kyai atau pimpinan Pondok Pesantren tidak
hanya mengajarkan akidah, tafsir, hadis, atau pelajaran lainnya.
Tetapi secara total terlibat penuh dalam kehidupan santri dan para
guru di Pondok Pesantren tersebut. Seperti Pimpinan Pondok
Gontor, selain sebagai manager, beliau juga berperan sebagai
model dan tauladan bagi semua staf, para guru, dan semua santri
dan santriwati di Pondok Pesantren tersebut.
Pimpinan Pondok Gontor sangat menyadari bahwa guru
memiliki peran kunci dalam meningkatkan kualitas pendidikan
karakter di Pondok tersebut. Jika keluarga guru tidak sejahtera
maka konsentrasi dan perhatian guru tersebut akan mengganggu
proses belajar-mengajar di Pondok. Beliau sangat memahami
bahwa urusan kesejahtraan guru beserta keluarganya tidak bisa
didelegasikan pada siapa pun, tetapi harus menanganinya secara
langsung.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Dari Hasil wawancara dengan KH. Abdullah Syukri
Zarkasyi, beliau mengharapkan agar santrinya juga memiliki visi,
kemampuan, dan keahlian, serta tindakan mendahulukan
kepentingan organisasi dan orang lain (masyarakat) daripada
kepentingan pribadi, serta menjadi sumber ketenteraman bagi
sesama. Karena itu, ia menjadi pemimpin kharismatik yang
dijadikan suri tauldan, idola, dan model panutan bagi
bawahannya. Sehingga terbentuk perilaku komunitas Pesantren
dalam membangun kualitas jaringan kerja (network) sebagai
representasi kepatuhan terhadap kyai seperti perilaku kedisiplinan,
semangat, dan komitmen untuk mencapai tujuan organisasi yang
telah disepakati bersama.
Totalitas kepemimpinan Pimpian Pondok Gontor juga
diwujudkan langsung dalam bentuk ketauladanan berucap,
bersikap, dan bertindak, sebagaimana teori berbahasa santun yang
dikemukakan oleh Sofyan Sauri. Ia menyatakan bahwa pemimpin
harus memberikan keteladanan dalam berbahasa santun, dan
menggambarkan bahasa santun itu dalam 24 point soft skill yang
harus dimiliki oleh pemimpin, yaitu: benar, jujur, baik, lurus,
halus, sopan, pantas, penghargaan, khidmat; optimisme, indah,
menyenangkan, logis, fasih, terang, tepat; menyentuh hati,
selaras, mengesankan, tenang; efektif, dermawan, lemah lembut,
dan rendah hati.
Gaya kepemimpinan dengan 24 keterampilan soft skill
kepemimpinan dari Sofyan Sauri itu terangkum dalam tujuh nilai
yang dikemukakan oleh Achmad Sanusi, di antaranya: nilai etis,
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
estetis, logis, theologies, teleologis, ekonomis dan nilai fisik.
Dengan meminjam istilah dalam budaya Sunda, nilai-nilai itu
diungkapkan dengan kalimat, cageur, baguer, bener, pinter dan
takwa pada Allah.
Selain itu, gaya kepemimpinan totalitas Pimpinan Pondok
juga diwujudkan dalam bentuk gaya kepemimpinan demokratis,
partisipatif, situasional, dan transaksional. Misalnya, dalam setiap
pembuatan keputusan penting, KH.Abdullah Syukri membuat
sistem keputusan kolektif. Keputusan penting tersebut harus
disetujui minimal oleh satu orang dari dua orang pimpinan
Pesantren lainnya, yaitu K.H. Hasan Abdullah Sahal dan K.H.
Syamsul Hadi Abdan. Jika dua orang sudah memutuskan sebuah
perkara maka satu pimpinan lainnya harus menyetujui keputusan
keduanya tanpa syarat. Akan tetapi, saat ini ketidakhadiran dan
kendala komunikasi bisa diatasi dengan baik sehingga keputusan
dapat diputuskan bersama oleh ketiganya meski salah seorang
pimpinan sedang tidak berada di Pondok Pesantren. Pola
pengambilan keputusan kolektif tersebut dirancang untuk
menghindari pola kepemimpinan otoriter. Jadi, semua keputusan
di lembaga Pondok tersebut bisa dilakukan dengan demokratis.
Kepemimpinan totalitas juga diwujudkan dalam bentuk
kepemimpinan partisipatif. Beberapa orang pilihan ditempatkan
pada posisi pimpinan enam lembaga, yang dalam tugas hariannya
berada di bawah kepemimpinan K.H. Abdullah Syukri dan K.H.
Hasan Abdullah Sahal, sebagai mandataris Badan Wakaf Pondok
Modern Gontor.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Keenam lembaga tersebut adalah: UNIDA, KMI,
Pengasuhan Santri, YPPWPM, PLMPM, dan Pengasuh
Pondok-Pondok cabang Gontor. Keenam pimpinan lembaga
tersebut diberikan kewenangan untuk memimpin masing-masing
lembaga dengan konsep self government, tetapi control dan
monitoring kualitas tetap dipegang pimpinan pusat. Sementara itu,
kepemimpinan totalitas yang menjelma bentuk kepemimpinan
transaksional, misalnya Kyai melakukan berbagai kerjasama dan
kesepakatan dengan berbagai lembaga di dalam dan di luar negeri.
Kyai melakukan kerjasama (MoU) dengan Universitas Al-Azhar
pusat di Kairo Mesir, Madinah, Pakistan, dan lainnya untuk
pengembangan beasiswa dan pengkaderan calon pimpinan di
lembaga-lembaga atau Pondok-Pondok cabang tersebut di atas.
Sedangkan sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat di luar
Pondok, Kyai juga berperan sebagai konsultan dan penasihat di
Kementrian Agama (Ketua MP3A: Majelis Pertimbangan
Pendidikan dan Pengajaran Agama, tahun 1999 sampai sekarang;
Dewan Penasihat MUI Pusat, dan lain-lain).
Secara keseluruhan, gaya kepemimpinan totalitas yang
dikembangkan oleh pimpinan Pesantren Darussalam Gontor bisa
digambarkan seperti pada Gambar di bawah ini :
Cakupan, Tujuan, Identitas, Sasaran
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
P
r
i
b
a
d
i
K
e
l
u
a
r
g
a
D
u
n
i
a
K
e
r
j
a
M
a
s
y
a
r
a
k
a
t
P
a
r
t
a
i
P
o
l
i
t
i
k
Orga
nisas
i
Profe
siona
l.
P
e
m
e
r
i
n
t
a
h
B
a
w
ah
an
A
ll
ah
Gaya
kepemimpinan
Totalitas (24
point soft skill
Kepemimpinan
, 7 Nilai
Kehidupan
(Achmad
Sanusi)
V V V V V V V V V
Scope Implementasi Gaya kepemimpinan Totalitas
Pimpinan Pondok Gontor.
Jika kita perhatikan gambar di atas, tampak bahwa
implementasi gaya kepemimpinan kyai seperti Kyai Syukri, dalam
pendidikan karakter secara total menyentuh diri dan keluarganya
sekaligus teladan bagi Pondok yang dipimpinnya. Hal ini
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
terimplementasikan dalam kehidupan masyarakat di sekitarnya,
dan ternegosiasikan dalam dunia kerja, partai politik,
pemerintahan, dan berbagai lembaga pendidikan Islam. Semua itu
merupakan perwujudan dari hubungan terhadap Allah Swt.
Berikut adalah skema kontrol kualitas terpadu yang
dijalankan oleh Pimpinan Pondok Gontor:
Skema Kontrol Kualitas Terpadu
Sumber: Tesis Andi Arifianto, UI, Tidak Diterbitkan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Jika kita hubungkan gaya kepemimpinan totalitas dengan
hasil analisa di atas, ada beberapa hal yang perlu mendapat
perhatian:
a. Pengkultusan masyarakat terhadap seorang pemimpin yang
diidolakan bisa mengarah kepada hal-hal syirik. Tradisi bangsa
Indonesia yang masih berbau animisme, hinduisme, dan
budhaisme biasanya menganggap pribadi dan roh pemimpin
yang diidolakan bisa memberikan rahmat dan pertolongan
sehingga kelak makamnya tetap diziarahi banyak penganutnya.
b. Model totalitas kepemimpinan yang diwujudkan dalam bentuk
metode pembelajaran yang total juga (Boarding school/ sistem
asrama siswa) dapat menimbulkan kejenuhan belajar siswa
sehingga banyak siswa yang keluar di tengah jalan.
c. Dengan adanya sistem teknologi informasi dan globalisasi
informasi, lambat laun pengaruh negatif budaya barat bisa
masuk dan menerobos benteng kehidupan sosial masyarakat
Pondok Pesantren Gontor.
Sentralisasi ketenaran dan tauladan kyai sebagai pimpinan
pusat Pesantren dapat mengalahkan Pesantren cabang.
Sehingga Pesantren cabang tidak terlalu diminati siswa karena
mereka akan berusaha masuk Pondok Gontor pusat. Gejala ini
sudah dirasakan oleh beberapa Pesantren cabang Gontor.
Maka, untuk memenuhi animo masyarakat memasukkan
putra-putrinya di Pondok Gontor, didirikanlah Pondok-Pondok
cabang yang tersebar di beberapa daerah di pulau Jawa,
Sumatera, dan Sulawesi. Pondok-Pondok cabang yang ada di
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
pulau Jawa tidak membuka pendaftaran santri, tetapi menerima
santri langsung dari Pondok Gontor Pusat melalui seleksi tes
masuk. Kebijakan ini tidak berlaku bagi Pondok-Pondok
cabang yang berada di pulau Sumatera dan Sulawesi.
Pengambilan kebijakan ini agar tidak mengganggu “pasar”
calon santri yang akan mendaftar di Pondok-Pondok Alumni
Gontor yang tersebar di seluruh Indonesia.
Pola kehidupan yang telah terbentuk dalam sebuah sistem
kehidupan dan kepemimpinan totalitas di Pondok Gontor yang
sangat mewarnai kehidupan para santri, guru, dan masyarakat,
akhirnya berimplikasi pada tingginya motivasi untuk dapat
masuk ke Pondok Gontor pusat di Ponorogo. Fenomena ini
mengakibatkan menurunnya minat calon santri untuk
mendaftar di Pondok-Pondok Alumni yang tersebar di seluruh
Indonesia, dan bahkan di luar negeri.
d. Adanya sistem totalitas dalam belajar di lingkungan Pondok
Gontor bisa memutus kesempatan siswa untuk balajar dari
masalah di dalam kehidupan nyata dengan masyarakat sekitar.
Padahal, kehidupan di dalam lingkungan Pondok pasti sangat
jauh berbeda dengan kehidupan di dunia nyata dalam
kehidupan masyarakat luas. Namun demikian, seharusnya
semua kekhawatiran ini dapat diatasi dengan berbagai
kelebihan dan peluang yang dimiliki Pondok Gontor.
B. Sistem Pembelajaran dan Metode Dalam Proses
Pendidikan Karakter di Pondok Gontor
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Berkaitan dengan strategi pembinaan, ada beberapa
strategi pembinaan santri yang tidak sekadar diperuntukkan bagi
santri, tetapi untuk siapa saja yang bernaung di lingkungan
kampus Pondok Gontor, sebagaimana tampak dalam tabel di
bawah ini:
Sistem Pembelajaran Karakter Santri Pondok Gontor
NO SISTEM FOKUS
1 Keteladanan Penonjolan sikap teladan dari
para kyai, guru, pengasuh, dan
santri
2 Penciptaan
Lingkungan
Semua yang dilihat, didengar,
dikerjakan, dan dialami
sehari-hari harus mengandung
unsur pendidikan
3 Pengarahan Kegiatan-kegiatan diawali
dengan pengarahan, terutama
tentang nilai-nilai pendidikan
yang terkandung di dalamnya.
4 Pembiasaan Menjalankan program-program
pendidikan dari yang ringan ke
yang berat dengan disiplin
tinggi. Terkadang pemaksaan
juga diperlukan
5 Penugasan Pelibatan dalam
penyelenggaraan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
kegiatan-kegiatan kependidikan
Pondok Gontor menerapkan totalitas pendidikan dengan
mengandalkan keteladanan, penciptaan lingkungan, pengarahan,
pembiasaan, dan penugasan dalam berbagai kegiatan. Sehingga,
semua yang dilihat, didengar, dirasakan, dan dikerjakan oleh
santri merupakan bagian dari pendidikan. Selain menjadikan
keteladanan sebagai metode pendidikan utama, penciptaan
lingkungan juga sangat penting. Lingkungan pendidikan juga turut
menjadi penentu proses pendidikan. Penciptaan lingkungan ini
dilakukan melalui penugasan, pembiasaan, pelatihan, pengajaran,
dan pengarahan. Dengan begitu, seluruh santri pernah merasakan
dipimpin dan memimpin sebuah kegiatan, dan belajar dari
penugasan yang ada untuk membentuk karakter kuat dalam diri
mereka.
Pembelajaran karakter di Pondok Gontor bisa dipahami
dari poin - poin berikut:
1) Pembelajaran Karakter Dengan Keteladanan
Menurut salah satu pimpinan Pondok Gontor, K.H. Hasan
Abdullah Sahal, pendidikan di Pondok Gontor lebih banyak
ditanamkan dan ditularkan secara tidak formal; tidak sekadar
ceramah, pengarahan, penataran, diskusi, pengajian, dan
sejenisnya. Justru transformasi pendidikan lebih banyak dilakukan
melalui pembelajaran dengan keteladanan dan pembiasaan.
Seperti berbagai aktivitas mulai dari pergi ke masjid dan ke kelas,
mengadakan pelatihan, mengurus organisasi, bertisipasi dalam
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
kegiatan asrama, hingga ikut kepanitiaan musyawarah rayon, dan
lomba. Bahkan, pendidikan juga mereka terima dari proses
menjalani segala hukuman yang diberikan Pesantren serta
mendapatkan kepercayaan untuk menjadi pembimbing beberapa
kegiatan. Lebih dari itu, seorang ustadz pun tidak pernah
menuntut balasan dan jasa atas loyalitas dan usahanya selama di
Pesantren kecuali hanya mencari ridha Allah Swt.
2) Pembelajaran Karakter Santri Melalui Penugasan dan
Pengasuhan
Salah satu lembaga pendidikan Pondok Gontor adalah staf
Pengasuhan Santri. Pengasuhan Santri adalah lembaga yang
mengatur kedisiplinan serta tatanan kehidupan santri dan
berjalannya Pondok secara menyeluruh. Lembaga ini ditangani
langsung oleh K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi, M.A, K.H. Hasan
Abdullah Sahal, dan K.H. Syamsul Hadi Abdan, selaku pimpinan
dan pengasuh Pondok Gontor, dibantu oleh beberapa orang staf
guru senior. Selain itu, lembaga ini khusus mengurusi
kepengasuhan santri di bidang ekstra kurikuler, baik santri yunior
(kelas 1-6) maupun santri senior (Guru). Setiap siswa yang telah
mendudi kelas V dan VI wajib menjadi bagian dari kegiatan
kepengasuhan, baik menjadi pengurus salah satu organisasi
maupun menjadi guru kelas “Pelajaran Sore.” Lembaga ini
membawahi tiga organisasi santri: a) Organisasi Pelajar Pondok
Modern (OPPM), yaitu organisasi siswa KMI; b) Koordinator
Gerakan Pramuka Gugus Depan Pondok Modern Darussalam
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Gontor; c) Dewan Mahasiswa (DEMA), atau organisasi untuk
mahasantri Institut Studi Islam Darussalam (ISID).
Kemudian, setelah lulus dari KMI dan jika terpilih
menjadi guru maka selain menjalankan aktivitasnya sebagai guru
mereka wajib pula melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi di
UNIDA Gontor. Mahasiswa di kampus ini tidak dipungut biaya
sama sekali, tetapi wajib mengajar dari kelas I-VI pada pagi hari
di luar jam kuliah. Karena jam perkuliahan untuk para
guru-mahasiswa pada sore dan malam hari. Mereka mengajar,
kuliah, dan membantu Pondok sebagai bentuk pengabdian dan
pengembangan diri.
Melalui staf Pengasuhan Santri dan seluruh jajaran
kepengurusan di bawahnya, Kyai di Pesantren Gontor
mengajarkan dan membimbing para santri untuk bersosialisasi
dengan membentuk masyarakat sendiri melalui organisasi di
dalam Pondok. Mulai dari ketua asrama, ketua kelas, ketua
kelompok, organisasi intra/ ekstra, hingga ketua regu pramuka.
Sedikitnya ada 1.500 jabatan ketua yang selalu berputar setiap
pertengahan tahun atau setiap tahun. Di sanalah mereka
membiasakan diri berkarakter jujur, seperti mengelola koperasi,
sopan dan pantas, rendah hati dalam melayani tamu; tenang dan
lemah lembut dalam mengurus dan membina adik-adik kelas; dan
memberikan penghargaan bagi mereka yang telah membantu
kegiatan atau organisasi yang ada di Pesantren. Berikut adalah
bagan struktur organisasi di Pondok Gontor.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Menurut Imam Hariyadi dari Bandung, salah satu alumni
KMI dan UNIDA Gontor, bahwa sistem asrama (Pesantren) tetap
dipertahankan oleh K.H. Imam Zarkasyi. Selain tidak
meninggalkan ciri khas Pesantren, juga dimaksudkan agar tujuan
dan asas pendidikan dapat dibina dan dikembangkan secara lebih
efisien dan efektif. Karena sistem asrama sangat mendukung
penciptaan “Rekayasa lingkungan” dan selaras dengan filsafat
rekonstruksionisme. Sehubungan dengan pencapaian tujuan dan
berjalannya sistem pendidikan tersebut, jam-jam belajar di
Pondok Gontor diatur secara ketat, bahkan demi kepentingan ini
pula para santri tidak diperkenankan memasak sendiri.
Begitu juga pendapat Staf Pengasuhan Pesantren Putri
Pondok Gontor, Ruhlas Fatniary Rumamna menyatakan bahwa
Pesantren yang dengan sistem asrama penuh, yang dimana baik
santri/santriwati ataupun ustadz/ustadzah semuanya berada di
dalam asrama, sehingga kapanpun ketika seorang anak /santriwati
membutuhkan bimbingan dari para ustadz/ustadzah bisa langsung
bertemu dan berkonsultasi kepada beliau. dan pada ujungnya akan
memperkuat penanaman jiwa Pondok dan pendidikan karakter di
Pondok sehingga dapat menjadi pegangan hidup. Sistem
pendidikan di kelas dan di luar kelas berlangsung integral; guru di
kelas adalah juga guru pembimbing diluar kelas, pembimbing
asrama dan pembimbing seluruh kegiatan yang ada di Pondok
yaitu pengasuhan santri sampai ke pimpinan Pondok yang selalu
membimbing, membina, mengarahkan, sehingga pendidikan yang
diberikan anak / santriwati tidak berhenti hanya di pertemuan –
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
pertemuan di dalam kelas tetapi terus berlanjut diluar kelas dan
setiap lini kehidupan santriwati begitu juga di Pondok Gontor
Putra.
Pendapat lain, Ahmad Zumaro, alumni PPs UIN Syarif
Hidayatullah mengatakan bahwa Pesantren dengan menggunakan
sistim “boarding” merupakan salah satu karekteristik dasar dari
sistim pendidikan Pesantren yang dikenal dengan sistim santri
mukim. Adanya “lokalisasi” ini adalah agar santri dapat lebih
fokus dalam mempelajari ilmu pengetahuan baik pengetahuan
agama maupun umum serta mengamalkannya dalam masyarakat
kecil yang dibentuk agar menjadi sebuah kebiasaan baik yang
akan terimplementasi dalam masyarakat luas dan dengan
lokalisasi ini juga santri tidak mudah terpengaruh oleh “virus”
yang akan merusak akhlak para santri.
Kegiatan para santri sehari-hari diawali dengan bangun
pagi, sembahyang subuh secara berjamaah, dan membaca
al-Quran. Usai mengaji dilanjutkan pengayaan kosa kata bahasa
Arab dan Inggris sesuai dengan jadwalnya (dua minggu bahasa
Arab dan dua minggu bahasa Inggris) yang dilakukan oleh para
tutor (baca: pengurus asrama) atau santri senior. Setelah itu, para
santri segera harus menyiapkan waktu untuk belajar di kelas, dari
pukul 07.00 sampai dengan pukul 12.30 dengan dua kali waktu
istirahat.
Selepas dari kelas, semua santri harus shalat zuhur
berjamaah baik di masjid untuk kelas 5 dan 6, maupun di
kamar-kamar asrama. Shalat berjamaah ini bertujuan mendidik
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
para santri menjadi imam shalat dan muazin. Dilanjutkan dengan
makan siang secukupnya. Pukul 14.00 tepat bel berbunyi untuk
menandai kegiatan pelajaran sore bagi santri kelas I - IV dengan
bimbingan santri kelas V dan VI selama satu jam atau sampai
adzan ashar berkumandang. Setelah shalat ashar berjamaah, santri
baru diperbolehkan melakukan kegiatan ekstra-kurikuler, seperti
olahraga, kesenian, keterampilan, dan sebagainya. Untuk ini
mereka bebas memilih kegiatan sesuai dengan minat dan bakat
yang dimiliki masing-masing.
Totalitas kehidupan islami di Pondok Gontor dengan
segala aktivitas dan kegiatannya yang demikian padat itu terus
berlangsung di Pondok Gontor hingga saat ini. Hal itu
berlangsung secara alamiah melalui disiplin yang ketat tanpa ada
peraturan tertulis. Peraturan harus diproses menjadi bagian dari
kesadaran, pikiran, dan naluri atau dhamir (baca: hati kecil) yang
selanjutnya dijadikan pedoman santri untuk membangun
kehidupan sosialnya di dalam Pesantren.
Pada dasarnya tugas Pengasuhan Santri bukan hanya
menangani masalah disiplin santri, melainkan menjadi pembina
organisasi, pembina disiplin, dan pembimbing santri. Organisasi
Pelajar Pondok Modern (OPPM) dan Koordinator Gerakan
Pramuka merupakan tanggung jawab langsung staf Pengasuhan
Santri sebagai kepanjangan tangan dari Pengasuh dan Pimpinan
Pondok Gontor. Untuk itu, semua kegiatan yang diadakan OPPM
dan Kepramukaan di bawah kendali dan bimbingan pengasuhan
santri, seperti Musyawarah Kerja OPPM dan Koordinator
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Pramuka di bulan Ramadhan, Musyawarah Kerja rayon, dan lain
sebagainya. Selain itu, pengasuhan santri menjadi pengendali
disiplin bagi santri selama 24 jam, baik secara langsung maupun
melalui pengurus OPPM, Koordinator dan rayon-rayon (asrama).
Dalam hal disiplin, menurut Aryamer, salah seorang
alumni Gontor yang pernah menjadi staf Pengasuhan Santri
Pondok Gontor mengatakan bahwa pimpinan Pesantren melaui
staf pengasuhan santri lebih mengedepankan pendekatan
kesadaran dan tindakan preventif, serta meminimalkan hukuman
fisik. Sehingga jalannya disiplin santri menjadi lebih baik dan
terarah tanpa unsure kekerasan di dalamnya. Ia juga mengatakan,
dalam pembinaan karakter santri, kyai, melalui staf Pengasuhan
Santri, memiliki inisiatif tinggi untuk melakukan perubahan,
menciptakan inovasi, serta berperan memberikan bimbingan dan
penyuluhan bagi para santri. Untuk lebih mengintensifkan
penanganan disiplin, bimbingan, dan penyuluhan, pengasuhan
santri membentuk tim musyrif (pembimbing) dalam berbagai
bidang. Pembimbing kelas lima dan enam, pembimbing latihan
pidato (muhadharah) dan diskusi, konsulat, rayon-rayon,
pelajaran sore, bahasa, dan kelompok olahraga dan kesenian.
Masing-masing pembimbing berperan langsung dalam menangani
dan memberikan solusi atas berbagai permasalahan santri .
Adapun kegiatan Pengasuhan Santri selama satu tahun
ajaran adalah sebagai berikut:
 Kegiatan Harian/Mingguan: (1) Melaksanakan ujian
imamah untuk siswa kelas VI di tiap-tiap rayon pada
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
waktu shalat subuh dan shalat Isya pada hari Sabtu, Senin,
dan Rabu; (2) Mengadakan evaluasi mingguan bagi
segenap anggota OPPM dan Koordinator Gerakan
Pramuka; (3) Mengadakan tau’iyyah diniyah setiap hari
Senin dan Rabu oleh guru-guru KMI; (4) Menyusun
jadwal imamah shalat jamaah bagi siswa kelas VI di
masjid jami’; (5) Mengadakan tajaddud imamah setiap
hari untuk siswa kelas VI yang bertugas menjadi imam di
masjid jami’; (6) Mengadakan koordinasi dengan staf
KMI dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran
santri; (7) Membimbing dan membantu santri dalam
menyelesaikan masalah.
 Kegiatan Bulanan: (1) Menghadiri rapat koordinasi
antarbagian OPPM untuk menciptakan keharmonisan
antarpengurus bagian; (2) Memeriksa laporan bulanan
OPPM.
 Kegiatan Tengah Tahunan/Tahunan: (1) Membentuk
panitia penjemputan santri pada akhir masa liburan, yang
bertugas menyambut kedatangan para santri di terminal bis
di Ponorogo dan stasiun kereta api di Madiun; (2)
Mengadakan pengecatan dan perbaikan sarana dan
prasarana pendidikan di Pondok bekerja sama dengan
bagian pelaksana pembangunan Pondok Darussalam
Gontor; (3) Menulis raport mental pada tiap semester.
3) Pembelajaran Karakter Melalui Pembiasaan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Seluruh santri, tanpa terkecuali harus membiasakan untuk
melaksanakan dan mengaplikasikan seluruh ilmunya dalam
kehidupan sehari-hari. Semua santri dibiasakan bangun pagi,
sembahyang subuh, wirid, dan sorogan di pagi hari. Dari pagi
sampai sore melakukan kegiatan pembelajaran bersama-sama para
guru. Sore hari menjalankan kegiatan ekstra-kurikuler, dan
dibiasakan untuk sembahyang berjamaah di masjid.
Untuk meningkatkan kualitas santri dalam berbicara dua
bahasa asing, semua santri dibiasakan untuk berbahasa Inggris
dan bahasa Arab, masing-masing tiga hari. Dan satu hari untuk
berbahasa Indonesia. Setiap santri yang tidak menaati aturan itu
akan dipanggil dan disidang oleh dewan sidang yang sudah
ditunjuk. Sedangkan nilai raport santri tidak hanya ditentukan
berdasarkan kecerdasan otak saja, juga ditentukan oleh kualitas
sikap dan perilaku keseharian santri di lingkungan Pondok
Pesantren tersebut.
4) Pembelajaran Karakter Melalui Program Pelatihan
Untuk menunjang skill santri di bidang manajemen maka
Pondok Gontor mendirikan lembaga pelatihan manajemen dan
pengembangan masyarakat (PLMPM: Pusat Latihan Menejemen
dan Pengembangan Masyarakat). Pusat pelatihan ini di bawah
pimpinan Bapak Imam Shobari dibantu Ahmad Setiono beserta 4
orang staf. PLMPM menitikberatkan kegiatannya pada program
pembinaan disiplin diri dan spiritual bagi peserta pelatihan.
Pusat Latihan Manajemen dan Pengembangan Masyarakat
(PLMPM) yang terletak di desa Sambirejo, Mantingan, Ngawi,
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
merupakan lembaga pelatihan di lingkungan Pondok Gontor.
Kegiatannya terfokus pada pembinaan dan peningkatan kualitas
sumber daya manusia alumni KMI Pondok Gontor. Selain itu,
pelatihan ini juga bertujuan untuk membangun jiwa entrepreneur
dan mempersiapkan kemandirian santri dalam bidang
pengembangan masyarakat dan bisnis, agar dapat segera
mengabdi di masyarakat sebagai dai yang mandiri.
Program utama PLMPM adalah pelatihan reguler. Peserta
angkatan ke-15 tahun ini berjumlah 37 orang. Terdiri dari alumni
Pondok Gontor dan Pondok alumni. Program pelatihan
berlangsung selama 9 bulan dengan paket program pelatihan
meliputi: Orientasi, Training Fisik dan Penalaran, Achievement
Motivation Trainning (AMT), Bussiness Motivation, Leadership,
Keorganisasian, Pengembangan Masyarakat, Manajemen Bisnis,
Praktek Pengembangan masyarakat dan Usaha Mandiri Riil
(UMR), Out Bound Training, dan entrepreneurship. Program
pelatihan ini merupakan salah satu program pengabdian para
santri lulusan Pondok Pesantren Gontor, selain pengabdian
menjadi guru di Gontor maupun di Pondok-Pondok alumni di
seluruh Indonesia dan menjadi mahasiswa di UNIDA Gontor.
5) Pembelajaran Karakter Melalui Partisipasi Santri dalam
Beragam Kegiatan; Integrasi nilai dalam Kegiatan
Ko-Kurikuler dan Ekstra-Kurikuler.
Saat ini, banyak murid yang enggan untuk terlibat dalam
berbagai kegiatan kesiswaan di sekolah. Padahal, Kegiatan
ko-kurikuler dan ekstrakurikuler akan semakin bermakna
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
(meaningful learning) jika diisi dengan berbagai kegiatan yang
menarik, bernilai, dan bermanfaat bagi siswa. Masih banyak siswa
yang hanya belajar saja, tanpa menghiraukan kegiatan
ko-kurikuler, terlebih kegiatan ekstra kurikuler. Mereka enggan
mengikuti kegiatan tersebut dengan alasan malas, tidak
bermanfaat, mengganggu konsentrasi belajar, membuang-buang
waktu, dan lain sebagainya.
Ryan Febrianti alumni Pesantren Gontor mengatakan
bahwa Pesantren adalah salah satu bentuk dari lembaga
pendidikan yang mengajukan pengajarannya pada nilai-nilai
islami. Pesantren merupakan institusi pendidikan Islam tertua di
tanah air yang memberikan andil sangat besar dalam
mencerdaskan kehidupan ummat dan bangsa.
Dalam berbagai kasus, misalnya, kegiatan seminar ilmiah.
Di satu sisi, kegiatan tersebut sangat menunjang ketrampilan dan
kapasitas intelektual siswa. Tetapi di sisi lain, banyak siswa yang
hanya berkerumun di luar ruangan dengan alasan menjadi panitia
logistik atau penerima tamu. Akhirnya, siswa yang berlaku
sebagai panitia tidak memeroleh kesempatan pembelajaran dari
seminar tersebut. Sejatinya, jika kita mau dan niat pekerjaan
teknis semacam itu dapat disederhanakan. Dan sebaliknya, siswa
yang tidak berminat untuk mengikuti kegiatan tersebut menjadi
kurang berwawasan.
Keadaan di atas seringkali terjadi di dalam kegiatan
sekolah. Tentu saja hal ini kembali pada ada tidaknya
pendampingan oleh guru pembimbing kegiataan. Lantas, kegiatan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
apakah yang turut menunjang pendidikan karakter? Secara umum,
kegiatan yang dapat menunjang pendidikan karakter adalah
Kegiatan yang terencana, terprogram, dan tersistem dengan baik.
Setiap kegiatan dituntut kehadiran supervisor atau mentor yang
membimbing ke mana arah kegiatan tersebut, meski tidak harus
ada setiap saat. Agar menarik, program tersebut harus disajikan
dengan menyenangkan, dengan mengikutsertakan teknik-teknik
simulasi, role play, dan diskusi. Pada peningkatan learning skills,
peserta didik mendapatkan teknik belajar, pemetaan pikiran, dan
teknik membaca.
Adapun thinking skills difokuskan pada peningkatan
kemampuan menyelesaikan persoalan dan pengambilan
keputusan. Sementara living skills lebih ditekankan pada beberapa
hal, di antaranya: manajemen diri, membangun impian, teknik
berkomunikasi, mengelola konflik dan waktu. Lain halnya dengan
lembaga yang sudah beberapa tahun memiliki program siswa
unggulan. Siswa yang menjadi peserta adalah siswa pilihan dari
berbagai sekolah yang dinyatakan berprestasi. Program ini diisi
dengan caring and sharing antara pakar/praktisi dengan siswa
seputar isu-isu aktual. Keuntungan program ini dapat menjaring
future leader dan membinanya sejak awal sebelum mereka lulus.
Pimpinan Pondok Pesantren Darunnajah, Sofwan Manaf,
mengatakan bahwa Pendidikan karakter dapat diartikan sebagai
proses penanaman nilai yang sangat penting pada diri anak dengan
cara berbagai macam kegiatan pembelajaran dan pendampingan
sehingga para anak bangsa dapat mengerti dan memahami,
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
mengalami, serta mengintegrasikan nilai yang menjadi nilai inti
dalam pendidikan yang dijalaninya ke dalam kehidupannya
Sebenarnya, kegiatan pengembangan pedidikan karakter
tidak akan optimal bila hanya dilakukan melalui pelatihan,
seminar, dan workshop. Pengembangan pedidikan karakter harus
dipraktikkan berulang-ulang dan didampingi oleh
pembimbing.Sedangkan kemampuan yang ingin ditingkatkan
antara lain, wawasan yang luas, saling menghormati satu sama
lain, berjiwa entrepreneur, berpikir kreatif, dan kemampuan
belajar yang lebih baik.
Berhubungan dengan masalah di atas, seorang pakar dalam
bidang pengembangan pendidikan dari Jerman, Christoph
Hanssert menyarankan agar pengembangan pedidikan karakter
untuk siswa Indonesia dilakukan dengan cara menjalin jejaring
kerja (networking) guru Indonesia dengan guru luar negeri yang
melibatkan siswa, misalnya dalam bidang penelitian. Dengan
jejaring ini, mau tidak mau siswa akan dipaksa berkomunikasi
tulisan dengan menggunakan bahasa asing. Suatu saat para siswa
ini difasilitasi untuk bertemu dan bertukar pikiran, saling
menghargai pendapat, serta mempelajari budaya orang lain dan
belajar bekerja sama dalam tim.
Adapun Direktur Safaro Consulting, Imam Ratrioso
mengatakan bahwa dalam sudut pandang psikologi, pendidikan
karakter yang telah diterapkan Pesantren Gontor dalam mendidik
para santri sangat tepat dengan kondisi psikologis mereka. Masa
perkembangan remaja, dalam rentang usia 11 hingga 18 tahun
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
yang menjadi usia KMI Gontor, di mana pada usia ini seorang
remaja sedang mengalami transisi dan transformasi mental, baik
dari sisi pikiran, hubungan sosial dan kematangan pribadi, dari
masa kanak-kanak akhir menuju manusia dewasa awal.
Pada dasarnya, berbagai kegiatan yang diadakan unit
kegiatan siswa di berbagai sekolah sudah banyak mengandung
muatan pedidikan karakter. Proses pendidikan karakter ini akan
berhasil manakala program yang digulirkan lebih fokus untuk
mengembangkan atribut tertentu sesuai kebutuhan populasinya.
Unit kegiatan bela diri saja, apabila dihayati dan benar-benar
ditujukan untuk pengembangan pedidikan karakter siswa dapat
diarahkan untuk memperkuat atribut komitmen, bersemangat,
mandiri, dan ketangguhan.
Di samping itu, kegiatan pelatihan harus terprogram
dengan baik; ada durasi, capaian, dan berkelanjutan. Apakah
pelatihan itu akan diarahkan pada transformasi keyakinan,
motivasi, karakter, atau impian, dan lain sebagainya. Demikian
pula tidak hanya berhenti di pelatihan tanpa adanya coaching oleh
para coach yang tangguh sehingga dalam durasi tertentu akan
terjadi transformasi diri yang seutuhnya.
Dalam buku yang berjudul the Power of Transformation,
Prijosaksono menuliskan bahwa kepemimpinan transformasi diri
akan mampu membangun kebiasaan-kebiasaan baru yang lebih
baik. Dalam buku itu juga diuraikan 5 prinsip transformasi, yaitu:
(1) meyakini dan mendayagunakan kekuatan dan anugrah Tuhan
dalam diri; (2) membuat pilihan dan keputusan dalam diri; (3)
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
melakukan kebiasaan-kebiasaan baik secara terus menerus dalam
kehidupan ini; 4) mampu membangun interaksi dengan orang
lain; (5) mampu bekerja secara sinergis dan kreatif dengan orang
lain dalam organisasi.
Dalam pelaksanaan pelatihan, harus diperhitungkan
efisiensi dan efektivitasnya. Sangat tidak efisien jika peserta
terlalu banyak dan dengan fasilitas terbatas. Untuk itu, perlu
dilakukan Multi Level Training (MLT), yaitu pelatihan yang
dilakukan secara bertingkat. Mulanya 20-30 orang siswa pilihan
yang memiliki kemauan dan kemampuan dalam memimpin untuk
berbagi pengalaman dan pengetahuan. Dan setiap satu orang
diwajibkan memiliki anggota 3-5 orang dalam durasi waktu
tertentu (misalnya 1-2 bulan).
Selanjutnya, orang baru tersebut dipanggil front liners.
Front liners ini melakukan hal yang sama yang dilakukan oleh up
liners. Kegiatan dalam kelompok kecil itu masing-masing adalah
pertemuan rutin, sharing, membuat program kecil seperti
mengubah kebiasaan yang selama ini selama ini dianggap buruk
menjadi kebiasaan yang lebih produktif. Dalam kelompok kecil
itu lebih banyak dilakukan coaching oleh up liners. Apabila hal
ini dilakukan terus menerus maka metode training yang efisien
akan terwujud tanpa mengurangi kualitas pelatihan
tersebut. Selain metode ini, masih banyak metode yang mungkin
dapat dilakukan oleh para pendidik untuk siswanya. Untuk itu,
perlu digali potensi-potensi yang ada di setiap sekolah dan perlu
dijadikan bahan pertimbangan, terutama bagi Pondok Gontor
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
untuk menjadikan program ini sebagai bagian dari proses
pendidikan karakter.
Menurut Adian Husaini bahwa di Pondok Pesantren para
santri diajarkan adab dalam keilmuan. Dengan adab inilah,
seorang santri dapat menempatkan karakter pada tempatnya?
Kapan dia harus jujur, kapan dia boleh berbohong, untuk apa dia
bekerja dan belajar keras? Dalam pandangan Islam, jika semua itu
dilakukan untuk tujuan-tujuan pragmatis duniawi, maka tindakan
itu termasuk kategori “tidak beradab”, alias biadab. Jadi, setiap
santri harus berusaha menjalani pendidikan karakter, sekaligus
menjadikan dirinya sebagai manusia beradab. Seharusnya,
program mencetak manusia berkarakter dan beradab ini masuk
dalam program resmi Pendidikan Nasional, sesuai dengan sila
kedua Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Salah satu point yang tidak kalah pentingnya dalam
pendidikan karakter adalah budaya antri yang menjadi kebiasaan
orang-orang sukses dan berdisiplin tinggi. Dalam hal ini, Pondok
Gontor tidak ketinggalan mendidik seluruh santri untuk terbiasa
antri sesuai dengan gilirannya masing-masing. Budaya antri akan
melatih kesabaran; sabar menanti gilirannya tiba, mendidik untuk
menghormati orang lain, tidak mengambil hak orang lain. Sabar
yang terlatih akan berbuah manis dan memberikan banyak
keuntungan. Dengan sabar pula, kita dapat menyelesaikan tugas
dan kewajiban dengan baik.
Kenangan santri yang tidak terlupakan yang membentuk
kesabaran santri, sebagaimana disampaikan oleh Oky Siqoh
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Haqiqotan yaitu Jarban, sebuah kata bahasa Arab yang berarti
Sakit Kulit atau Kudisan. Kalau kata ini anda tanyakan kepada
Alumni Gontor, maka akan di jawab dengan senyum merekah
atau bahkan tawa. Karena hampir seluruh alumni Gontor itu
pernah merasakan jarban. Termasuk saya yang pernah Nyantri di
Pondok Alumni sebelum masuk Gontor. Sekujur tubuh ini
rasanya gatal semua, terus terluka, bernanah, lalu sembuh, hilang
tanpa bekas, sama sekali tidak berbekas sampai sekarang ini.
Makanya kalau saya bilang saya dulu pernah jarbanan, semua
orang (kecuali alumni Gontor) pasti jawab tidak percaya.
Meminjam Bahasa Nasrullah Zainul Muttaqin, bahwa Gontor itu
memang Bersih, tapi tidak Hygienis. Makanya ada beberapa Hal
“tidak masuk” akal yang dilakukan Santri Gontor itu, yang secara
Ilmu Kesehatan dipastikan akan jatuh sakit, tapi ketika dilakukan
di Pondok Gontor ternyata santrinya sehat-sehat saja. Seperti
makan mie di Ember bekas cucian, atau minum dengan piring
yang habis dipakai makan. Begitu juga soal jarban ini, sepertinya
sudah jadi “welcome illness” buat para santri baru. Karena yang
biasanya sakit jarban itu ya anak baru, karena kalau sudah sekali
terkena jarban ya ga akan terkena lagi. dengan nada bercanda
almarhum KH Imam Zarkasyi menyampaikan , bahwa jarban itu
jadi “syarat” bagi seseroang untuk jadi santri Gontor. jadi, jarban
itu sama sekali bukan masalah serius di Gontor. bahkan bergaul
dengan orang sakit jarban sekalipun, selama dia sudah pernah
jarbanan tidak akan pernah takut tertular, meskipun jarbannya
parah juga. Yang jelas, anda tidak akan menemukan bekas jarban
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
itu saat alumni tersebut keluar (https://www.facebook.com/oky)
Di Pondok Gontor, menurut M. Dafik ada budaya antri
yaitu budaya orang-orang sukses dan berdisiplin tinggi. Dengan
antri, kesabaran dan kesungguhan pun teruji. Siapa manusia yang
suka antri, antri menjadi hal yang sudah tidak asing lagi. Bahkan,
ia sudah mendarah daging dan merupakan sunnah Pondok karena
segala sesuatu yang kita lihat, kita dengar, kita kerjakan dan kita
rasakan semuanya adalah pendidikan karakter. Termasuk
didalamnya budaya ngantri, yang dalam bahasa Gontornya disebut
tobur. Begitu juga menurut Ahmad Kali Akbar, mahasiswa Qatar
University bahwa antrian yang panjang bisa ditemukan di dapur
umum saat jam makan tiba. Tidak ada seorang pun yang berani
menyerobot, walaupun ia ingin cepat-cepat melakukan pekerjaan
yang lain. Selain di dapur, antrian juga terlihat di depan kamar
mandi. Meski tidak sepanjang antrian di dapur, para santri juga
menikmatinya dengan bercengkerama mengenai banyak hal. Dari
sinilah suasana keakraban di antara para santri dapat terbentuk.
Namun demikian, antrian paling panjang tampak ketika setiap
santri harus mendapatkan kwitansi tanda lunas seluruh
pembayaran administrasi sebagai syarat liburan. Demi liburan,
mereka pun rela berbaris sepanjang jalan. (lihat http://www.
inilah-7-antrian-terpanjang- youtube.com, gontor nation)
6) Pembelajaran Karakter Melalui Penghargaan dan
Hukuman
Pemberian hukuman merupakan wujud dari pemberlakuan
konsekuensi pelanggaran yang dilakukan anak didik yang
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
meninggalkan kewajiban-kewajibannya. Pemberian hukuman
(punishment) ini hendaknya diimbangi dengan pemberian
penghargaan (reward) sehingga eksistensi dan perilaku anak
merasa dihargai. Target dari metode ini yaitu agar anak berlatih
mengemban tanggung jawab dalam hidupnya.
Pembelajaran karakter melalui ganjaran hukuman
diterapkan juga oleh kyai di Pesantren tersebut. Santri yang
memiliki kecerdasan dan akhlak mulia serta memiliki integritas
dan karakter yang kuat dalam menjalankan ajaran agama
diberikan penghargaan seperti beasiswa, memimpin organisasi
atau amanat untuk memimpin Pesantren cabang. Pondok
Pesantren Gontor memiliki slogan yang sering disampaikan
kepada para santri yaitu “siap dipimpin dan siap memimpin”.
Motto ini kemudian diterapkan dalam kehidupan santri
sehari-hari, dimana santri proses pendidikan berorganisasi telah
dimulai dari bidang yang kecil seperti organisasi kelas dan kamar
sampai ke organisasi yang mengurusi seluruh kehidupan santri,
yaitu OPPM. Bagi santri yunior, mereka harus siap untuk
dipimpin oleh senior mereka ataupun teman mereka sendiri yang
seumuran seperti di organisasi kelas dan kamar, disinilah proses
duplikasi terjadi. Begitupun ketika mereka menjadi senior,
mereka harus menjadi pemimpin yang mampu berbuat lebih baik
dari pendahulu mereka dari sisi prestasi dan pencapaian yang
positif.
Menurut RA Idham alumni Pesantren Gontor dan bekerja
Sekretariat Negara RI, mengatakan bahwa Lingkungan yang
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
kondusif bagi pembangunan nilai-nilai karakter dan penerapan
sistem peraturan yang konsisten dan tegas dalam menerapkan
disiplin. Semua yang ada di dalam lingkungan Pesantren
diciptakan dengan warna pendidikan yang kental. Tulisan falsafah
hidup dan nilai-nilai keagamaan menjadi hiasan di setiap penjuru
tempat di lingkungan Pesantren sehingga para santri terus berada
dalam suasana pendidikan yang baik. Setiap sudut lingkungan
Pesantren berisikan pesan moral yang mengiringi seluruh kegiatan
para santri. Peraturan dikomunikasikan dengan baik oleh pihak
Pesantren terhadap seluruh santri dan orang tuanya. Peraturan
yang berhubungan dengan disiplin dibacakan setiap tahun dan
langsung diterapkan oleh para santri dari tingkat awal hingga
santri tingkat akhir. Pelaksanaan peraturan dijalankan oleh santri
dan diawasi oleh para ustadz. Peraturan ditegakan dengan adil dan
tegas tanpa pandang bulu, sehingga tidak ada yang akan merasa
diperlakukan dengan kurang adil.
Seperi contoh Emha Ainun Nadjib yang pernah diusir dari
Pondok Pesantren Gontor menyatakan bahwa “penghargaan saya
terhadap Pesantren Gontor sama sekali tak pernah menurun,
walaupun pada awal 1968, pasca-”revolusi lokal” yang gagal, dia
mathrud alias diusir atau dipecat dari Pondok modern itu. Ketika
itu berlangsung semacam martial law. hukum darurat. Gara-gara
memprotes ketidakadilan Qismul Amn, semacam kopkamtib. Pak
“pangkopkamtib” mengadilinya jam 02.00 dini hari hingga ba’da
subuh. Vonisnya, saya dideportasikan pagi itu juga, alias “gulung
tikar angkat koper”-. Menurutnya Pesantren masyhur itu, di masa
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
silam memang pernah mencatat suatu mekanisme sistem hukum
yang brutal dan agak primitif. Namun, secara keseluruhan, pola
dan nuansa pendidikan akhlak (karakter) Pesantren Gontor adalah
contoh kongkret dari banyak hal yang dewasa ini kita baru
menggagas-gagasnya lewat perdebatan pemikiran di kota-kota
yang selalu merasa lebih maju dibanding yang bukan kota. Dan
baginya, pengusiran itu adalah metode yang sebaik-baiknya- suatu
total alienation untuk suatu total loneliness- yang menyiksanya
untuk menjadi dia sekarang ini. Sejak itu Emha yang terkenal
dengan nama Kyai kanjeng amat rakus dengan metode “bersikap
sangat keras bahkan kejam kepada diri sendiri” dan menyeleksi
cita-cita menjadi hanya sebiji: bekerja keras sampai hari terakhir
hidupnya”
Menurut Pimpinan Pondok Modern Al-Ikhlash Kuningan,
M. Tata Taufik, bahwa Nilai pendidikan dari proses pemberian
hukuman ini antara lain penanaman akan nilai-nilai sosial bahwa
pelanggaran aturan harus menerima sangsi, bagaikan orang yang
salah dalam mengetik maka kesalahan itu harus diperbaiki.
Selanjutnya penanaman karakter --yang ini sulit kalau tidak
terlatih-berani mengakui kesalahan. Pelajaran lain adalah
penanaman mental siap untuk diperbaiki jika bersalah atau dinilai
salah oleh norma yang disepakati. Dan setelah siap diperbaiki
maka hukuman sebagai upaya perbaikan ditawarkan secara
bargaining.
Selanjutnya, dengan meminjam teori model pendidikan
dan pengembangan karakter dari Ahmad Sanusi. setidaknya ada
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
enam teori yang digunakan dalam Proses Pembelajaran
Pendidikan karakter yang dikembangkan di Pondok Gontor secara
terpadu, yaitu: nilai teologik (keberagamaan), fisik-fisiologik
(keberadaan dan keberfungsian lingkungan dan alam), etika
(sopan santun), estetika (tata tertib, kebersihan, keindahan dan
keserasian), dan nilai teleologik (kemanfaatan, kegunaan), serta
nilai Logik. Pembelajaran karakter melalui keteladanan yang
dicontohkan oleh kyai juga dicontoh oleh semua guru dan para
santrinya. Pola pembelajaran karakter melalui pengasuhan dan
pembiasaan diwujudkan dalam sistem pendidikan asrama selama
24 jam mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali. Semua
santri dilibatkan dengan bebagai kegiatan. Hal ini ini penting
untuk membiasakan santri menerapkan aturan agama dalam
kehidupan sehari-hari.
Keterpaduan dari semua model pendidikan karakter
tersebut terbukti berhasil membangun karakter santri yang kuat.
Banyak lulusan Pondok Gontor menjadi tokoh di masyarakat. Ada
yang menjadi dosen di dalam dan luar negeri, birokrat, pengusaha,
dan lain sebagainya. Sedangkan metode yang digunakan dalam
proses pendidikan karakter yang dikembangkan di Pondok
Gontor, sebagaimana telah dikemukakan di atas, untuk
membentengi kehidupan santri dari pengaruh negatif yang datang
dari luar, dan untuk proses pembiasaan maka Pondok Gontor
menerapkan sistem pendidikan Boarding School. Santri tinggal
dan belajar di dalam lingkungan kehidupan Pesantren. Mereka
tidak boleh keluar dari lingkungan tersebut tanpa seizin guru atau
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
tim pengasuh. Semua santri berada di dalam lingkungan
kehidupan Islam secara total, mulai bangun tidur, melakukan
kegiatan belajar harian sampai tidur lagi. Selain itu, semua
kebutuhan santri bisa diperoleh dengan mudah di lingkungan
Pesantren tersebut. Dengan kata lain, selama 24 jam semua santri
berada dalam pengasuhan guru dan tim pengasuh. Model
pembelajaran seperti ini, menurut hemat penulis dapat disebut
sebagai proses pembelajaran karakter totalitas.
Pesantren menerapkan totalitas pendidikan dengan
mengandalkan keteladanan, penciptaan lingkungan dan
pembiasaan melalui berbagai tugas dan kegiatan. Sehingga semua
yang dilihat, didengar, dirasakan, dan dikerjakan adalah
pendidikan. Selain menjadikan keteladanan sebagai metode
pendidikan utama, penciptaan lingkungan belajar yang kondisif
juga sangat penting. Lingkungan pendidikan itulah yang ikut
mendidik. Penciptaan lingkungan dilakukan melalui: penugasan,
pembiasaan, pelatihan, pengajaran, pengarahan, serta keteladanan.
Ada ungkapan al-ma’hadu laa yanamu Abadan, ini sering
didengar oleh semua orang yang pernah yang pernah mengenyam
pendidikan di Pondok Gontor, ini tidak bermakna bahwa para
santri, para guru atau pimpinan Pondok, tidak pernah tidur. Ini
bermakna bahwa bahkan pada watu tidurpun, ada sekelompok
orang yang harus terjaga untuk menjalankan amanahnya 24 jam
dalam sehari, selalu ada saja orang yang melakukan aktifitas
Pondok mulai dari tidur malam, tetap saja ada yang bertugas
sebagai harisul lail ( piket jaga malam) bahkan ada juga yang
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
sahirul lail (belajar malam atau sholat malam) sampai menjelang
subuh. Menurut Muslim Rosyid asal Palembang yang
pernah menjadi salah satu staf Pengasuhan santri Pondok Gontor
mengatakan bahwa di saat yang sama bagian keamanan OPPM
sebagai ujung tombak penegakan disiplin santri sudah bangun
pada pukul tiga pagi, kemudian mereka berkeliling sesuai dengan
area yang sudah ditentukan untuk menjamin berjalannya aktivitas
pagi sampai malam hari kembali.
Sedangkan menurut Alumni Pascasarjana Universitas
Moulay Ismail Meknes Maroko dan sekarang Ketua Prodi PAI,
PPs STAIN Metro, Khoirurrijal, bahwa Pendidikan karakter
menjadi lebih baik, terarah dan efektif serta mencapai hasil yang
maksimal dibutuhkan pula metode yang akan dipakai sehingga
mengajarkan; dengan memberikan konsep teorotis mengenai
suatu nilai / karakater, sebab suatu perbuatan dikatakan sebagai
tindakan bernilai jika dilakukan secara bebas, dengan sadar, dan
ilmu pengetahuan yang sesuai dan cukup tentang apa yang
dilakukannya kemudian menentukan prioritas yaitu menentukan
standar prioritas suatu nilai yang ingin dicapai dalam sebuah
Lembaga Pendidikan tersebut, maka berhasil tidaknya proses
pendidikan karakter itu bisa dilihat dari sikap keteladanan;
Kepala sekolah, guru dan semua tenaga pendidik dan
kependidikan sehingga mampu menjadi suri tauladan bagi peserta
didik, memberikan dorongan dan rangsangan bagi peserta didik
untuk dapat mengaplikasikan konsep nilai/karakter yang telah
diperoleh dalam tataran praktis prioritas; sejauh mana nilai atau
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
karakter yang diprioritaskan itu dilaksanakan, bagaimana sikap
pengelola sekolah terhadap pelanggaran kebijaksanaan/ perturan
yang ada, sehingga mampu merefleksi; karakter yang ingin
dibentuk oleh Lembaga Pendidikan dengan berbagai macam cara /
program dan kebijakan senantiasa dievaluasi dan direfleksikan
secara terus menerus dan perlu dievaluasi dan dikritisi sehingga
menjadi rujukan/referensi dalam menghayati dan menghidupkan
pendidikan karakter pada sebuah Lembaga Pendidikan.
Falsafah di dunia pendidikan Gontor, menurut Akbar
al-Fahmy Hasbullah salah staf Sekretaris Pimpinan Pondok
Gontor ada ungkapan: at-thariqah ahammu mina-l-maddah
tentunya sudah tidak asing lagi. Namun tidak banyak yang
mengetahui sejarah, kisi-kisi, hingga orientasi awal mengapa
kalimat tersebut begitu ditekankan di Pondok Gontor yang
notabene dapat dikatakan sukses dalam membina sekaligus
mendidik puluhan ribu santri dari pelosok negeri ini. Menurutnya
apa yang telah disampaikan K.H. Hasan Abdullah Sahal,
Pimpinan Pondok Gontor bahwa pendidikan dan pengajaran
bukan hanya berhenti pada metode, namun tidak mutlak bisa
menyempurnakan substansi mengajar. Sehingga maklumat kepada
siswa dan santri meresap kemudian ilmu itu diamalkan. Yang
berpengaruh adalah the man, manusianya, orangnya, al-mudarris
nafsuhu (‘guru itu sendiri’). Tidak berhenti pada kata guru, ada
sesuatu yang lebih penting dari itu, yakni jiwa seorang guru, the
soul, atau ruh al-mudarris. Akhirnya, lahirlah istilah dari beliau
yang sangat terkenal sebagai falsafah di dunia pendidikan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Gontor: at-thariqah ahammu mina-l-maddah, wa al-mudarris
ahammu mina-t-thariqah, wa ruhu-l-mudarris ahammu
mina-l-mudarris nafsihi. Kata-kata inilah yang terus ditanamkan
kepada segenap santri dan guru hingga saat ini, yang mendorong
kemajuan sistem pendidikan dan pengajaran di Pondok Gontor.
Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Mukhtar
Hadi salah satu pimpinan STAIN Jurai Siwo Lampung pada
acara Pembukaan Pelatiham Micro Teaching bagi dosen Tarbiyah
bahwa guru bukan hanya sebatas mengajar dalam mentransfer
ilmu pengetahuan namun juga mendidik yaitu transfer nilai,
bagaimana beretika, akhlak, estetika dan gurupun dapat menjadi
suri tauladan bagi anak didiknya dalam berbagai hal sehingga
diharapkan akan terbentuk kepribadian dan karakter siswa yang
mulia, dan semua hasil dalam proses belajar mengajar bermuara
kepada jiwa gurunya.
Semuanya mempunyai pengaruh yang tidak kecil dalam
pembentukan karakter anak didik. Seperti pemberian tugas harus
disertai pemahaman atas dasar-dasar filosofisnya sehingga anak
didik akan mengerjakan berbagai macam tugas dengan kesadaran
dan keterpanggilan. Karena setiap kegiatan mengandung
unsur-unsur pendidikan. Sebagai contoh, dalam kegiatan
kepramukaan terdapat pendidikan kesederhanaan, kemandirian,
kesetiakawanan, kebersamaan dan kecintaan terhadap lingkungan.
Dalam kegiatan olah raga terdapat pendidikan kesehatan jasmani,
penanaman sportivitas, kerja sama (team work) dan kegigihan
untuk berusaha.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Pengaturan kegiatan di Pondok Gontor ditangani oleh
organisasi pelajar yang terbagi dalam banyak bagian, seperti
bagian ketua, sekretaris, bendahara, keamanan, pengajaran,
penerangan, koperasi pelajar, koperasi dapur, kantin pelajar,
bersih lingkugan, pertamanan, kesenian, ketrampilan, olahraga,
penggerak bahasa, dll. Demikian pula dengan kegiatan
Kepramukaan juga ditangani oleh Koordinator Gerakan Pramuka
dengan beberapa Andalan; Ketua Koordinator Kepramukaan,
Andalan koordinator urusan kesekretariatan, Andalan koordinator
urusan keuangan, Andalan koordinator urusan latihan, Andalan
koordinator urusan perpustakaan, Andalan koordinator urusan
perlengkapan, Andalan koordinator urusan kedai pramuka, dan
Pembina Gugus Depan.
Pendidikan organisasi ini sekaligus merupakan wadah
kaderisasi kepemimpinan melalui pendidikan self government.
Sementara itu, pada level asrama ada organisasi sendiri yang
terdiri dari ketua asrama, bagian keamanan, penggerak bahasa,
kesehatan, bendahara dan ketua kamar. Setiap klub olah raga dan
kesenian juga mempunyai struktur organisasi sendiri,
sebagaimana konsulat (kelompok wilayah asal santri) juga
dibentuk struktur keorganisasian. Seluruh kegiatan yang ditangani
organisasi pelajar ini dikawal dan dibimbing oleh para senior
mereka yang terdiri dari para guru staf pembantu pengasuhan
santri, dengan dukungan guru-guru senior yang menjadi
pembimbing masing-masing kegiatan. Kegiatan pengasuhan santri
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
ini secara langsung diasuh oleh Pimpinan Pondok yang berlaku
sebagai Pengasuh Pondok.
Pengawalan secara rapat, berjenjang, dan berlapis-lapis ini
dilakukan oleh para santri senior dan guru. Dengan menjalankan
tugas pengawalan dan pembinaan, sebenarnya mereka juga sedang
melalui sebuah proses pendidikan kepemimpinan. Karena semua
santri, terutama santri senior dan guru adalah kader yang sedang
menempuh pendidikan. Pimpinan Pondok Gontor membina
mereka melalui berbagai macam pendekatan: Pendekatan
program, Pendekatan manusiawi (personal), dan Pendekatan
idealisme. Selain itu, mereka juga dibina, dibimbing, dimotivasi,
diarahkan, dikawal, dievaluasi dan ditingkatkan. Demikianlah
pendidikan karakter yang diterapkan Pondok Pesantren Gontor
melalui berbagai macam kegiatannya. Kegiatan yang padat dan
banyak akan menumbuhkan dinamika; dinamika yang tinggi akan
membentuk militansi; militansi yang kuat akan menimbulkan etos
kerja dan produktivitas. Pada akhirnya, anak didik akan
mempunyai kepribadian yang dinamis, aktif, dan produktif dalam
segala kebaikan.
Menurut Pengalaman, Ahmad Muqorobin, mahasiswa
Pascasarjana Unissa Brunei Darussalam yang juga Wakil Ketua
IKPM Cabang Brunai, mengatakan bahwa di dunia Pesantren
tidak hanya menggali pengetahuan yang terdapat di dalam
al-Quran, al-Hadist dan sejumlah khazanah literatur keislaman
warisan para kyai atau peminat kajian Islam sebelumnya, tetapi
juga dibiasakan menginternalisasi nilai-nilai sosial, kerjasama,
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
kejujuran, kedisplinan, tanggung jawab dan sebagainya yang
secara langsung maupun tidak langsung menyatu dalam diri para
santri dalam bimbingan kyai dan pengasuh Pesantren, maka para
santri akan mendapatkan bekal hidup di dunia dan diakhirat. Dan
dewasa ini, sudah banyak Pesantren yang tersebar di Indonesia
khususnya, tidak hanya dalam bidang agama yang diajarkan akan
tetapi sudah dikombinasikan dengan ilmu-ilmu umum.
Di samping pendidikan karakter melalui aktivitas yang
padat, hampir seluruh kegiatan dalam kehidupan santri di Pondok
Gontor mengandung unsur-unsur pendidikan kemasyarakatan.
Mulai dari cara berpakaian sampai cara mengurus organisasi.
Sehingga, pada saat kembali ke masyarakat—ibarat ikan yang
terjun ke dalam air—santri tidak lagi canggung untuk menjadi
guru ngaji, guru sekolah, pejabat, pedagang, petani dan
profesi-profesi lain yang ditemui di masyarakat.
Bermasyarakat bagi Pondok Gontor bukan berarti
mengharuskan santri-santrinya hidup berbaur dengan masyarakat
di sekitar Pondok. Sebaliknya, para santri dilarang keras
berinteraksi langsung dengan penduduk sekitar, apalagi sampai
menginap di rumah-rumah penduduk. Sebab hal ini dapat
mengganggu keberlangsungan pendidikan di Pondok Gontor yang
mengandung nilai-nilai kePondokmodernan, sistem, disiplin, dan
sunah Pondok. Akan tetapi, totalitas kehidupan di dalam Pondok
Gontor sudah mendidik seluruh santri untuk hidup bermasyarakat.
Pergaulan di Pondok Pesantren Gontor pun lebih luas dengan
santri-santrinya yang berasal dari berbagai daerah. Tentu mereka
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
datang ke Pondok dengan membawa adat istiadat dan kebiasaan
yang berbeda-beda pula. Alhasil, dengan saling mengenal maka
terciptalah toleransi dan kesepahaman di antara mereka. Inilah
kehidupan masyarakat yang seutuhnya, yaitu dengan mengenal
karakter bangsa secara menyeluruh. Dengan demikian, ketika
terjun di masyarakat kelak, para santri dapat bergaul dengan siapa
saja.
Selain itu, pendidikan kemasyarakatan ini juga menjadi
alasan mengapa banyak alumni Pondok Gontor berhasil di
masyarakat. Karena, dengan berbagai latihan yang ada mereka
siap untuk hidup di masyarakat dalam kondisi bagaimanapun dan
dalam situasi apa pun. Keberhasilan menurut Pondok Gontor
tidak selalu diasosiasikan dengan menduduki jabatan penting di
Pemerintahan, atau pengusaha sukses, menjadi pemimpin partai
politik, menjadi pemimpin ormas, dan lain-lain, yang
menunjukkan status sosial bergengsi, tetapi tidak ada jasanya bagi
orang lain. Orang besar adalah orang yang besar jasanya, orang
yang mau mengajarkan al-Quran di surau kecil dan tempat
terpencil.
Proses pembelajaran karakter secara totalitas yang
dikembangkan Pondok Gontor sangat sesuai dengan teori yang
dikemukakan Achmad Sanusi bahwa metode yang tepat untuk
pedidikan karakter adalah metdode pembelajaran melalui:
keteladanan, pengasuhan, pembiasaan, pelatihan, partisipasi
dalam kegiatan, dan pembelajaran melalui memberi hadiah atau
hukuman. Sistem asrama dan pengasuhan selama 24 jam/ hari,
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
memberikan peluang bagi para guru dan pengasuh untuk
menerapkan keenam metode yang ditawarkan oleh Achmad
Sanusi. Begitu juga proses pembelajaran totalitas sangat sesuai
dengan konsep pendidikan yang dikembangkan oleh Ki Hajar
Dewantra. Ia menyatakan dengan tegas bahwa pendidikan adalah
upaya menumbuhkan budi pekerti (kekuatan batin dan karakter),
pikiran dan fisik tubuh siswa secara terpadu.
Keenam metode pendidikan karakter yang dikemukakan
Achmad Sanusi dan dipraktikan secara nyata di Pondok Gontor
secara teori bisa dijelaskan bahwa karakter adalah watak atau sifat
seseorang yang tumbuh dan berkembang bersama temperamen.
Watak dan temperamen merupakan unsur bawaan ketika
seseorang lahir. Bedanya, watak masih bisa berubah sesuai
dengan proses pendidikan yang ia terima selama hidupnya,
sedangkan temperamen tidak akan berubah dalam keseluruhan
hidupnya. Jadi, watak dan temperamen tersebut akan
tervisualisasikan atau terekspresikan dalam bentuk keperibadian
dan kehidupan sehari-hari seseorang.
Harapan M. Samson Fajar, Direktur Pondok Pesantren
Mahasiswi Immadul Bilad Kota Metro dan Dosen FAI UM
Metro agar Pesantren hendaknya kembali kepada spirit
bagaimana Allah swt mendidik Rasulullah saw untuk disiapkan
menjadi pemimpin; yang pertama, Pesantren hendaknya memiliki
visi kepemimpinan. Hal ini diwujudkan dengan kelahiran nabi
Muhammad saw yang seketika itu ada sinar terang yang
menerangi Persia dan Romawi. Pesantren adalah tempat paling
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
tepat untuk membangun visi kepemimpinan ini. Yang kedua
adalah Pesantren hendaknya mematangkan pendidikan bahasa
santrinya, terutama bahasa arab dan inggris. Karena nabi
Muhammad saw disusukan kepada halimah al-sa’diyah dalam
rangka belajar bahasa yang fasih, karena seorang pemimpin harus
mampu berkomunikasi dengan fasih lagi efektif. Yang ketiga
adalah melatih kemandirian. Jiwa pemimpin masa depan adalah
berjiwa mandiri, berjiwa wirausaha, dan memiliki kekuatan
mental dalam menghadapi kehidupan.
Namun temperamen seseorang itu dikendalikan oleh
hormon tertentu yang ada di dalam tubuh sehingga kadarnya di
dalam diri seseorang relatif tidak berubah seumur hidup menurut
Allport, sebagaimana dikutip Achmad Sanusi. Dengan ungkapan
lain, pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membangun
watak seseorang. Watak itu bukan pengetahuan, tetapi ekspresi
dari sikap dan perilaku seseorang. Sehingga proses pendidikannya
tidak cocok dengan metode ceramah saja, tetapi harus dilakukan
dengan cara praktik langsung secara berulang-ulang dalam jangka
waktu yang cukup lama. Pengimplementasian dari enam metode
pendidikan karakter Achmad Sanusi dalam bentuk boarding
school atau sistem pengasuhan 24 jam penuh yang diterapkan di
Pondok Gontor sangat cocok dan terbukti berhasil. Banyak sekali
lulusan Pondok Gontor yang berhasil membuka Pondok Pesantren
besar yang tersebar di seluruh Indonesia. Begitu juga banyak
lulusannya yang menduduki jabatan di Pemerintahan RI. Tentu
saja dengan konsep keberhasilan yang dikemukakan oleh K.H.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Abdullah Syukri, yaitu yang mampu bermanfaat bagi banyak
pihak. Semakin banyak manfaat yang bisa dirasakan orang lain,
semakin tinggi kualitas mutu yang disandang oleh alumni Pondok
Gontor tersebut.
Walaupun demikian, ada beberapa kekhawatiran dari
beberapa pihak bahwa sistem pembelajaran totalitas dengan
sistem boarding school bisa menimbulkan kejenuhan bagi peserta
didik. Karena itu, untuk mengetahui persoalan ini secara detil
diperlukan pengkajian yang lebih khusus, dan tidak cukup dengan
proses wawancara biasa. Begitu pula dengan kekhawatiran
tentang keterpisahan santri dari kehidupan nyata di dalam
masyarakat. Ini juga memerlukan pengkajian lebih lanjut, meski
pihak kyai dari Pondok Gontor telah menyatakan, adanya ribuan
santri dengan kekhasan masing-masing di dalam lingkungan
Pesantren secara tidak langsung sudah menggambarkan kondisi
riil kehidupan masyarakat luas.
C. Karakter Santri Pondok Gontor.
Pada hakikatnya, tujuan pendidikan Pesantren adalah
menciptakan dan mengembangkan kepribadian Muslim (karakter
santri). Atau yang tercermin dalam Motto Pondok Gontor
“Menjadi ulama yang intelek, bukan intelek yang tahu agama”,
yaitu kepribadian beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak
mulia, bermanfaat dan berkhidmat kepada masyarakat dengan
menjadi kawulo atau abdi masyarakat. Hal ini sebagaimana
dicontohkan oleh teladan agung Rasul Saw. yang menjadi pelayan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
masyarakat. Kepribadian mulia Nabi Muhammad Saw. yang
mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian,
menyebarkan agama Islam dan menegakkan kejayaan umat Islam
di tengah-tengah masyarakat. Idealnya, pengembangan
kepribadian yang dituju ialah kepribadian Muhsin bukan sekadar
Muslim.
Menurut Azhar Amir yang pernah menjadi salah satu
Pengasuhan Pondok Gontor bahwa esensi dari pendidikan
Pesantren adalah pembinaan kepribadian Muhsin, yakni
melaksanakan ihsan dalam arti yang sesungguhnya. Dalam hal ini,
mendidik kader ulama atau ahli agama dalam ruang lingkup
pendidikan Pesantren masih tetap menjadi prioritas utama. Karena
hal itu menjadi ciri khas lulusan Pondok Pesantren mana pun.
Sedangkan bidang keilmuan lain menduduki peringkat secondary,
atau sekadar tambahan bekal mengarungi kehidupan dan
mengembangkan wawasan keilmuan.
Terciptanya proses pendidikan seperti itu tentu harus
didasari kesadaran akan makna hidup dan kehidupan. Para Kyai di
Pondok Darussalam Gontor selalu menanamkan suatu pandangan
bahwa hidup harus bermakna, “Hidup sekali, hiduplah yang
berarti.” Hidup akan bermakna bila dapat memberi manfaat
kepada orang lain. Semakin besar manfaat seseorang bagi orang
lain maka semakin besar nilai kebaikan orang itu. Atau
sebagaimana sebuah jargon yang juga selalu ditanamkan bahwa
“Sebaik-baik manusia ialah yang paling bermanfaat untuk
sesamanya.” Dengan ungkapan yang berbeda, “Berjasalah tapi
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
jangan minta jasa.” Artinya, yang penting itu berbuat dahulu bagi
kemaslahatan orang banyak, lalu biarkan orang lain menilainya,
bukan sebaliknya. Betapa pentingnya kesadaran akan nilai-nilai
hidup ini sehingga manfaat yang diperoleh oleh setiap santri
banyak ditentukan dengan besar kesadarannya akan makna dari
proses belajarnya, “Sebesar keinsyafanmu, sebesar itu pula
keuntunganmu” sebagai yang dikatakan K.H. Abdullah Syukri
Zarkasyi dalam bukunya.
Dalam perspektif pendidikan modern, menurut Hakimul
Ikhwan, Dosen UGM yang sedang belajar S3 Sosiologi
University of Essex, UK menyatakan bahwa pendidikan Gontor
mengandung setidaknya tiga unsur pendidikan karakter yang
diperlukan oleh siswa didik (santri) untuk maju dan berkembang.
Pertama adalah pendidikan yang mengembangkan kemampuan
bernalar dan berargumentasi yang terkandung dalam pendidikan
dan pengajaran bahasa, terutama melalui Bahasa Arab dan
Inggris. Kedua adalah kemampuan (skill) bersosialisasi melalui
interaksi sosial di asrama dan beragam aktivitas sosial, seni, dan
olah raga. Ketiga adalah pendidikan untuk taat dan patuh pada
sistem hukum dan norma sosial yang berlaku.
Selanjutnya, pimpinan Pondok Gontor KH. Abdullah
Syukri Zarkasyi mengatakan bahwa orientasi pendidikan
Pesantren adalah kemasyarakatan. Lingkungan Pesantren
diciptakan untuk mendidik santri agar dapat menjadi anggota
masyarakat yang mandiri dan bermanfaat. Pendidikan ini
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
menjadikan alumni Pesantren tidak canggung untuk terjun dan
berjuang ke masyarakat. Sehingga, dalam bidang pekerjaan,
misalnya, dapat dikatakan tidak ada istilah nganggur (menunggu
pekerjaan) bagi tamatan Pesantren pada acara Seminar Jakarta
Design Center.
Lain halnya pendapat Fauzan Azim salah satu Staf
Pengajar di Pesantren (PPMD) Pasia, Bukit Tinggi selalu ingat
bahwa hidup itu perjuangan, karena berani berjuang berarti berani
membawa perubahan, maka beranilah mengubah kehidupanmu
menjadi lebih baik” Setelah semua orator tampil dengan
persiapannya masing-masing sementara waktu latihan masih ada,
hal ini sesuai dengan pesan KH. Ahmad Sahal yaitu berani hidup
tak takut mati, takut mati jangan hidup, takut hidup mati saja.
Pendidikan kemasyarakatan tidak berarti terjun langsung
dan bergaul dengan masyarakat. Konsep pendidikan
bermasyarakat ala Pondok Gontor terintegrasi dalam
kegiatan-kegiatan santri untuk mengelola kehidupan mereka
sendiri, baik di dalam organisasi dengan ruang lingkup yang luas,
seperti OPPM dan Koordinator Gerakan Pramuka maupun
organisasi yang lebih kecil seperti asrama, kelas, konsulat, klub
bahasa, klub olahraga, klub keterampilan, klub seni, dan lain-lain.
Konsep ini dijalankan agar para santri dapat meresapi idealisme
bermasyarakat yang baik dan penuh tanggung jawab ketika santri
menjadi yang dipimpin atau saat memimpin. Proses pendidikan
seperti ini juga memudahkan proses rekayasa lingkungan yang
kondusif untuk kondisi-kondisi tertentu, seperti peniadaan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
kegiatan ekstra-kurikuler menjelang ujian, penyambutan
tamu-tamu Pondok, pekan perkenalan (Khutbatul ‘Arsy), dan
lain-lain. Dengan begitu, para santri dapat mengikuti seluruh
kegiatan—yang merupakan bagian dari proses pembentukan
karakter–dengan baik dan maksimal.
Novan Hariansyah, mahasiswa Pascasarjana Universitas
al-Azhar Kairo mengatakan bahwa kegiatan dan gerakan di
dalam Pondok Gontor sangat padat, maka pantas jika istilah
al-ma’hadu la yanamu Abadan, yang maknanya bahwa Pondok
tidak pernah sepi dari aktivitas-aktivitas dan gerakan-gerakan
yang bermanfaat disematkan pada diri Pondok. Ketika seseorang
bergerak dan melakukan sebuah aktivitas maka ia akan
menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Ibarat sebuah dinamo,
ketika ia diam, maka ia tidak menghasilkan sesuatu yang bisa
dimanfaatkan. Namun ketika ia bergerak, muncul sebuah energi
listrik yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai macam keperluan.
Disitulah letak makna berkah sebuah gerakan. Keberkahan dari
sebuah gerakan dapat dilihat dari dampak yang ditimbulkan dari
sesuatu yang tidak bergerak. Ketika suatu benda tidak bergerak
maka ia akan kehilangan berkah yang didapat dari sebuah
pergerakan. Bahkan bukan hanya kehilangan berkah, lebih
parahnya lagi terkadang ia akan menimbulkan kemudharatan.
Masykur Hasan, salah seorang alumni KMI dan UNIDA
Gontor selalu ingat akan pesan kyai di Pesantren Gontor kepada
para santri dan guru bahwa dalam pembinaan karakter agar selalu
menjaga hubungan baik antar manusia. Kyai juga berpesan supaya
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
tidak mendasarkan hubungan baik dengan hal-hal material,
melainkan hubungan batin yang amat kuat. Hubungan batin yang
kuat diwujudkan seperti seorang murid akan senantiasa ingat jasa
gurunya selama hayat di kandung badannya; dalam mengamalkan
ilmunya selalu berorientasi kepada kebermaknaan bagi orang lain;
saling mengingatkan dan menitipkan diri, bersikap toleran,
pemaaf dan penyambung silaturahmi, ingat nama gurunya dan
caranya mengajar, juga ingat segala jasa baiknya.
Lain halnya menurut Hanif Hafidz, salah seorang kader
Pondok Gontor yang saat ini memaparkan bahwa jika kita harus
ikhlas dalam mengerjakan sesuatu. Asalkan kita ikhlas, insya
Allah petunjuk dan pertolongan Allah akan datang. Ingat, in
tanshurullah yanshurukum wa yutsabbit aqdamakum (Kalau anda
menolong agama Allah, maka Allah akan menolongmu dan
meneguhkan pendirianmu). Selain itu kita harus kerja keras, kerja
sekuat tenaga, ada istilah dari pak kiai, berkerja keras, berpikir
keras, bersabar keras dan berdoa keras. Perlu diingat, potensi yang
kita miliki, kalau tidak kita gunakan akan mati. Tapi kalau
digunakan, insya Allah akan berkembang. Contoh latihan angkat
barbel, gerakannya kan sama, tapi kalau dilakukan terus menerus,
hasilnya kan semakin kuat, demikian potensi kita.
(http://www.yayasantazakka.com-)
Hubungan keikhlasan ini perlu dikekalkan di Pondok
Gontor. Sehingga proses pendidikan karakter menjadi cerminan
kepribadian dan karakter yang bersumber dari 6 nilai sebagaimana
dijelaskan oleh Achmad sanusi, yaitu:1.nilai teologik
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
(ketuhanan/keberagamaan), 2. nilai fisik-fisiologik (keberadaan
dan keberfungsian lingkungan, alam), 3. nilai etika (sopan
santun), 4.nilai estetika (tata tertib, kebersihan, keindahan dan
keserasian), 5.nilai teleologik (kemanfaatan, kegunaan), 6. nilai
logik (ketepatan, kecocokan, benar-salah)
Manusia adalah ciptaan Allah yang paling sempurna, baik
fisik maupun non-fisik (akal, hati, dll.) Kata makhluk merupakan
serapan dari bahasa Arab makhluq, berarti “yang di ciptakan”, dan
Allah berlaku sebagai pencipta adalah “khaliq”. Tujuan dari
penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah Sang
Pencipta, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya,
Sesungguhnya Aku tidak menciptakan Jin dan Manusia kecuali
untuk beribadah kepadaku. (QS Adz-Dzariyat [51]: 56)
Pada titik inilah, manusia berusaha untuk selalu menjaga
“hubungan baik” dengan Sang Pencipta. Mereka senantiasa
mengikuti apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang
sebagai bagian dari beribadah kepada-Nya. Kewajiban beribadah
hanya kepada-Nya tidak hanya berimplikasi pada tataran vertikal,
tetapi juga pada tataran horizontal.
Pesan KH Hasan Abdullah Sahal yang selau diingat oleh
Anang Rikza Masyhadi, Pimpinan Pondok Modern Tazakka,
Jawa Tengah, bahwa “Banyak orang berfikir bagaimana mencari
hidup yang lebih baik, tetapi mereka lupa bagaimana mencari mati
yang paling baik"
Tidak ada istilah dikotomi akhirat dan dunia dalam
beribadah kepada-Nya. Menjaga keberlangsungan kehidupan di
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
dunia dengan baik merupakan bagian dari ibadah, sebagaimana
ibadah-ibadah lainnya yang bersifat ketaatan atau ibadah
mahdhah. Sehingga, menjaga keberlangsungan dunia ini dari
kehancuran yang diakibatkan oleh eksploitasi berlebihan
membutuhkan pengembangan ilmu pengetahuan yang tepat guna.
Hal ini supaya segala bentuk perkembangan kehidupan menuju
hidup yang lebih baik akan berbanding sejajar dengan semakin
terjaganya bumi ini dari kehancuran. Demikianlah, pendidikan
karakter harus mampu menanamkan nilai fisik-fisiologik, nilai
teleologik, dan nilai logik.
Sisi lain dari fitrah manusia adalah sebagai makhluk sosial
yang mempunyai ketergantungan pada interaksi sosial. Dalam
menjaga hubungan baik antarsesama manusia ini diciptakan
norma-norma dan etika-etika yang mendasari hubungan mereka,
agar dapat menjaga nilai-nilai baik dan positif di antara mereka.
Norma-norma dan etika-etika juga diciptakan untuk
mengakomodir fitrah manusia terhadap keindahan, ketertiban,
keserasian, dll. Rasulullah Saw. bersabda dalam salah satu
hadisnya, “Sesungguhnya Allah itu Indah dan mencintai
keindahan.”
Menurut Mahrus As’ad, dosen PPs STAIN Jurai Siwo
Lampung mengatakan bahwa Kulliyatul Mu’allimin Islamiyah
(KMI) Pondok Gontor mengedepankan azas ukhuwah,
kesederhanaan, dan kemasyarakatan untuk mendasari pendidikan
karakternya kepada santrinya agar mampu menyiapkan diri dalam
menghadapi tantangan global. Kyai Zarkasyi sendiri tidak pernah
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
secara eksplisit memberikan alasan mengapa. Namun, dengan
menggunakan logika Weberian tidak sulit untuk memperoleh
jawabannya, bahwa untuk mampu memasuki kehidupan global,
seorang santri memerlukan kesiapan diri dalam bentuk kecukupan
modal budaya bersifat moral-etik-spiritual yang selayaknya
dimiliki, yang oleh Kyai Zarkasyi dirumuskan dalam cakupan
sejumlah nilai-nilai dan sikap perilaku dasar, seperti ditetapkan
dalam konstruk pendidikan karakternya. Karena itu, bukan secara
kebetulan, bila Kyai Zarkasyi mendesign kurikulumnya
sedemikian rupa agar setiap unsur pendukungnya bekerja secara
terintegrasi guna memberikan para santrinya kesempatan
mengembangkan karakternya secara kuat dan utuh
Berdasarkan keterangan singkat di atas, nilai-nilai inilah
yang harus selalu ditempa dan ditanamkan dalam proses
pendidikan, baik pada tataran keluarga, lingkungan, maupun
sekolah. Sehingga, penanaman nilai-nilai tersebut diharapkan
akan menciptakan generasi-generasi penerus bangsa yang, tidak
sekadar menguasai bidang keilmuan praktis, melainkan kuat
secara karakter diri. Karena karakter yang mengakar kuat akan
menjadi benteng dari godaan-godaan menggunakan ilmunya dari
hal-hal yang negatif. Maka dari itu, diharapkan santri Pondok
Gontor adalah santri yang beriman dan bertakwa serta mampu
mengaplikasikan ilmu dan ketakwaannya ke dalam prilaku
sehari-hari. Seorang santri yang mampu mengintegrasikan
ilmunya yang mereka dapat di kelas atau tempat lain ke dalam
praksis kehidupannya.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Memang, perlu disadari bahwa awal pembentukan karakter
harus dipaksakan sebelum akhirnya para santri terbiasa
menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari, baik selama di
Pesantren maupun kelak di kehidupan luar Pondok. Ini berarti,
mereka mampu menerapkan hasil hubungan dengan Allah dalam
hablun minan nas dan hablun minal alam. Fakta ini sejalan
dengan teori karakteristik seorang Mukmin yang kompeten yang
digagas Hari Suderadjat. Karena proses pendidkan karakter itu
adalah sebuah proses panjang yang tidak terputus dari santri,
mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali. Bahkan, dalam
tidur pun ada banyak peraturan yang harus mereka jalankan,
seperti tidur harus memakai celana dan ikat pinggang, atau para
pengurus asrama tidak boleh tidur di dalam kamar untuk menjaga
anggotanya dari hal-hal yang tidak diinginkan, dan lain-lain.
Pada akhirnya, pendidikan semacam ini mampu
menghasilkan santri yang beriman dan bertakwa, serta
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Karakter
mereka akan muncul dalam semangat pantang menyerah dan
bekerja keras untuk mencari ilmu dengan mengharap ridha Allah
untuk dunia akhirat. Mereka dipersiapkan menjadi pribadi pemaaf
dan penolong, bermanfaat bagi orang lain, bersikap toleran dan
senang menyambung silaturahmi. Pribadi dan anggota masyarakat
yang tidak hanya saleh secara spiritual, tetapi juga memiliki
kesalehan sosial, sebagaimana diungkapkan dalam teori
pendidikan karakter Dedi Mulyasana. Mereka dididik menjadi
santri yang kompeten serta mampu mempertimbangkan aspek
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
integrasi pengetahuan (ilmu), nilai dan sikap (iman), dan
perbuatan (amal). Dalam definisi yang lebih operasional,
kompetensi lulusan adalah penguasaan dan pemililikan dalam
bidang ilmu pengetahuan (knowledge) dengan nilai-nilai akhlak
mulia (attitude) yang dapat diterapkan dalam kehidupan (skill)
serta dapat diamalkan secara saleh. Dengan demikian dapat
dinyatakan bahwa esensi dari Pesantren adalah pembinaan
kepribadian Muhsin, yakni melaksanakan ihsan dengan
sebenar-benarnya.
Menurut Thony selaku Direktur Pendidikan dan
Pengajaran Pesantren Modern Al-Manar dan Sekretaris IKPM
Gontor cab. Aceh menyatakan bahwa karakter islami yang
menjadi konsentrasi Islam dalam mendidik generasinya adalah
landasan dasar yang kuat untuk membentuk karakter yang berbudi
tinggi dan dapat diterima secara universal.
Dalam pembacaan yang lebih cermat, sebenarnya
gambaran karateristik santri hasil didikan Pondok Gontor itu
hampir sama dengan teori yang dikemukakan oleh Hari
Suderadjat. Ia menyatakan bahwa karakter lulusan lembaga
pendidikan Islam adalah sebagai berikut: 1) beriman dan bertakwa
kepada Allah; 2) memiliki keterampilan berpikir secara ilmiah; 3)
selalu mengamalkan ilmunya dalam rangka mengembangkan
konsep kebermaknaan bagi banyak orang; 4) mereka memiliki
kompetensi untuk memecahkan berbagai masalah dalam
kehidupan nyata.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Pernyataan di atas senada dengan harapan dari pendidikan
karakter sebagaimana digambarkan pada Pasal 1, ayat 1, UU
Sisdiknas, No 20 tahun 2003, yang menyatakan bahwa:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif bisa mengembangkan potensi dirinya; untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.
Gambaran di atas sejalan dengan suasana pendidikan yang
diciptakan di Pondok Gontor. Suasana pendidikan islami, yang
bisa mendidik siswa selama 24 jam penuh. Siswa menerima
pendidikan (pengasuhan) melalui berbagai jenis kegiatan mulai
dari bangun tidur sampai tidur kembali. Dengan menggunakan
sistem Boarding School dan pengelolaan organisasi self
government, nuansa lingkungan Pesantren 100% merupakan
suasana yang mendukung proses pendidikan dan pembelajaran.
Pembelajaran yang dikembangkan pun bagian dari pembelajaran
yang aktif, bukan pasif. Siswa tidak hanya duduk di dalam kelas
dan mendengarkan ceramah dari guru, melainkan aktif melakukan
berbagai kegiatan yang mengandung Hiden Curriculum yang sarat
dengan nilai-nilai. Dalam hal ini, Hari Suderadjat menyatakan
bahwa lulusan yang berkarakter kuat adalah lulusan yang cerdas
otaknya, lembut hatinya, dan terampil tangannya. Sementara
ukuran keberhasilan dalam membangun karakter dari Pondok
Gontor adalah kualitas kebermaknaan. Maka, semakin banyak
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
kebermaknaan yang bisa ia lakukan untuk orang banyak, semakin
baik karakter orang tersebut.
D. Hambatan Kyai Pondok Gontor dalam Penyelenggaraan
Pendidikan Karakter
Berdasarkan wawancara penulis dengan Kyai Pondok
Gontor, ada beberapa hambatan yang dijumpai Kyai dalam
menyelenggaran pendidikan karakter di Pondok Pesantren
tersebut, sekaligus tawaran interpretasi penulis, di antaranya:
1) Kedatangan santri dari seluruh pelosok Indonesia ini
memiliki keragaman budaya sehingga mereka datang
dengan membawa ukuran norma yang berbeda sesuai
dengan norma dan nilai yang dianutnya. Hal ini
menyebabkan proses pendidikan karakter memerlukan
waktu yang panjang. Pendidikan karakter islami harus bisa
mengikis karakter lokal yang negatif dan bertentangan
dengan karakter islami, seperti kebiasaan berbicara keras,
kasar, dan blak-blakan yang bisa menyinggung perasaan
orang lain. Namun demikian, keragaman budaya ini tidak
selamanya negatif. Banyak hal positif dari adanya
keragaman budaya tersebut. Kyai berusaha untuk
mengakomodir budaya tersebut, hingga para santri bisa
mengembangkan karakter Islam yang saling menghargai.
2) Para santri memiliki latar belakang sosial-ekonomi yang
beragam. Sering ditemui santri yang memiliki taraf
ekonomi kuat berlaku sombong. Maka, diperlukan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
pendidikan karakter santri yang bisa mengubah kebiasaan
perilaku tersebut. Sebaliknya, mereka yang berekonomi
lemah cenderung rendah diri, dan karenanya diperlukan
proses pendidikan yang bisa memperkuat rasa percaya diri
para santri tersebut. Maka, untuk mengembangkan bakat
dan rasa percaya diri santri, mereka dilatih dengan
berbagai keterampilan dan program magang serta latihan
kewirausahaan, seperti mengelola rumah makan, laundry,
kantin, toko buku, dan berbagai unit usaha pelayanan yang
bisa mempermudah kehidupan santri lainnya. Adanya
program magang bagi para santri di unit-unit usaha
tersebut bisa memberikan pengalaman baru bagi para
santri untuk mengembangkan jiwa bisnis dan
kewirausahaan.
3) Disebabkan jumlah santri yang cukup banyak maka
diperlukan sistem evaluasi bertingkat yang cukup baik.
Sistem delegasi dan pelaporan memerlukan perhatian
khusus dari kyai dan para guru. Sistem pembinaan dan
evaluasi bertingkat ini memberikan pengalaman baru bagi
santri senior untuk mempraktikkan ilmunya kepada santri
baru. Ini sekaligus menjadi media pembelajaran penting
bagaimana mengajar dan membimbing para santri lainnya.
4) Internet, HP, dan peralatan elektronik lainnya memberikan
pengaruh negatif pada karakter santri, seperti situs porno
dan lain-lain yang bisa merusak karakter santri. Akan
tetapi, persoalan ini bisa ditangani dengan baik dengan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
penerapan sistem boarding school. Karena itu, untuk
menyiasati hal ini diadakan forum-forum diskusi di antara
para santri, atau seminar-seminar yang mengundang
pembicara dari luar sehingga memberikan wahana bagi
para santri untuk memilah pengaruh negatif dan positif
dari arus globalisasi teknologi dan informasi tersebut.
Santri dihadapkan langsung pada beberapa pilihan, dengan
risiko yang harus dihadapi masing-masing santri. Santri
yang sering melanggar aturan Pesantren akan mendapat
hukuman atau sangsi yang keras dan tegas untuk dijadikan
bahan pembelajaran bagi santri lainnya.
5) Tuntutan dunia kerja dan orang tua terhadap lulusan
Pesantren yang semakin tinggi mengakibatkan kapasitas
pembelajaran di Pondok Gontor semakin keras dan
menimbulkan stress bagi sebagian santri. Selayaknya
tuntutan dunia kerja dan industri, dan tuntutan dari para
orang tua dijadikan dorongan positif bagi pihak Pesantren
untuk meningkatkan kompetensi dan karakter lulusan
Pesantren Gontor tersebut. Dalam hal ini kyai dan para
guru saat ini sudah berusaha merancang berbagai legalitas
pendidikan Pesantren sehingga lulusan bisa diterima di
berbagai instansi kerja atau instansi pendidikan.
6) Dengan adanya sistem asrama yang sangat ketat juga
menimbulkan kebosanan bagi sebagian santri. Karena itu,
tidak jarang santri sering pergi keluar dari lingkungan
asrama atau Pondok, dan memicu terjadinya pengaruh
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
buruk dari arus globalisasi dan informasi yang sangat kuat.
Untuk mengatasi kejadian ini, para guru merancang
program pengabdian untuk masyarakat sekitar. Para santri
bisa belajar langsung di luar Pesantren, seperti kegiatan
studi banding atau rihlah iqtisadiyah, dan lain-lain.
7) Sistem pendidikan karakter yang memerlukan biaya yang
sangat besar ini menuntut pengembangan beberapa unit
usaha oleh para guru di lingkungan Pesantren. Kondisi ini
sering menyita perhatian dan waktu guru untuk mendidik
siswa di Pondok atau di lingkungan Pesantren. Maka,
dengan adanya jumlah santri yang sangat banyak ini
memberikan peluang besar untuk menciptakan berbagai
unit usaha. Kesempatan ini telah diambil oleh Pondok
Pesantren Gontor sehingga segala keperluan santri tersedia
lengkap di lingkungan asrama atau Pesantren tersebut.
Kyai memberikan keluasan bagi para guru dan anggota
keluarga guru untuk terlibat di dalam pengembangan
berbagai unit usaha Pesantren tersebut.
8) Sistem kepemimpinan totalitas ini memiliki risiko yang
harus ditanggung oleh kyai, terutama dalam membagi
waktu antara kepentingan keluarga, yayasan, dan
pendidikan santri. Permasalahan ini sangat memerlukan
pengertian dan pengorbanan anggota keluarga Kyai. Bapak
Kyai, selain bertanggung jawab untuk mengembangkan
pendidikan karakter di lingkungan Pesantren juga
memiliki tanggung jawab besar untuk mengembangkan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
karakter islami bagi masyarakat dan para pejabat negara.
Maka dari itu, Kyai Gontor kerapkali di undang oleh
Departemen Agama, Departemen Pendidikan, atau
departemen-departemen lainya untuk memberikan nasihat
dan idenya dalam rangka pengembangan Islam dan
karakter islami.
E. Upaya-upaya Kyai Pondok Gontor dalam Mengatasi
Masalah Pada Proses Penyelengaraan Program
Pendidikan Karakter
Ada beberapa upaya yang dilakukan Kyai untuk mengatasi
berbagai hambatan di atas, antara lain:
1) Untuk mengatasi keragaman latar belakang calon santri, kyai
menyusun program oreintasi bagi para santri baru. Kegiatan
ini dilakukan oleh santri-santri yang lebih senior dan para
guru di Pondok Gontor tersebut. Para santri baru
diperkenalkan dengan budaya dan karakter islami yang sudah
dipraktikkan santri-santri senior di lingkungan Pesantren
tersebut. Keragaman latar belakang budaya santri ini lambat
laun akan menyatu dan mengerucut dalam karakter islami.
Selain itu, model kepemimpinan totalitas yang dipraktikkan
langsung kyai dan para guru di Pondok Pesantren tersebut
mempercepat proses akulturasi keislaman. Cara berbahasa
santun yang dicontohkan kyai dan para guru langsung
dicontoh oleh para santri yang memiliki ragam budaya
tersebut. Dengan demikian, pola pendidikan karakter yang
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
dikembangkan oleh Pondok Gontor bisa cepat merangsang
proses akulturasi dan membentuk karakter islami. Begitu juga
teori berbahasa santun yang dikembangkan oleh Sofyan Sauri
jelas merupakan bagian penting dari akhlak. Akhlak santri
yang baik bisa dilihat langsung dari sikap dan cara berbahasa
santri, baik bahasa lisan atau bahasa tubuh.
2) Bagi santri yang memiliki latar belakang ekonomi lemah
diberikan bantuan beasiswa baik dari yayasan internal Gontor
atau beasiswa dari pihak luar, seperti Departemen Agama,
pemerintah asing, dan universitas-universitas di luar negri.
Santri baru juga diperkenalkan dengan berbagai unit usaha
yang ada di lingkungan Pesantren. Mereka diperkenalkan
untuk magang dan mengembangkan unit usaha Pesantren. Ini
selaras dengan karakter islami yang dikembangkan oleh Dedi
Mulyasana yang menitikberatkan pada pengembangan
kewirausahaan. Karakter tersebut adalah beriman dan
bertakwa kepada Allah, bersikap sederhana, berlaku adil,
pemberi manfaat bagi sesama, gemar mencari ilmu, pekerja
keras, mencari ridha Allah Swt., mencintai Allah, Rasul, dan
sesama manusia; membenci perbuatan maksiat, mencari
dunia untuk akhirat, berjiwa penolong dan pemberi
kemudahan, berjiwa stabil (tidak cemas terhadap sesuatu
yang hilang dan tidak terlalu gembira terhadap apa yang
diperoleh); menjadi sumber ketentraman bagi sesama, ucapan
dan perbuatannya tidak merugikan orang lain, suka saling
mengingatkan dan saling menitipkan diri; bersikap toleran
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
terhadap sesama, pemaaf dan penyambung silaturahmi,
menjadi pribadi dan masyarakat sholeh. Semua karakter itu
merupakan nilai-nilai yang dibutuhkan seorang wirausahawan
yang unggul.
3) Untuk mengontrol, mengevaluasi dan mengawasi santri yang
jumlahnya banyak, Kyai dan pengasuh membuat program
pembinaan dan evaluasi bertingkat. Artinya sebagian
kewenangan para guru didelegasikan kepada para santri
senior untuk membina santri yang lebih yunior. Metode ini
selain untuk memperketat sistem pengawasan pendidikan
karakter, juga untuk meringankan beban Pesantren dalam
penyediaan insentif guru. Sistem evaluasi yang
dikembangkan di Pondok Pesantren Gontor tersebut sangat
sesuai dengan sistem evaluasi yang dikembangkan oleh Kirk
Patrik dan Dilts. Sistem evaluasi bertingkat itu, betul-betul
menjamin adanya evaluasi terhadap: 1) evaluasi rekasi; 2)
evaluasi proses belajar yang baik; 3) evaluasi terhadap
perubahan sikap dan tingkah laku; 4) evaluasi pada
perubahan kualitas hidup. Dari gambaran di atas, jelas bahwa
totalitas kepemimpinan berpengaruh terhadap totalitas sistem
pendidikan, sekaligus totalitas sistem evaluasi. Hal ini
merupakan kelebihan dan hal positif yang dimiliki oleh
Pondok Pesantren Gontor.
4) Dengan adanya internet, HP, dan peralatan elektronik lainnya,
sangat sulit untuk mencegah dan membatasi arus informasi
yang beredar. Upaya pencegahan tidak cukup dengan sistem
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
boarding school saja. Maka, Kyai merancang program
penguatan dari dalam jiwa santri. Beberapa diskusi
diselenggarakan untuk membahas dan menyadarkan para
santri tentang bahaya pengaruh negatif globalisasi informasi
tersebut. Pengaruh negatif dari luar memang tidak bisa
dihindari, tetapi pasti bisa diatasi dengan derasnya pengaruh
positif dari proses pembelajaran, termasuk pembelajaran
tentang karakter islami yang dijalankan di Pesantren tersebut.
Hal ini sesuai dengan teori karakteristik seorang Mukmin
kompeten yang dikembangkan oleh Hari Suderadjat. Dalam
teorinya, ia menekankan adanya integrasi ajaran Islam secara
total pada kehidupan setiap siswa atau santri. Beriman dan
bertakwa kepada Allah Swt. dengan selalu mengingat Allah
Swt. Maka, pengaruh positif akan mengalir deras pada siswa
yang memiliki karakter sebagai berikut: 1) selalu memikirkan
fenomena alam sehingga memeroleh konsep-konsep
keilmuan dan teknologi untuk digunakan dalam kehidupan
sehari-hari; 2) dalam mengamalkan ilmunya selalu
berorientasi kepada kebermaknaan bagi orang lain; 3) dalam
kehidupannya, mereka yang kompeten selalu berhati-hati.
Khawatir berbuat kesalahan yang akan menyeretnya ke azab
neraka. Oleh karena itu, mereka selalu berusaha untuk
berpegang pada tali Allah Swt yaitu al-Quran.
a. Untuk meningkatkan kompetensi santri, kyai beserta para
guru merancang program magang dan kegiatan koprasi atau
kewirausahaan dengan para santri. Kegiatan ini diharapkan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
santri memiliki jiwa kewirausahaan yang cukup tinggi setelah
lulus dari Pesantren tersebut.
5) Untuk menghindari kebosanan dengan adanya program
asrama atau boarding system, kyai dan para guru merancang
program libur yang cukup bagi para santri. Dengan begitu
mereka masih bisa berkunjung ke kampung dan keluarganya.
Selain itu, Kyai juga mempersilakan para orang tua untuk
menengok anaknya di lingkungan Pesantren, dengan aturan
tertentu yang sudah ditentukan pihak Pesantren.
6) Untuk menyiasati tingginya biaya program pendidikan
karakter maka Kyai dengan jajaran staf Pondok Gontor
menampun pendanaan dari berbagai sumber. Misalnya dari
pengembangan unit-unit usaha Pesantren, penerimaan hibah,
zakat, wakaf atau sumber donatur lainnya, termasuk alumni
Pondok Gontor. Sehingga hambatan dan kesulitan berkenaan
dengan biaya bisa diatasi dengan baik. Pengembangan
unit-unit usaha Pesantren ini juga melibatkan para anggota
keluarga guru sehingga lambat-laun bisa meningkatkan
kesejahtraan para guru dan keluarganya, sekaligus bisa
menghemat anggaran Pesantren.
7) Sistem kepemimpinan totalitas memiliki risiko yang harus
ditanggung Kyai, terutama dalam membagi waktu antara
kepentingan keluarga, yayasan, dan pendidikan santri. Karena
itu, Kyai harus mengembangkan Keterampilan
mengembangkan seni kepemimpinan, termasuk seni
mendelegasikan tugas. Kemampuan untuk membantu kyai
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
dan para guru dalam mengatur waktu dan tanaga sehingga
anggota keluarga masih tetap bisa teperhatikan. Untuk urusan
pembelajaran ini, Kyai memberikan kewenangan penuh pada
para guru dan santri senior. Akan tetapi, untuk urusan
monitoring dan pengelolaan anggaran kyai menanganinya
secara langsung. Demikian pula untuk urusan kesejahtraan
guru dan para anggota keluarganya. Maka, tidak heran jika
kyai sering berkeliling ke rumah-rumah guru untuk melihat
kondisi anggota keluarganya.
Selain itu, ada beberapa upaya yang dilakukan Kyai
Pondok Gontor dalam menyelenggarakan program pendidikan
karakter, di antaranya :
1. Bapak kyai melakukan pendidikan karakter pada diri dan
keluarganya sehingga ia menjadi figur dan suri tauladan
secara langsung.
2. Bapak kyai membangun sistem pembelajaran dan program
dengan persetujuan dewan wakaf yang ada di Pondok
Pesantren tersebut.
3. Bapak kyai dengan para guru serta para santri senior
melakukan ceramah dan pengembangan pendidikan agama
bagi masyarakat. Agenda ini cukup menjadi media
pembelajaran bagi para santri dalam mengamalkan
ilmuanya.
4. Bapak kyai juga bekerja sebagai tenaga ahli dari di
Kementrian Agama untuk memberikan warna karakter
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
keislaman pada para pejabat terkait sekaligus menggali
dana/beasiswa.
5. Bapak kyai juga melakukan kerjasama untuk
mempermudah jalur beasiswa dan menggali berbagai
sumber donor bagi kemajuan program pendidikan karakter
di internal Pondok Gontor.
Apa dilakukan kyai bisa dilhat pada bagan di bawah ini:
Jika kita perhatikan gambar di atas tampak bahwa
implementasi gaya kepemimpinan kyai seperti K.H. Abdullah
Syukri Zarkasyi dalam pendidikan karakter secara total
menyentuh diri dan keluarganya. Teladan bagi Pondok yang
Gambar
Implementasi Gaya Kepemimpinan Totalitas
Pimpinan Gontor dalam Pendidikan Karakter.
ALLAH Lembaga
Pesantren
Desa
Diri & Keluarga
Pemerintah
RI
Org. Massa
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
dipimpinnya terimplementasikan dalam kehidupan masyarakat di
sekitarnya, dan ternegosiasikan dalam dunia kerja, partai politik,
pemerintahan, dan berbagai lembaga pendidikan Islam. Semua itu
sebagai perwujudan dari hubungannya dengan Allah Swt.
Maka, sejalan dengan gaya kepemimpinannya, berbagai
upaya telah dilakukan oleh kyai untuk membangun karakter, baik
karakter diri, karakter keluarga kyai dan keluarga pendiri, karakter
para guru dan keluarganya, karakter masyarakat sekitar, karakter
para pejabat, serta pihak-pihak yang memiliki hubungan
kerjasama dengan Pesantren.
Kepemimpinan totalitas yang dilakukan Kyai memiliki
dua dimensi: 1) Dimensi internal diri, keluarga, dan Pondok
Gontor; 2) Dimensi masyarakat di luar Pondok Gontor, termasuk
di dalamnya masyarakat, partai politik, pejabat negara, dan
instutisi luar negeri.
Kepemimpinan merupakan bagian dari manajemen. Dalam
hal ini, manajemen Sumber Daya Manusia yang berhubungan
langsung dengan kelangsungan hidup Pondok Gontor. Pimpinan
Pondok Gontor harus mampu mentransformasikan visi dan misi
pendidikan di Pondok kepada orang-orang di sekitarnya, agar alur
instruksi dan koordinasinya dapat berjalan dengan efektif dan
efisien. Dengan upaya tersebut tujuan pendidikan karakter dapat
diraih dengan sempurna sesuai dengan amanat yang tertulis dalam
Piagam Badan Wakaf. Pimpinan Pondok Gontor juga selalu
menyampaikan visi dan misi pendidikan di setiap kesempatan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
kepada penghuni Pondok Gontor agar tidak melenceng dari apa
yang telah ditetapkan para pendiri dalam Piagam badan wakaf.
Selain memahamkan kepada internal Pondok Gontor yang
terdiri dari santri dan keluarga, Pimpinan juga selalu
menyampaikan visi dan misi pendidikan di Pondok Gontor
kepada pihak eksternal Pondok Gontor yang terdiri dari wali
santri, masyarakat, dan pemerintah. Tujuannya, agar semua pihak
dapat memahami tujuan pendidikan di Pondok Gontor dengan
segala aktivitas kesehariannya, dan supaya meminimalisir
kesalahpahaman proses pendidikan Pondok Gontor. Karena
akhir-akhir ini Pondok Gontor sering dijadikan kambing hitam,
serta menjadi tempat pengembangan paham-paham negatif.
Dengan usaha memahamkan kondisi Pesantren yang
sesungguhnya, pada akhirnya Pondok Gontor berikut
Pesantren-Pesantren lainnya mendapatkan pengakuan kesetaraan
dan hal-hal lain yang mendukung pengembangan pendidikan di
Pondok Pesantren.
Adapun implikasi dari menjalin hubungan baik dengan
pihak eksternal adalah diterimanya pengakuan kesetaraan
(mu’adalah) dari berbagai Lembaga pendidikan untuk alumni
Pondok Gontor, baik di dalam maupun luar negeri. Bentuk
pengakuan kesetaraan ini merupakan salah satu bukti nyata atas
kemampuan alumni yang tidak hanya menitikberatkan
kemampuan akademis semata, tetapi ditambah dengan
kemampuan berbahasa dan berorganisasi sebagai bentuk life skill.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Pengakuan kesetaraan ini pun tidak sampai merubah kurikulum
yang telah dijalankan selama bertahun-tahun.
Berikut adalah skema yang menggambarkan alur
transformasi nilai dalam pendidikan karakter. Skema ini sekaligus
mengilustrasikan bentuk gaya kepemimpinan totalitas Pimpinan
Pondok Gontor.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Skema Pendidikan di Pondok Gontor
Berikut Alur Transformasinya.
Sumber. Slide Ke Pondok Modernan, Tidak Diterbitkan
Skema Alur Metode Transformasi Nilai-Nilai Pesantren
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Sumber. Slide KePondok Modernan, Tidak diterbitkan.
Berdasarkan kedua skema di atas, semakin jelas bahwa
upaya yang sudah dilakukan oleh Kyai Pondok Gontor memiliki
dimensi yang sangat luas sehingga memberikan pengaruh
langsung maupun tidak langsung pada kualitas manajemen
pendidikan internal Pondok Gontor. Juga sangat berpengaruh
pada kualitas lulusan santri Pondok Gontor. Pengaplikasian
nilai-nilai teologi, logis, teleologis, etis, estetis dan ekonomis ini
langsung dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, di lingkungan
Pesantren atau di luar lingkungan Pesantren.
Dari tulisan ini, kita dapat mengetahui gaya kepemimpinan
totalitas Kyai Pesantren dalam pendidikan karakter. Ini juga akan
memberikan implikasi bahwa pendidikan karakter di berbagai
lembaga pendidikan akan efektif jika pemimpin dan para gurunya
menjadi suri tauladan bagi semua santrinya.
Salah satu contoh tauladan adalah almarhum KH. Imam
Badri salah satu Pimpinan Pondok Gontor, yang sebelumnya
pernah menjadi Direktur KMI sebagaimana ditulis oleh Darul
Akhyar, diungkapkan bahwa KH. Imam Badri bisa disebut
sebagai "Guru Bangsa". Alasan ini bukan karena beliau pernah
menjadi Ketua MPR/DPR RI tetapi karena disebabkan sifat
filantrofis yang beliau contohkan. Salah satu teladan yg pernah
beliau ajarkan adalah: Pernah suatu hari ditahun 2003 beliau
memanggil seorang guru KMI untuk menerima amanah beliau,
berupa sejumlah uang yang harus diberikan kepada salah seorang
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
santri kelas 6 KMI untuk melunasi tunggakan SPP-nya agar bisa
mengikuti ujian akhir, Kalau sekarang santri yang ditolong
tersebut sudah punya Pondok lalu dia adopsi sifat filantrofis
gurunya itu lalu ditularkan lagi kepada santri-santrinya, sudah
berapa banyak orang yang tertular "virus" hidup penuh dengan
rasa cinta tanpa tujuan politis.(
https://www/alumnidarussalampos/)
Keseluruhan nilai yang diwujudkan dalam bentuk karakter
harus terlebih dahulu terinternalisasi ke dalam sikap dan perilaku
pemimpinnya. Setelah itu, akan bisa mewarnai karakter bawahan
dan santrinya, dan karakter ini akan terekpresikan dalam bentuk
kepribadian mereka.
Adapun metode pendidikan totalitas dalam membangun
karakter santri akan lebih efektif jika diwujudkan dalam bentuk
asrama atau boarding school. Dengan sistem ini lingkungan
belajar yang 100% mendukung pendidikan karakter tersebut.
Waktu yang digunakan untuk pendidikan karakter adalah 24 jam
per hari. efektivitas pendidikan karakter model ini jauh lebih
efektif dibanding dengan model sekolah biasa (non-Boarding
School). Metode ini berdasarkan konsep Tri Pusat Pendidikan,
yang mana rumah, sekolah, dan lingkungan terintegrasi menjadi
satu dalam pembentukan karakter santri. Dalam hal ini, asrama,
sekolah, dan lingkungan Pesantren, memegang peranan penting
dalam pendidikan karakter santri. Ketiga hal tersebut harus
berpegang pada prinsip; apa yang didengar, dilihat, dikerjakan dan
dirasakan harus mempunyai nilai pendidikan.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Ada sejumlah keunggulan yang dimiliki pendidikan
Pondok Pesantren sehingga mampu membekasi pondasi kuat
karakter bangsa beradab dan berkeadaban menurut Aziz
Fahrurrozi, salah satu Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, yaitu di Pesantren Belajar 24 jam, proses internalisasi
dan pembiasaan ketepatan ibadah ritual maupun sosial mudah
terbentuk, interaksi santri kiyai tanpa jarak dan birokrasi,
tumbuhnya kesadaran tinggi bahwa harus pulang ke desa dengan
membawa kesuksesan ilmu, pola kedisiplinan dan hidup
sederhana terbentuk oleh kultur dan yang terakhir yang dibangun
jiwa sebelum raga.
Sementara itu, metode pembelajaran karakter di Pondok
Gontor adalah metode pembelajaran melalui keteladanan,
pengasuhan, pembiasaan, pelatihan, dan keterlibatan dalam
berbagai kegiatan, serta metode pemberian hadiah dan hukuman.
Penggunaan metode ini memberikan konsekuensi keterlibatan
secara penuh dari para guru dan kyai dalam seluruh aspek
kehidupan santri selama 24 jam penuh. Maka, tidak jarang para
guru mengontrol langsung ke kobong-kobong asrama pada malam
hari untuk memantau langsung kegiatan malam para santri.
Metode ini juga memberikan konsekuensi logis adanya sitem
kurikulum yang terpadu antara pengembangan pengetahuan sikap,
keterampilan para santri, serta pelibatan 6 nilai ke dalam seluruh
aspek kehidupan santri. Penilaian keberhasilan proses pendidikan
dilakukan dengan sistem monitoring dan evaluasi bertingkat dari
para santri yang ada, mulai santri yunior sampai santri senior.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Semua apa yang diterapkan oleh Nabi Muhammad SAW
dalam kehidupan kaum muslimin, benar-benar telah diterapkan
oleh Pondok Gontor dalam kehidupannya sehari-hari secara utuh
tidak sepenggal-penggal saja, tidak syariatnya saja, tidak Ihsannya
saja, tetapi Iman, Islam dan Ihsan berpadu dalam derap langkah
hidup Pondok dan belum ditemukan sistem kehidupan yang
menjalankan pola hidup seperti ini di luar Pondok sebagaimana
yang diungkapkan oleh Dui Yanto Rohman, dosen Fakultas
Sains dan Teknologi Universitas Jambi.
Pada akhirnya, diharapkan dari pendidikan karakter ini
santri mempunyai kompetensi yang terintegrasi, dari pengetahuan
(ilmu), nilai dan sikap (iman) dan perbuatan (amal) beserta ilmu
yang bermanfaat. Semua ini terangkum dalam motto, orientasi,
sintesa, dan falsafah Pondok Gontor. Sedangkan yang menjadi
tolok ukur keberhasilannya adalah nilai kebermanfaatan.
Implikasinya, pendidikan karakter dan soft skill harus mendapat
porsi lebih besar dari keseluruhan proses pendidikan di Pesantren
atau lembaga pendidikan lainnya.[]
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
BAGIAN VI
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
KEKHUSUSAN (KHAS) PONDOK GONTOR
DIBANDINGKAN DENGAN PONDOK LAINNYA.
a. Kemandirian Pondok Gontor.
Pondok Gontor selalu menekankan kepada santri,
guru serta kyainya sendiri akan falsafah organisasi
khususnya selama di berada di di Pesantren yaitu “Pondok
Gontor berdiri di atas dan untuk semua golongan”, dan
“sebagai perekat umat”. Kemandirian Pondok Gontor selalu
disampaikan oleh Pimpinan Pondok, hal ini dilakukan agar
nilai-nilai yang terkandung dapat meresap dan menjadi
karakter dalam diri santri dan guru. Berikut nilai-nilai
kemandirian Pondok Gontor : 1. Kemandirian Lembaga 2.
Organisasi 3. Sistem, 4. Manusia (SDM), 5. Dana.
Berikut adalah contoh kiprah para alumni Pondok Gontor
dan bukti kemandirian, terlepas dari apa yang dijalani oleh para
alumninya atau program-program pemerintah yang dinilai akan
merubah nilai dan sunnah Pondok Gontor :
1) Dalam Organisasi masyarakat baik itu NU,
Muhammadiyah ataupun Persis dan lainnya. Pesantren
Gontor tidak berafiliasi / mengikuti organisasi
masyarakat tertentu walaupun ada alumninya menjadi
pengurus sebab Pondok Gontor berdasarkan Mottonya
: di atas dan untuk semua golongan.
2) Tidak Berpartai.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Pondok Gontor adalah lembaga pendidikan murni
yang tidak berafiliasi kepada partai politik ataupun
organisasi kemasyarakatan apapun. Sehingga para
pemuda yang berasal dari latar belakang organisasi
apapun dapat menjadi santri Pondok Gontor dan
menuntut ilmu di dalamnya. Bahkan putra-putri dari
para tokoh organisasi besar di Indonesia banyak yang
menjadi santri Pondok Gontor. KH. Ahmad Sahal,
salah satu pendiri Pondok Gontor, menegaskan,
“Meskipun semua santri dan guru di Pondok ini adalah
anak orang Muhammadiyah, Pondok ini tidak akan
berubah menjadi Muhammadiyah. Dan meskipun
semua santri dan guru di Pondok ini adalah anak orang
Nahdhatul Ulama, Pondok ini tidak akan pernah
berubah menjadi Nahdhatul Ulama.” Dengan
semboyan “Pondok Gontor di atas dan untuk semua
golongan,” lembaga ini mendidik santrinya untuk
menjadi perekat ummat yang berpikiran bebas. Dengan
terbebasnya Pondok Gontor dari muatan politis dan
kepentingan golongan, jiwa keikhlasan dalam belajar
dan mengajar dapat mengakar di jiwa para santri dan
guru.Dengan jalan demikian, sekeluar anak dari
didikan Pondok Gontor, mereka bebas dalam memilih
faham/aliran, tanpa mengurangi prinsipnya sebagai
seorang mukmin.
238
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Tidak mengikuti partai politik dan organisasi
masyarakat tertentu walaupun salah satu
pimpinanannya atau pengurusnya adalah alumni
Pondok Gontor dan masih ada yang lain yang tidak
mengungkapkan jati dirinya sebagai alumni Pondok
Gontor dan alumni akan melepaskan “baju” mereka
ketika berkunjung ke almamater. Terjadinya gesekan
dan benturan tatkala calon presiden atau pimpinan
organisasi partai politik dari alumni Pondok Gontor
ketika bersilaturahmi ke Pondok Gontor untuk
mendapat dukungan, namun Pondok Gontor tetap
komiten dengan falsafah organisasinya yaitu tidak
berpolitik praktis.
3) Ujian Negara yang diadakan pemerintah yang harus
diikuti oleh siswa yang akan masuk perguruan tinggi
namun Pondok Gontor tetap bertahan untuk tidak
mengikuti ujian Negara sebab menganggap bahwa
pendidikan dan pengajaran sudah cukup tanpa
mengikuti ujian Negara apalagi Pesantren sudah
mendapatkan mua’dalah / persamaan dari pemerintah.
Mulai tahun 1926 sampai 1999 alumni Pondok Gontor
tidak diakui oleh Pemerintah (selama 78 tahun), baru
pada tahun 1999 Pondok Gontor mendapat pengakuan
dari Pemerintah lewat Kemenag RI bahwa KMI
/alumni Pondok Gontor diakui setara dengan MA.
Selanjutnya pada tahun 2004 Pondok Gontor mendapat
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
pengakuan persamaan dengan SMU sehingga tidak
perlu mengikuti UAN /UN sebagaimana surat
pengakuan dari Direktur Jenderal Pendidikan Dasar
dan Menengah No. 2414/0/ MN/2004 dan pada tahun
2004 terdapat perkembangan pengakuan (akreditasi)
terhadap 17 KMI/TMI Pesantren dengan surat
pengakuan dari Direktur Jenderal Pendidikan Dasar
dan Menengah No.2282/C.C4/MN/2005 bahwa 17
KMI /TMI Pondok Pesantren dinyatakan setara dengan
SMU dan MA. Semua pengakuan kesetaraan lulusan
ini tidak sampai merubah kurikulum yang ada dan
telah berjalan selama puluhan tahun. Pondok Gontor
akan lebih memilih tidak diakui oleh Pemerintah atau
Lembaga pendidikan tinggi lainnya baik dari dalam
dan luar negeri jika salah satu syarat pengakuannya
adalah perubahan atau penyesuaian kurikulum.
Pengakuan kesetaraan alumni Pondok Gontor juga
didapatkan dari berbagai Lembaga Pendidikan Tinggi
baik dari dalam maupun luar negeri tanpa harus
merubah kurikulum yang ada. Hal ini merupakan bukti
nyata pengakuan kesetaraan alumni Pondok Gontor
dan kualitas lulusan yang tidak hanya memmiliki
kemampuan akademis juga life skill yang baik,
dimana semua itu merupakan bagian dari kurikulum
proses pendidikan Pondok Gontor yang telah
dijalankan berpuluh tahun, baik yang tertulis maupun
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
hidden curriculum yang terkandung dalam kegiatan
non-akademik.
Selanjutnya, pengakuan kesetaraan alumni Pondok
Gontor juga merupakan bukti suksesnya proses
transformasi visi dan misi Pondok Gontor Tinggi baik
di dalam dan luar negeri yang dibangun oleh Pimpinan
Pondok Gontor dengan pihak-pihak Pemerintah dan
pengelola Perguruan, dapat dibaca juga tulisan Iskandar
Zulkarnaen: Di Gontor, Tidak Ada Ujian Nasional!
(https://www.tulisandanceritagontor/)
b. Pondok Gontor Pusat mendirikan Pesantren Cabang
Pondok Gontor.
Pada awalnya, terjadi pergesakan dalam semangat
Pondok Gontor ketika mendirikan beberapa cabang Pondok
Gontor yang langsung dikelola alumni terbaik Pondok
Gontor di bawah binaan langsung oleh Pimpinan Pondok
Gontor Pusat sehingga banyak Pesantren alumni yang
didirikan oleh alumni mengalami kekurangan santri baru
yang masuk ke Pesantren alumni. Hal ini dilakukan oleh
Pondok Gontor akibat dari banyaknya animo masyarakat
yang ingin memasukkan anaknya di Pondok Gontor dengan
keterbatasan fasiltas yang tersedia di kampus Pesantren
Gontor Pusat, dari banyaknya Pondok Pesantren yang tidak
atau kurang memahami konsep dan ide pendidikan serta
tidak loyal dalam mengikuti nilai, visi dan misi Pondok
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Gontor pusat. Bahkan malah mengikuti dan berafiliasi
dengan organisasi masyarakat tertentu bahkan partai politik
bahkan pendidikan campuran, laki-laki dan perempuan
dalam asrama yang berdekatan, pendidikan seperti ini tidak
mencerminkan pendidikan kepemimpinan serta ada Pondok
Pesantren alumni memberlakukan Ujian Negara secara
institusional dengan merubah seperangkat kurikulum inti
Pondok Pesantren.
a. Kaderisasi Pondok Gontor
1. Kaderisasi menjadi sangat penting bagi kelangsungan
lembaga, sejarah memberikan pelajaran bahwa banyak
lembaga Pesantren yang mati karena proses kaderisasi
sangat lemah. Tanpa disadari setelah banyaknya kader
yang terbaiknya, alumni dari dalam maupun luar negeri,
maka pimpinan Pesantren memberikan amanah dan
kebijakan untuk menempatkan mereka di Pondok
Pesantren cabang atau diberi amanah untuk mengelola
lembaga-lembaga yang ada di Pondok Gontor. Pelaksana
kaderisasi di Pondok Gontor secara langsung telah
dilakukan seperti pengarahan, pendekatan, motivasi,
penugasan, evaluasi sehingga hasilnya diharapkan mampu
terlatih dan teruji bukan hanya lahir tetapi juga batinnya.
Dengan demikian Pondok Gontor terus melaksanakan
kaderisasi sebagai suprastruktur penting terhadap suksesi
kepemimpinan Pesantren, dan Pondok Gontor tidak
melakukan suksesi kepemimpinan secara geoneologis
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
terbukti salah satu pimpinan Pondok Gontor bukan dari
keturunan kyai begitu juga Pondok Pesantren cabang
seperti KH. Imam Badri dan KH. Syamsul Hadi Abdan
sebagai salah satu Pimpinan Pondok Gontor. selain itu
ada juga kader lainnya seperti: Hanif hafidz, Mahbub,
Abdul Munif, M. Adib Fuadi Nuriz, H. Setiawan Lahuri,
Hj. Afifah Bidayah Syukri, Kholid Muslih, M.A. Hafidz
al -Kindi, Mukhlason Jalaluddin, Dhiyaul Haq, Husni
Dzahaby, Nazeeh Masyhudi, Roid Umami, Ana
Maraatu-S- Sholihah, Agung Setiawan, Fella Attaqy,
Sugeng, Muhammad Adnan Asysyahibi, Fadlurrahman,
Ahmad Fauzi Hidayatullah, Hariyanto Abdul Jalal, Yudi
Afifuddin, Zahra ‘Izzaty Rosy dan masih banyak lagi.
Sebelumnya alumni yang menjadi kader Pondok
Gontor adalah KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, KH. Hasan
Abdullah Sahal, Gontor, KH. Imam Subakir Ahmad, KH.
Imam Badri (Wafat), KH. Sutaji Tajuddin (Wafat), Ahmad
Hidayatullah Zarkasyi, Hamid Fahmi Zarkasyi, Amal
Fathullah Zarkasyi, Akrim Mariyat, Nasrullah Zainul
Mutaqin Zarkasyi, Muhammad Ridha Zarkasyi, Zainal
Arifin Abdullah, Noor Syahid Boyaman, Muhtarom
Muhammad Salim, Muhammad Damiri Fadil, (wafat), H.
Muhammad Ghufron ZA, (wafat), Jemani Hasan, Imam
Muhtar, Sunanto, Suroso Hadi Supian Syamsul Hadi
Abdan, Muhyiddin Sibun, (wafat), Djamaluddin (wafat),
Abdullah Rofi’i, Edi Kusnanto, Ismail, Mujiono Suparno,
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Muhammad Mubarok, H. Syamsuddin Basyri, Sutrisno
Ahmad, Heru Wahyudi, Ahmad Suharto, Murshodiq,
Muhammad Ma’ruf Ch, H. Imam Sukadi, H. Syamsul
Hadi Untung, Umar Said Wijaya, Muhammad Suja’i,
Abdur Rahim Soleh, H. Tarwichi, Masyhudi Subari, Ali
Syukrowi, (wafat), Muhammad Ilyas, Imam Sobari, Y.
Suyoto Arif, Abu Darda’, Anwar Boyaman, KH.
Muhammad Hudaya, H. Noor Hasyim, H. Farid Sulistiyo,
H. Imam Kamaluddin, Hj. Roshda Diana Subakir, Alfiyah
Rahmawati Hidana Hamdi, H. Nasruddin Mustaqim,
H.Husnan Rusydi Bey Fanani, H. Imam Bahroni,
H.Wahyudi Bakri, H.Mulyono Jamal, H. Imam Iskarom,
H.Fairuz Subakir Ahmad, Zaini Hasan , Setiawan Lahuri,
Afifah Bidayah Abdullah Syukri, Asif Trisnanti Katiman,
Silvi Surayya Sahar Sutaji, Sururi Mustaqim, Sunarto,
Ismail Budi Prasetyo Mahmud, Dihyatun Masqon,
Damanhuri, Syaiful Anwar, Rahmatullah Furqon, Suyanto,
Hamim Syuhada’, Husni Kamil, Jarman Arrosi, Agus
Mulyana, Sabar, Muhammad Fathan Aziz, Abdul Munif
Sirman, Muhammad Nur Jalaluddin, Sunan Autad Sarjana
bin Hartono, Mahbub Al-Aziz, Nurcholis Hafizh, (Wafat),
Suwarno TM, H. Syarif Abadi, Rif’at Husnul Ma’afi,
Himmah Azhar Latif, Witoto, Suwito Mujari, Nur Hadi
Ihsan, Nadirman, Sukamto, Muhammad Afif Hamidi ,
Surnyato Harjokamsini, Agus Nur Yusuf, Azmi Syukri
Zarkasyi, Riza Azhari Syukri, Ronal, Dian Fitrianti, Agus
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Budiman, Sujiat Zubaidi, Ahmad Syaifullah, Jumhurul
Umami, Heru Prasetiawan, Azizah Akbar Rahmawati, Indi
Rodliyah, Kholid Karomi, Firdaus, Suraji Badi’, Eko Nur
Cahyo, Muhammad Ridwan, Lauhan Achda Sarjana,
Vindi Khusnul Khuluq, Sugeng haryadi, Aripudin,
Abdullah Syukron, Djumiati, Salis Masrukhin, Ahmad
Setiyono, Nurwaini Saleh, Muhammad Zaqiuddin,
Muhammad Mustafa, Muhammad Fauzi, Muhammad
Taufiq Afandi, Bambang Setyo Utomo, Didik Haryono,
Heri Ahmadi, Bambang Nur Cholis, Muhammad Akrimul
Hakim, Yudi Afifuddin, Muhlason Jalaluddin, Khalid
Muslih, Nurcholis Mu’t, Muhammad Husein (wafat),
H.Haryanto Abdul Jalal, Nurhadi, Hifni Nafis, Indra
Darusman, Mustar, Aris Helwi Hulaiwi, .Suwarni,
Muhammad Henri, Muhib Huda Muhammadi, Fawwaz
Ahmad Zarkasyi. Ervan Sukoco, Rona Rinarwan Diny,
Nur Wahyuddin, Mujib Abdurrahman Laola Ba’du
Wawa, Nurul Salis Alamin, Achmad Faisal Syahruddin,
Alif Cahya Setiadi, Alyaunnisa, H. Mulyono Jamal, Sujiat
Zubaidi Saleh, H. M. Badrun Syahir. Wahyudi Bakri, H.
Imam Bahroni, H. Setiawan Lahuri,. H. Y. Suyoto Arif, H.
Khairul Umam, H. Abdul Hafidz Zaid, Sumayya Meilani,
Neneng Uswatun Hasanah, H.Ahmad Suharto, Farid
Sulistyo, Amaluddin, H.Aan Rifanto Nazeeh Masyhudi,
Adnan Asyahibi, Sugeng, Husni Dzahaby, dan M
Fadlurrahman (http://www.wardun.gontor.ac.id diakses
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
tanggal 8 maret 2013 ) dan masih banyak lagi yang belum
terdata oleh penulis.
“Patah tumbuh hilang berganti. Sebelum patah
sudah tumbuh sebelum hilang sudah berganti,” demikian
salah satu slogan Gontor yang terkenal. Hal dimaksud
adalah kaderisasi, yakni salah satu jangka dari Panca
Jangka Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) atau
Pondok Gontor Demi kelangsungan hidup Pondok serta
tegaknya cita-cita pendiri, kaderisasi mutlak dipikirkan
dan dilaksanakan. Wujud kaderisasi di PMDG adalah
dengan memberi kesempatan belajar seluas-luasnya
kepada para kader, baik di dalam maupun di luar negeri;
pada level S1, S2 maupun S3.
b. Corak alumni Pondok Gontor
Dalam usianya yang lebih 80 tahun, Pondok Gontor telah
melahirkan banyak alumninya yang dengan caranya
sendiri-sendiri telah memberikan kontribusi begitu besar bagi
bangsa Indonesia. Pemimpin Pondok Pesantren Modern Gontor
Ponorogo, KH Abdullah Syukri Zarkasyi mengemukakan bahwa
lembaga pendidikan yang dipimpinnya telah melahirkan tokoh
beragam warna, termasuk yang moderat dan garis keras.
(http://www.pelita.or.id/baca.php). Mereka tetap memegang sifat
karakter yang diajarkan oleh Pondok Gontor, adapun corak
alumni yang terjun ke masyarakat baik di Pemerintahan maupun
organisasi lainnya seperti :
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
 Idham Kholid sebagai ketua PBNU dan ketua
MPRS/DPRS merangkap Perdana Mentri, dengan
Nasionalismenya.
 Hidayat Nur Wahid sebagai Ketua MPR RI dan sekarang
menjadi Wakil Ketua MPR RI.
 Lukman Saifuddin Zuhri sebagai Mentri Agama RI
 Husnan Bey Fanani, Musleh kholil, Marbawi katon,
Ahmad Himawan, Lukman Saifuddin Zuhri, Kuntum
Khaira Basa, Eko Furqoni, Yosef Saeful Akbar,
Muhammad Ma’ruf, Zaenal Mutaqin, Herman Kamal,
Muhammad Abdurrahman, Ispiraini, Ade Munadi Husin
Muhammad Sholihin, Abdul Gofur, dengan kegiatan
partainya.
 Abu Bakar Ba’asyir dan organisasi gerakan tauhidnya,
(majlis Mujahidn), Emha Ainun Najib dan Sirojudin AR
dengan kegiatan budaya seninya
 Dien Syamsudin sebagai pimpinan Muhammadiyah dan
Ketua Umum MUI, Hamid Fahmi Zarkasyi sebagai Ketua
Umum Majlis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia
(MIUMI) dan Bachtiar Nasir sebagai Sekjen MIUMI.,
Hasyim Muzadi sebagai mantan ketua PB NU dan
kegiatan sosial kemasyarakatan, Maftuh Basuni pernah
menjadi duta Besar dan Mentri Agama, Ahmad Cholil
Ridwan sebagai Ketua Umum KB PII, Ketua MUI Pusat,
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
dan Pimpinan Pesantren Husnayain dan pernah menjabat
Ketua Umum Badan Kerjasama Pondok Pesantren Seluruh
Indonesia (BKsPPI) dan Ketua Dewan DDII (Dewan
dakwah Islamiyah Indonesia), Hasanain Juaini peraih
Nobel Asia Ramon Magsaysay dan Pimpinan Pondok
Nurul Haramain Putri NW Narmada Lombok.
 Bisri Ilyas, Asep Sulaiman, Muhammad Hilmy
(Pendiri PT. Mubarokfood Cipta Delicia/Jenang Mubarok
Kudus, KH. Almuhammady, Andri Supri Anto Direktur
Utama di CV. Fajar Buana Kreasindo, Zein Al Habsyi di
Marketing dan Handling Dept. di Raha Travel - Madinah
Munawwarah, Ibnoe Bakrie, Penggagas / Pendiri PP Ar
Raihan di Volunteer day after, Surya Darma CEO &
Founder di PT. LQ , Wendri Bahar Crown Star Director di
Melilea, Yusuf Ars dengan aktifitas kewirausahaan.
 Adhyaksa Daults dengan kegiatan kepemudaannya dan
Gerakan Pramuka, Ibrohim Toyyib dengan barisan
Hizbullah, juga aktif dalam kepengurusan GPII, Kafrawi
Ridwan ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI), Ahmad
lutfi Fathulllah Mugni salah seorang Pakar Hadis, Mukhlis
Hanafi : pakar Tafsir al-Qur’an dari Pusat Studi al-Qur’an
dan Kementerian Agama RI), Sunandar ibnoe Nur salah
seorang Founder dakwah dan ketua Asosiasi Muthawwifin
Indonesia (AMIN), Ahmad Satori sebagai Ketua Ikatan
da’i Indonesia (IKADI), cek Effendi Ghozali dan persis,
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Matlaul Anwar, FPI juga PUI Idris Abdul Somad sebagai
mubaligh dan Wakil Walikota Depok,
 Ahmad Fuadi, Akbar Zainudin, Lukman Hakim Arifin,
Tasirun Sulaiman, Nasrullah Zarkasyi, Komara , Asep
Sobari. Adnin Armas, Iskandar Zulkarnain dengan konsep
pemikiran dan karya tulisnya.
 Amin Abdullah, Juhaya S. Praja, Nurcholis Madjid,
Aflatun Mukhtar, Hamid Fahmi Zarkasyi, Syaripudin
Basyar, Nur Hadi Ihsan, Syamsuddin Arif, M. Yunus Abu
Bakar, Abdul Hafidz Zaid, Sujiat Zubaidy, Ahmad
Hidayatullah Zarkasyi, Dihyatun Masqon, Kusnadi,
Khoirurrijal, Muhajirin, Amsal Bahtiar, Amal Fathullah
Zarkasyi, Atabik Lutfi, Bambang Suryadi, Usman Syihab,
Armanu Thoyib, Azhar Arsyad, Ahmad Khairuddin,
Wahid Hasyim, Ridho Masduki, Yusuf Rahman, Ris’an
Rusli, Wahid Hasyim, Imam Sukardi, Usman Said, Habib
Hirzin, semua dengan kegiatan akademisnya bahkan
menjadi Guru Besar di Perguruan Tinggi dan masih
banyak lagi alumni Pondok Gontor berbagai aktifitas dan
kegiatan Pemerintah maupun swasta yang belum terdata
oleh oleh penulis.
c. Disiplin
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Disiplin merupakan elemen yang terpenting dalam
pendidikan di Pesantren, ia merupakan sarana yang paling
efektif dalam proses pembentukan krakter dan mental
santri/santriwati sebagai salah satu elemen penting dalam
proses pendidikan dan pengajaran. Oleh karena disiplin
harus ditegakkan oleh semua orang yang terlibat di Pondok
Gontor baik santri/santriwati, guru dan pengasuh.
Disiplin itu menyangkut beberapa aspek; disiplin
beribadah, berbahasa, berasrama, berpakaian, dan
berolahraga. Semuanya mutlak harus diataati sejak pertama
santri/santriwati resmi menjadi bagian daripada Pondok
Gontor. Kecuali disiplin berbahasa untuk santri/santriwati
baru yang diterapkan secara berjenjang dan baru
dipraktekkan secara tegas setelah satu semester.
Menurut Rosen Sunloh alumni Pondok Gontor yang
berasal dari Thailan mengatakan bahwa disiplin dalam
rangka membentuk karakter pribadi menjadi muslim yang
muhsin sehingga membekas setelah pulang atau jadi alumni
karena ini sesuai dengan ajaran Islam.
Setiap individu harus tunduk terhadap pelaksanaan
objektifitas disiplin yang diberlakukan di Pondok Gontor
ini, tanpa pengecualian. Semua jenis pelanggaran disiplin
dikenai sanksi tegas dari hukuman fisik seperti
penggundulan dan pemberdirian, serta hukuman non-fisik
seperti pemberian tugas untuk menerjemahkan artikel dari
bahasa Indonesia ke bahasa Arab atau Inggris dan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
sebaliknya., juga hukuman skorsing dan pemulangan bagi
pelanggaran berat. Dimulai tahun 1999, Pondok Gontor
tidak lagi memberlakukan hukuman fisik seperti pemukulan
dengan rotan dan lain sebagainya. Kebijakan ini diambil
berdasarkan sebuah pemikiran bahwa hukuman fisik yang
berupa pemukulan tidak berbanding lurus dengan proses
pendidikan dan pengajaran. Sehingga hukuman tersebut
pada saat ini dialihkan kepada hukuman-hukuman yang
bersifat meningkatkan kemampuan intelegensia
santri/santriwati.
Berdasarkan pengalaman sebagai alumni, Hery
Azwan yang sekarang aktif di Aktif Grafindo Media
Pratama, menyatakan bahwa kerasnya disiplin Pesantren
Gontor tidak menjamin nihilnya pelanggaran. Setiap tahun
selalu ada saja santri Pondok Gontor yang dipulangkan atau
matrud. Biasanya pengumuman ini dikenal dengan Risalatul
Qoror /Decision Letter (Surat Keputusan). Qismul I'lam
(bagian Penerangan) akan membacakannya ba’da magrib
setelah pengumuman rutin lainnya. Biasanya santri yang
baru selesai merapikan sajadahnya akan langsung hening
saat bagian penerangan menyebut Risalatul Qoror, mirip
dengan "jumat keramat" saat Abraham Samad
mengumumkan tokoh tertentu ditetapkan menjadi
tersangka. Setelah pengumuman ini, esoknya santri tersebut
akan dipulangkan ke rumah orangtuanya, diantar oleh ketua
konsulat atau pengurus (daerah asal santri tersebut).
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Dengan adanya penerapan disiplin yang tegas dan
ketat, Pondok Gontor mampu menjaga dan memelihara
nilai, visi, dan misi-nya sebagaimana diamanatkan oleh
Trimurti pendiri Pondok Gontor dalam Piagam Wakaf.
d. Terjadinya kepulangan santri/santriwati di tengah
proses pendidikan.
Pondok Pesantren Gontor dengan segala aktifitasnya
yang cukup padat telah menyebabkan beberapa santri yang
kurang mampu untuk mengikuti dan menyesuaikan diri
dengan proses pendidikan dan pengajaran yang
diprogramkan, maka terjadilah kepulangan beberapa santri
ditengah proses tersebut.
Beberapa penyebab tidak selesainya santri/santriwati
sampai akhir pendidikan di kelas 6 KMI adalah:
1) Orangtua
a) Orangtua kurang mendukungnya orangtua dalam
memotivasi anaknya yang sedang belajar.
b) Kurang pahamnya orangtua akan proses pendidikan
dan pengajaran yang tidak selamanya terjadi di kelas.
c) Orangtua kurang mendukung pendidikan Pondok
Gontor dan terlalu percaya terhadap anak. Tidak
mustahil, seorang anak kadang-kadang berbohong
kepada orangtuanya agar mendapat belas kasihan dari
mereka. Sebaiknya orangtua (ibu bapak) mengecek
kebenaran laporan anak, apakah kebenaran atau
kebohongan. Sebaiknya ibu bapaknya lebih memihak
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
kepada Pondok Gontor lebih daripada memihak
kepada anak. Ini jika ibu bapaknya percaya kepada
Pondok.Namun salah seorang dari mereka ragu
terhadap Pondok, maka pertanda anaknya sukar
menyelesaikan pendidikannya. Kelas 6 adalah kelas
inti .Selama pelajar belum dapat menyelesaikan
pelajaran di kelas 6 maka santri tersebut masih belum
mendapat buah yang sebenarnya belajar di Pondok.
d) Orangtua juga bisa menjadi penyebab kegagalan
santri/santriwati di Pondok Gontor. Kadang-kadang
orangtua atau salah seorang mereka menjadikan
anaknya melanggar peraturan yang ada. Seperti
mengajak anaknya memasuki rumah orang kampung,
atau menyuruh orang kampung memasakkan untuk
anaknya dengan alasan kasihan karena makanan di
Pondok kurang sedap/enak. Orangtua yang masih
kurang percaya terhadap Pondok Gontor akan
menjadikan anaknya tidak tenteram. Percayakan
seluruhnya kepada Pondok Gontor. Makan minumnya,
tidurnya, kegiatan hariannya dan lain-lainnya,
percayakan sepenuhnya. Jika ragu, orangtua sendiri
tidak akan tenang begitu juga dengan anak. Tidak
perlu risau dengan menelpon anak setiap saat atau
menelpon pembimbingnya setiap saat. Jika kurang
percaya maka akan menjadikan siksaan tersendiri bagi
orangtua dan anak.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
e) Orangtua memanjakan anak tidak selalunya
membuahkan hasil yang baik. Biarkan anak makan ala
sederhana, sehingga ia dapat mensyukuri lazatnya
makanan di rumah atau di restoran. Biarkan hidup
secara sederhana agar ia kelak menjadi orang yang
tangguh dapat hidup di mana saja dan dalam keadaan
apa saja. Biarkan dia menjadi orang yang siap
menghadapi masa depan dengan penuh keriangan dan
kesyukuran, bukan orang yang manja yang cengeng
yang sedikit-sedikit mengeluh dan menangis minta
bantuan dan menyalahkan orang lain.
2) Santri / Santriwati yang bersangkutan.
a) Aktifitas yang padat menuntut fisik yang prima, dalam
beberapa kasus terjadi kekurangmampuan santri
secara fisik dalam mengikuti aktifitas yang cukup
padat. Sehingga setelah melalui beberapa
pertimbangan, diputuskanlah untuk tidak
menyelesaikan proses pendidikan sampai akhir.
b) Tidak patuhnya santri/santriwati kepada disiplin yang
telah ditetapkan oleh Pondok Gontor sebagai bagian
yang tidak terlepaskan dari proses pendidikan dan
pengajaran.
c) Tuntutan hidup dari keluarga yang secara ekonomis
kurang mampu dan terpaksa harus membantu
ekonomi keluarga dengan bekerja.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
d) Kurang percaya dan ragu kepada Pondok Gontor.
Masih sering membanding-bandingkan enaknya
belajar di luar dan belajar di Pondok Gontor. Masih
merasakan perkara-perkara negatif lebih banyak
daripada perkara-perkara positif selama belajar.
e) Belum memahami tujuan pendidikan di Pondok
Gontor bertujuan mendidik santri-santriwatinya agar
menjadi Ulama yang intelek bukan Intelek yang tahu
agama. Sangat berbeda. Pondok Gontor tidak ingin
menjadikan santri-santriwatinya pegawai tetapi
seorang yang mempunyai pegawai.
f) Terlalu banyak mengeluh dan senantiasa mencari
kekurangan-kekurangan yang ada di Pondok Gontor
serta dalam waktu yang sama menafikan
kelebihan-kelebihan yang ada. Sama dengan orang
yang sentiasa melihat kuman di seberang laut
sementara tidak melihat gajah di pelupuk mata. Atau
dengan bahasa lain tidak pandai mensyukuri nikmat
yang ada. Perlu dimaklumi tidak ada sesuatu yang
sempurna di dunia ini. Tidak ada yang namanya enak
100 %, tiada gading yang tidak retak. Pondok Gontor
masih banyak kekurangan, namun itulah yang terbaik
yang sementara ini dapat dilakukan. Di tempat lain
pun ada kelebihan dan ada kekurangan. Tidak ada
yang sempurna. Maka yang perlu dipersiapkan selama
belajar di Pondok Gontor adalah perasaan ridha dan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
bersyukur dengan yang ada. Insya Allah anda akan
gembira selama belajar di sana. Ikuti seluruh
peraturan dan undang-undang di sana dengan perasaan
ikhlas dan ridha.
g) Hanya ingin belajar bahasa Arab atau bahasa Inggris
saja. Jadi bagi pelajar yang hanya puas dengan bahasa
Arab atau bahasa Inggris di Pondok Gontor, maka ia
tidak ada keinginan yang kuat untuk menyelesaikan
pelajaran sampai kelas 6 Gontor. Karena satu atau dua
tahun di Pondok Gontor para pelajar sudah dapat
berkomunikasi dengan bahasa Arab secara dasar.
h) Merasa sombong karena sebab-sebab tertentu.
Mungkin karena keturunan bangsawan, keturunan
orang berpangkat, keturunan suku terhormat,
keturunan warganegara luar, keturunan orang
berpendidikan, keturunan orang berharta atau karena
umur yang lebih dan lain-lain. Perasaan sombong
inilah yang akan menyebabkan seseorang gagal belajar
di Pondok Gontor. Menyebabkan seseorang sukar
dididik dan diatur. Oleh itu jika ingin sukses belajar di
Pondok Gontor, perasaan angkuh dan sombong ini
harus dibuang. Mulailah dari bawah, bagaikan gelas
kosong yang memerlukan isi. Bukan gelas penuh yang
tumpah jika diisi. Ikuti segala peraturan dan disiplin
yang ada dengan ikhlas dan syukur karena dapat
mengecap ilmu di Pondok Gontor.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
i) Kurang bersemangat dan kurang bersungguh-sungguh
untuk dapat menyelesaikan pelajaran di Pondok
Gontor sehingga kelas 6. Kurang doa, kurang
pengorbanan, kurang usaha juga menyebabkan
kegagalan. Apa yang perlu dikorbankan ? mungkin
semua harus dikorbankan, jika kita ingin sukses dalam
mencapai sesuatu cita-cita. Jadi jika ingin selesai di
Pondok Gontor semangatnya harus tinggi. Sandal
hilang beli lagi. handuk atau sandal hilang beli lagi,
apalagi baju dan celana. Itu semua perkara kecil.
Kalau nyawa hilangpun siap. Bondo bahu fikir lek
perlu sak nyawane pisan. Jika sudah mempunyai
semangat demikian insya Allah dapat menyelesaikan
pelajaran di Pondok Gontor.
3) Lingkungan.
a. Terpengaruhnya santri/santriwati oleh lingkungan
diluar Pesantren. Maksud dari poin ini adalah santri
yang telah menyeleasikan pendidikan SMP/Mts dan
SMU/MA sebelum masuk Pondok Gontor mulai
goyah karena teman-temannya di luar telah
menyelesaikan pendidikan menengah atas.
b. Perempuan. Perempuan termasuk gangguan besar bagi
santri yang ingin menyelesaikan pendidikan di Pondok
Gontor. Kadang kehendak sendiri ingin nikah,
kadang-kadang disuruh nikah, kadang hanya ingin
mempermainkan perempuan saja, kadang-kadang
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
sengaja dijebak oleh perempuan-perempuan yang
kurang baik akhlaknya. Untuk itu para santri harus
berhati-hati dan mewaspadai godaan perempuan.
e. Kemampuan santri/santriwati dalam mengikuti
perkembangan kewirausahaan dan teknologi
informatika.
Salah satu program Pondok Gontor dalam proses
pendidikan dan pengajaran adalah meberi bekal “life skill”
agar para santrinya mampu untuk menjalani kehidupan lebih
baik setelah lulus. Begitupun dengan perkembangan zaman
di bidang teknologi informatika dan internet.
Program pendidikan “life skill” dalam bidang
kewirausahaan tercermin dalam penugasan santri dan guru
di unit-unit usaha milik Pondok Gontor. Selain itu, diadakan
juga kursus pengoperasian dan pemeliharaan computer
(termasuk di dalamnya kursus internet). Kegiatan ini
ditujukan untuk membentuk jiwa kemandirian dan
kemampuan teknis yang akan menjadi bekal bagi mereka
setelah selesai dari program pendidikan dan pengajaran.
f. Prestasi, Dedikasi, Loyalitas, Tanpa Cacat (PDLT).
Pondok Gontor menuntut lulusannya memiliki
kualitas yang prima sebagai Pemimpin ummat berkarakter
kuat. Maka Pondok Gontor memiliki konsep yang terukur
ketika memberikan tugas tertentu untuk santri maupun guru.
Seperti dalam penugasan untuk pengelolaan unit-unit usaha
milik Pondok dan tugas-tugas tertentu yang lainnya.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Seorang santri atau guru yang akan ditugaskan harus
mempunyai prestasi yang menjadi pembeda antara dirinya
dan santri atau guru yang lain. Konsep ini bukan bertujuan
untuk alienasi santri dan guru dari yang lainnya tapi agar
tugas yang diamanatkan dapat berjalan dengan baik dan
maksimal. Tujuan yang lain adalah untuk memotivasi santri
dan guru agar selalu memaksimalkan potensi diri di bidang
apapun yang menjadi minat mereka. Konsep ini juga
merupakan salah satu proses pendidikan yang bertujuan
untuk mencetak manusia-manusia yang multi-talenta, karena
kehidupan setelah lulus dari Pondok Gontor akan sangat
berbeda dan menuntut ketahanan diri baik fisik maupun
mental. Itulah “kunci” yang diberikan Pesantren Gontor
pada santri/santriwati yang menjadi pembeda alumni
Pondok Gontor dengan alumni lembaga-lembaga
Pendidikan lainnya. []
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
BAGIAN VII
PESAN NASEHAT DAN PANDANGAN, SERTA CERITA
KISAH TENTANG PENDIDIKAN KARAKTER
A. Pesan Nasehat tentang pendidikan karakter oleh KH.
Abdullah Syukri Zarkasyi (cek lagi ada yang kurang)
Anak-anakku sekalian, yang tidak bisa ditutupi adalah
kebahagiaan. ana sa’id biliqôi abnâi al- indonisi al-maujud hinâ.
Ini merupakan sebuah pertemuan yang kami sengaja untuk ikut
mengawal, mendo’akan dan memantau anak-anak Pesantren
Gontor dan umat ini seluruhnya hingga bapak Kedutaan Besar
Republik Indoensia di Kairo. Dengan harapan agar kita semua
memiliki prestasi, gerak dan berkah dalam perjuangan kita. Amin.
Saya di Pesantren Gontor sebagai Pimpinan Pondok,
Gontor memimpin bukan hanya sekedar menggerakkan dan bukan
sekedar manager. Serta bukan juga sebatas melaksanakan program
pendidikan di Pondok Pesantren Gontor. Saya bukan sekedar
menjadi pimpinan administratif Pondok Pesantren Gontor, saya
pun bukan sekedar pimpinan akademisi. Tapi saya memimpin,
mendidik, membela dan memperjuangkan Pondok Pesantren
Gontor.
Dalam perjalanan saya yang kurang lebih dua puluh lima
tahun memimpin Pesantren Gontor, merupakan sebuah suka duka
dan sebuah keasyikan dalam berjuang dan memperjuangkan diri.
Sehingga guru saya, Syeikh Muhammad Al-Ghazali berkata,
taharrok fainna fil harokati barokah. Maka disinilah letak peran
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
dan fungsi seseorang ditentukan oleh satu idealisme yang jelas.
Akidah kita yang benar dan idealisme yang jelas serta daya juang
yang baik dan benar, inilah harga seorang manusia. Tanpa itu,
seperti yang dikatakan guru saya, anta zabalah. Min ghoiri aqîdah
wal amânah, al-mustaqbal al-ba’id. Wa ‘indanâ majhud
fardiyyan aw jama’iyyan. Hâ huwa dzâ qîmatul insân. Begitulah
beliau berulang-ulang kali berbicara di hadapan saya di masjid
fusthot dan di rumah beliau, hingga masuk dan meresap dalam
diri saya.
Yang kedua ayah saya ternyata juga memiliki seorang guru,
seorang pejuang dari Tunis namanya Muhammad Al-Hasyimi. Ia
merupakan pejuang Tunis yang pindah ke Singapore, kemudian
diusir hingga pindah ke Solo. Beliau inilah yang mengajarkan
mahfûdzot dan filsafat hidup kepada ayah saya. Sehingga ayah
saya terkena setruman beliau dan menjadi mujahid yang keras.
Dari filsafat hidup dan akidah yang benar serta daya juang yang
semakin lama bertambah meningkat, maka bagaimana cara kita
meningkatkan diri kita. Untuk itu, dengan idealisme yang tinggi
kita bisa menjadi mujahid. Dengan daya jihad yang sedemikian
rupa serta cita-cita yang tinggi, kita akan menjadi seorang
manusia yang pekerja keras. Keras berpikirnya, keras bekerjanya,
keras berdo’anya dan keras kita bersabar.
Empat keras. Keras berpikir, selalu memikirkan Pondok
terus tidak pernah berhenti. Maka sekarang pun juga,
pengasuh-pengasuh Pondok Pesantren cabang agar selalu
mengambil inisiatif. Maka, saya wajibkan dalam sehari lima belas
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
pekerjaan yang dikerjakan oleh pengasuh Pondok cabang, direktur
KMI dan yayasan. Mereka melaporkan kepada saya melalui sms
enam belas pekerjaan yang harus dikerjakan setiap hari.
Kita harus banyak bergerak. Taharrok fainna fil harokati
barokah. Dari sinilah maka kita selalu bergerak dan
menggerakkan, hidup dan menghidupi, berjuang dan
memperjuangkan. Dengan gerakan-gerakan yang total, bukan
hanya sekedar pelajaran. Saya menggerakkan Pondok Pesantren
Gontor dari seluruhnya, jikalau saya mengambil kebijakan antara
dua puluh lima sampai tiga puluh kebijakan dalam satu hari, maka
pengasuh-pengasuh Pondok cabang dan sebagainya enam belas
kebijakan, sehingga semua elemen akan tersentuh. Baik
pengasuhan, pramuka, pelajaran sore, olahraga, sepak bola, seni
dan apapun juga akan tersentuh oleh kita. Kalau tidak satu hari,
maka dua hari akan tersentuh.
Totalitas gerakan dengan dinamika yang sangat tinggi di
Pesantren Gontor itulah yang mendidik kalian. Sehingga pola
pikir, sikap, tingkah laku dan mentalitas kalian mempunyai
karakter khusus Pesantren Gontor. Seperti yang dikatakan Pak KH
Sahal, “Di jidadmu ada stempel Gontor”. Diakui ataupun tidak
diakui, Nurcholis Majid seorang Doktor tamatan Chicago,
setelah beliau mendapatkan penghargaan doctor honoris causa,
beliau mengatakan ini semua dari Pesantren Gontor. Bahkan
ketika beliau hendak meninggal masih mimpikan ayah saya. Jadi
betapa ta’tsîr harokah Gontori itu masuk ke dalam diri
santri-santrinya.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Kalau tidak ada niat di Pesantren Gontor untuk
mendapatkan pendidikan, sentuhan, setruman dan ilmu, maka dia
tidak akan mendapat apa-apa pun juga. Karena innamal a’mâlu
binniyyât. Di Kairo jika tidak ada niat untuk meningkatkan diri
baik akademis dan prestasi apapun, maka kita tidak akan
mendapatkan apa-apa.
Pertemuan saya dengan Syeikh Muhammad Al-Ghazali di
Wusthot (Muhandisin), di situlah saya bertemu dengan orang
Palestina, South Afrika, Thailand dan lain sebagainya. Ada
beberapa orang garis keras. Dan ada juga dari teman-teman saya
yang bergerak tidak hanya di bidang politik dan keilmuan.
Dari sinilah saya bergerak, sehingga ketika saya di IAIN
(UIN Syarif Hidayatullah sekarang) Ciputat, filsafat hidup saya
keluar. “Kecil dan besar tidak masalah, yang penting mainnya”.
Dari sinilah kita memainkan peran dan fungsi seseorang. Saya
memainkan peran dan fungsi saya sebagai seorang kyai yang tidak
ada arti apa-apa. Kedudukan tidak penting, yang terpenting adalah
bisa memainkan peran dan fungsi. Sebagai Duta Besar, Luar
Biasa. Sekarang saya baru mengetahui, ada Duta Besar yang
sangat terkesan oleh saya. Satu adalah Menteri Luar Negeri,
Bapak Hasan Wirayuda. Dan kemudian Drs. A.M. Fachir ini.
Karena memikirkan masyarakat Indonesia dan juga masyarakat
Nasional. Beliau ini membuat seminar yang dihadiri oleh sekian
banyak orang. Berapa ribu pound yang keluar. Nyatanya seorang
Duta Besar bisa mengeluarkan uang untuk kepentingan kita,
mengapa pada zaman dahulu tidak?
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Itulah bagaimana memainkan fungsi dan peran sebagai
Duta Besar, sehingga gaungnya luar biasa sekali. Syeikhul Azhar,
Rektor Azhar dan lain sebagainya datang. Luar biasa. Begitulah
menggerakkan dunia. Maka terpikirkan oleh saya, bagaimana
menggerakkan dunia dari Gontor. Saya membuat acara peringatan
80 tahun Gontor. Saya undang Presiden, Wakil Presiden,
Menteri-menteri dan Syeikhul Azhar. Maka dalam bahasa Pak
Sahal, njajal awak (mencoba kemampuan diri). Sejuah mana saya
bisa berperan dan berfungsi sebagai Pimpinan Pondok di dalam
meneguhkan dan melaksanakan pendidikan di Pondok Gontor.
Baiklah, inilah perkembangan Gontor, sementara itu kita
sudah membeli kelapa sawit sebanyak 500 ha di Jambi.
Alhamdulillah. Ini untuk masa depan Pesantren Gontor. Sekarang
yang sudah mendaftarkan diri untuk menjadi kader Pondok 36
orang. Ada beberapa orang sudah mengabdi di luar, sekarang
datang ke Pesantren Gontor dengan istrinya dan anaknya. Jadi
Gontor berkahnya luar biasa. Guru Pesantren Gontor status sosial
yang tinggi di masyarakat, khususnya di Ponorogo. Status sosial
ini penting dan saya buat sedemikian rupa. Kesejahteraannya pun
juga kami pikirkan. Bahkan sudah bisa menyekolahkan dan
mengawinkan anak-anaknya.
Sekarang ada Pesantren Gontor 1, Gontor 2, Gontor 3 di
Kediri, Gontor 4 (putri 1), putri 2, putri 3, putri 4, putri 5 di
Kediri, Gontor 5 di Banyuwangi, Gontor 6 di Magelang, Gontor 7
di Kendari, Gontor 8 di Way Jepara, Gontor 9 di Kalianda, Gontor
10 di Aceh, Gontor 11 di Suit Air dan insya Allah akan bertambah
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
lagi. Dan ada Pesantren Gontor di Jambi. Karena bupatinya akan
memberikan sejumlah tanah, sehingga saya harus datang ke Jambi
sendiri untuk memilih tanahnya dan membangun masjid. Sebab
yang akan mengelola 500 ha kelapa sawit harus guru Gontor
sendiri yang memiliki pos di situ. Kita juga sedang ditawari 1000
ha untuk kelapa sawit dengan harga enam ratus ribu Rupiah
per/ha. Ini kan murah sekali.
Ketika saya datang ke Jambi ingin ketemu Bupati,
ternyata Bupati itu mendapatkan Bintang Melati Pramuka di
Jatinangor bersama saya yang disematkan langsung oleh Bapak
Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono. Maka
saya mendapatkan wakaf 100 ha kelapa sawit dan 10 ha-nya untuk
pendirian Pondok Pesantren.
Jadi begitulah ceritanya, saya mencoba kemampuan diri
saya sebagai pimpinan Pondok. Pertanyaannya, apakah dengan
banyaknya Pondok Pesantren cabang apakah Pesantren Gontor
bisa mempertahankan kualitasnya? Gontor itu lembaga
pendidikan. Jikalau Dr. Hidayatullah, MA, Dr. Hamid Fahmi
Zarkasyi, M. Phil, Dr. Dihyatun, Dr. Amal Fathullah, Dr. Nur
Hadi Ihsan, Ust. Suharto dan doktor-doktor lainnya itu berkumpul
di Pesantren Gontor dan tidak membuka cabang apa dijamin
Pesantren Gontor akan hebat? Nanti dulu. Sedangkan jumlah
santrinya hanya 3000, 2000 atau 1000, apakah dijamin akan
hebat?
Dalam sejarah dunia Pesantren organisasi apapun
permasalahan-permasalahan hidup akan ada. Antara masalah
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
keluarga, guru, santri, masyarakat dan lain sebagainya akan
terjadi. Jikalau orang-orang potensial itu berkumpul di dalam satu
tempat dan tidak ada pemersatu yang tidak bisa mengatur tata
kehidupan itu dengan dengan baik, akan terjadi konflik. Dan
Pesantren Gontor sudah banyak mengalami konflik-konflik sepeti
i t u .
Karena banyaknya pengalaman, konflik-konflik yang
terjadi antar keluarga, guru, masyarakat dan lain sebagainya, maka
saya mengusulkan kepada badan wakaf untuk membuat Pesantren
Gontor cabang. Bagaimana caranya? Gampang. Di Pesantren
Gontor itu 850-900 anak kelas 6 yang keluar dari Gontor
setahunnya. Dan antara 80-200 S1 keluar dari Pesantren Gontor.
Kelas 6, daripada setahun mengabdi, mengapa tidak mengabdi
kepada Pondok Pesantren cabang dan kepada Pondok Pesantren
Gontor. Maka, setiap tahun saya ambil kurang lebih sekitar
300-400 anak kelas 6 yang mumtaz, yang baik-baik dari segi
aqliyahnya dan keilmuannya. Begitu juga dengan S1 yang
bagus-bagus saya tugaskan kepada Pondok-Pondok Pesantren
cabang. S1 alumni Gontor itu, adalah orang-orang yang memiliki
7 fungsi. Yaitu wali kelas, wali pramuka, wali konsulat dan lain
sebagainya. Ini memiliki penampilan yang prima, ikut
berpengalaman dalam bermacam-macam kegiatan. Di antaranya
adalah kalian-kalian ini. Dari sinilah maka ketika mereka kami
tugaskan ke Kendari, Aceh dan lain sebagainya, luar biasa.
Di Pesantren Gontor saya mendirikan SOP (Standar
Operasionil Pelaksanaan Pendidikan), ada standar mutu, ada
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
standar guru dan ada standar pimpinan Pondok Pondok Pesantren.
Selalu mengambil inisiatif, bekerja keras, membuat jaringan kerja,
memanfaatkan jaringan, bisa dipercaya dalam bidang keuangan
dan pekerjaan. Begitulah cara saya membina dan mengendalikan
pengasuh-pengasuh cabang. Akibatnya, memang Pondok-Pondok
cabang dari segi etos kerja dan dinamikanya tidak seperti di
Pesantren Gontor, karena juga pengasuh-pengasuhnya pun
sedemikian rupa.
Ini ibarat Indonesia Jakarta dan Singapore. Singapore itu
disiplin di jalan ketat. Buang rokok di jalan tidak ada. Tidak ada
yang melanggar lalu lintas, akan tetapi di Jakarta buang rokok
seenaknya, melanggar lalu lintas seenaknya. Tapi jika orang
Indonesia ketika ke Singapore akan ikut disiplin. Maka anak-anak
cabang ketika masuk ke Gontor akan ikut disiplin Gontor,
menyesuaikan diri.
Anak kelas 1 sampai kelas 5 yang belum pernah ke
Pesantren Gontor kita pindahkan kelas 6-nya ke Gontor 1 tahun.
Berkumpul dan bersaing dengan anak-anak Pesantren Gontor
yang ada di Pesantren Gontor. Anak Gontor yang baik-baik kita
tugaskan ke Pondok-Pondok cabang. Jadi kelas 6 itu kita bagi ke
Banyuwangi, Kendari dan lain sebagainya. Diantaranya adalah
kalian yang kita tugaskan kemana-mana, sebagai uswatun
hasanah. Dari sinilah, iklim dan miliu itu sangat standar sekali.
Dari bangunannya, disipilinnya dan lain sebagainya. Sampai saat
ini Pondok Pesantren mana yang bisa mengembangkan 16 Pondok
Pesantren cabang. Biayanya bagaimana, gurunya seperti apa,
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
standar operasionilnya bagaimana, memanagenya seperti apa,
inikan pertanda bahwa Pesantren Gontor bisa. Yang kedua,
meskipun banyak Pondok-Pondok Pesantren tetapi tertahan sistem
oprasonil dalam nilai dan sistem. Yang ketiga Pesantren Gontor
dianggap mampu menyelesaikan beberapa permasalahan dan
sehingga Pesantren Gontor tetap eksis.Yang terakhir bahwa
anak-anak kelas konflik-konflik baik diluar maupun di dalam
Pondok. Tiga hal ini yang diluar dugaan saya sehingga mereka
menghargai Gontor sedemikian rupa. Karena saya bisa
menyelesaikan konflik, mengembangkan Pesantren Gontor enam
yang di Pesantren Gontor dari Pondok-Pondok cabang memiliki
kesamaan nilai dengan anak-anak yang di Pesantren Gontor. Ada
yang Mumtaz, ada yang Jayyid Jiddan dan tentunya ada yang
asfala safilin. Sama dengan anak Pesantren Gontor itu sendiri.
Akan tetapi secara mental dan akliyyah dan Gontoriyyah, ini
memang kita tanamkan kepada anak-anak sedemikian rupa. Dan
disini jugakan ada anak-anak Pesantren cabang Gontor yang
datang kesini dan sebagainya, yang ternyata juga baik dan mampu.
Demikianlah bercerita tentang cabang Pesantren Gontor.
Dalam rangka memuwudjudkan cita-cita Gontor atas nasihat,
saran dan doa Syeikhul Azhar, Syeikh Mahmud Saltun. Beliau
berkata “Alfu Gontor fi Indonesia” . Seribu Gontor di Indonesia.
Dari situlah anak-anakku sekalian, ini merupakan
tantangan dan ujian dan juga merupan sebuah harapan buat saya
untuk memerankan dan mengfungsikan saya sebagai kyiai, dan
beberapa anak Gontor dalam rangka keumatan yang sedemikian
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
rupa. Maka yang ke Mesir diperbanyak tetapi yang di Mesir
diperbaiki dan di Kontrol.
Dalam peran dan fungsi Pesantren Gontor Nasional dan
juga internasional, merasa bahwa Gontor itu apakah sudah
waktunya berperan secara nasional. Yang menasional itu
apanya?!, yang menjadi pertanyaan saya sendiri. Maka coba,
Pesantren Gontor itu madzhabnya bukan “fakir qobla anta’zima”
tetapi “jarrib walahiz takun aarifan”. Coba !.
Menjadi seorang pengurus koperasi pelajar dan kopda
meskipun tidak memiliki keterpampillan akan tetapi cobalah!.
haruslah secara jujur dan sungguh-sungguh, walaupun tidak miliki
keterampilan, mudah saja. Maka untuk seseorang yang meiliki
toko bangunan, tidak perlu berpendidikan tinggi dan sekolah, itu
sambil mondok saja bisa. Dari sini maka ada keritikan untuk
menjadi seorang yang kaya, tidak perlu pergi ke Mesir. Untuk
menjadi seseorang yang memiliki puluhan bis tidak perlu pergi ke
Mesir. Keterampilan-keterampilan itu mudah dipelajari akan
tetapi membina mental dan karakter ini yang tidak mudah. Maka
ketika saya diminta untuk berbicara di DPR pusat sana tentang
permasalahan pendidikan Indonesia yang terperosok hingga ke
urutan 112.
Indoneia terpuruk masalah pendidikannya karena tidak
mementingkan karakter, mental dan moral. Yang ada hanyalah
transformasi Informasi. Informasi tentang masalah politik dan
ekonomi. Akibatnya kondisi di masyarakat rusak. Rumah tangga
tidak sempat terpikirkan, anakpun terkena narkoba. Akibatnya
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
rusak. Kitapun yang mendidik di Pesantren Gontor sedemikian
rupa, kadang-kadang rusak karena masyarakatnya rusak. Kembali
lagi, akhirnya rusak meskipun hingga akhirnya di umur 30-40
tahun mulai di menyadarinya. Jadi dia mulai menyadari bahwa
lembaga pendidikan yang baik itu di Gontor. Dari sini maka
Pesantren Gontor tetap pada jiwa, filsafat hidupnya, totalitas
kegiatan dan lain sebagainya.
Fungsi dan peran kiyai adalah mengatur, menata dan
menggerakkan hidup dan kehidupan yang total di Pesantren
Gontor, akhirnya terbinalah watak, katakter, mental dari Gontor.
Maka Pesantren Gontor lebih mementingkan pendidikan dari
pada pengajaran. Akan tetapi itu saja tidak cukup, diperlukan
sebuah keterampilan hidup. Keterampilan hidup bukan hanya
keterampilan menyetir mobil, berdagang, akan tetapi keterampilan
hidup secara keseluruhan.
Maka di rayon diajarkan bagaimana seseorang hidup
dengan orang yang dia sukai dan yang tidak disukainya. Di dunia
manapun, pasti ada yang cocok dan tidak cocok. Bapak Duta
Besar pun banyak menemukan home staf yang cocok dan yang
tidak cocok akan tetapi bisa hidup dengan mereka semuanya. Saya
sebagai pimpinan Pondokpun demikian. Maka anak-anak Gontor
terlatih di rayon, pramuka, di kelas dan beberapa tempat,
sedemikian rupa sehingga mampu hidup dalam kehidupan yang
sedemikian itu.
Musibahnya, anak Pesantren Gontor maupun alumni Pondok
Pesantren lainya, mengalami shock culturil. Di Pesantren Gontor
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
yang sedemikian letaknya, kemudian keluar bebas. Anak al-Azhar
Jakarta pun demikian pula problemnya, begitu keluar dari al-azhar
jilbabnya tidak dipakai dan lain sebagianya. Itulah masalah yang
sama. Maka ketika diskusi di diknas, di Jakarta bersama profesor
doktor dan beberapa pakar pendidikan, ternyata ketika lobi-lobi
mendapatkan kesulitan pada masyaralat Indonesia yang mulai
macam-macam. Baik dari krisis ekonomi, politik, moral, dan lain
sebagainya, ini adalah hal yang luar biasa. Maka ketika saya pergi
ke kuala lumpur, bertemu dengan beberapa mahasiswa China
yang lebih memilih Malaysia ketimbang Indonesia. Mengapa
harus Malaysia. Karena Jiakalau dibawa ke Indonesia akan
rusak. Jadi terpaksa saya dibawa ke kuala Lumpur. Demikianlah
keadaan pendidikan masyarakat Indonesia, aplagi masa-masa serti
saat ini. Semuanya kebingungan.
“Kalau mau jadi Guru itu, jangan punya mental manten anyar
(Penganten Baru) yang hanya maunya disowani (dikunjungi). Tapi
kalian harus terjun dan turun ke bawah, tahu permasalahan, kuasai
permahasalahan, lalu selesaikan permasalahan. Seorang direktur KMI
harus tahu Jumlah santri seluruh Gontor dan Gontor Cabang ini berapa,
jumlah Gurunya berapa. Bagian pengasuhan santri, kemarin saya suruh
menghitung jumlah kran untuk Wudlu di seluruh Gontor ini berapa,
yang bisa digunakan berapa, yang tidak bisa digunakan berapa, berapa
menit waktu yang dibutuhkan seorang santri untuk berwudlu, lalu
saya suruh menghitung waktu seaindainya seluruh santri ini batal,
butuh waktu berapa menit dan dibadingkan dengan waktu wudlu
sebelum maghrib itu. Ternyata waktu yang diperlukan kurang,
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
bahkan jika santri ini seperempatnya saja yang ambil wudhu, itu
masih kurang. Berarti ada santri yang sholat maghrib tidak pakai
wudlu, karena takut oleh disiplin Pesantren, takut oleh bagian
pengajaran dalam masjid (waktu itu belum ada qism Ta’mir).
Maka saya rubah aturannya, wudlu waktunya harus cukup, sampai
seluruh santri bisa menunaikannnya. Itu staf KMI, harus tahu
jumlah papan tulis di Gontor ini berapa, jumlah meja dan kursi
untuk pendidikan dan pengajaran santri berapa, jumlah jendela
kelas itu berapa, jumlah santri yang sakit berapa, yang di Bagian
kesehatan berapa, yang di BKSM (Balai kesehatan Santri dan
Masyarakat) berapa, agar kita semua tahu dan mengerti, bahwa
kita ini menjaga amanah, dan memelihara . Maka jangan
sia-siakan amanah ini…..”
“Kalian ini mau nuruti kata hati atau nuruti kata orang?? Kalau
nuruti kata hati, jangan pedulikan kata orang. Sebab orang itu kita
bergerak kemanapun pasti dikomentari. Saya dulu buka UKK
(koperasi Guru) dan KUK (Toko besi Pesantren) dan Toko Buku
saja habis-habisan dikomentari, dibilang Kyai Bisnis, Kyai Mata
duitan, Kyai Matre, kepercayaan. Santri itu punya orang tua, dan
mereka melepas anak-anak mereka itu dengan tangis dan
doa...................perbaiki lagi
api saya jalan terus. Sekarang semua baru terbuka, pada
ramai-ramai ikut-ikutan buka Usaha. Saya tahu bahwa Pesantren
ini butuh biaya, utamanya untuk kesejahteraan Guru. Tapi
bagaimana biar ini tidak membebani santri, kesejahteraan Guru
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
tidak boleh dimabilkan dari dana santri. Kenapa? Biar para santri
tidak berkata “Kamu kan sudah saya bayar….!!” Ini yang ingin
saya hindari, maka saya buat Unit-Unit Usaha yang saat ini
mencapai 23 buah. Itu semua untuk kesejahteraan guru…Maka
jangan dengarkan kata orang jika ingin maju. Bagus atau jelek,
jalani saja. Kalau jelek ya dievaluasi ditengah jalan. Sebab
dengerin kata orang itu ndak ada habisnya. Bahkan kita tidak
bergerak sekalipun, itu tetap akan dikomentari, ini orang masih
hidup atau sudah mati, kok Cuma diam saja gerakannya. Maka
itu, ikuti kata hatimu. Kata Rasulullah “Istafti Qalbak”, Gontor
sudah kenyang dicaci maki, Gontor juga sudah kenyang
dipuji-puji…..!!”
“Biar para santri betah dan kerasan di Gontor itu maka harus
digerakkan. Dengan berbagai Aktifitas, berbagai kegiatan yang
membuat para santri ini lupa akan aktifitas selain apa yang ada di
Pesantren. Yang namanya sebuah pergerakan itu pasti
menciptakan gesekan, dan yang namanya Gesekan itu pasti
menimbukan panas. Tinggal kita bagaimana mengolah energy
panas ini sebagai kekuatan atau akan membakar kita. Maka
kenapa tidak kita Gunakan saja panas ini sebagai kekuatan? Maka
itu sengaja saya cipatkan persaingan di Gontor ini. Drama Arena
dengan Panggung Gembira, perlombaan antar Rayon, antar
Konsulat, antar Club Olah Raga, antar Grup kesenian, semua
berlomba-lomba untuk jadi yang terbaik. Bukan sekedar cari yang
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
terbaik, tapi bagaimana menciptakan aktifitas yang membuat
mereka kerasan di Gontor ini”
B.Pemikiran tentang Pendidikan Karakter oleh
KH.Masyhudi
Subari, MA
Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam
yang lebih menekankan aspek moralitas /akhlak / karakter kepada
santri sebab untuk nilai-nilai tersebut diperlukan pendidikan dan
pengajaran yang matang kepadanya, dan untuk memudahkan itu
dibutuhkan sebuah asrama sebagai tempat tinggal dan belajar di
bawah bimbingan pimpinan Pesantren atau kyai yang dibantu
para staf pengasuhan atau ustadz. Pada mayoritas Pesantren
dahulu, seluruh komplek bukan merupakan milik kyai saja,
melainkan milik masyarakat, hal ini disebabkan para kyai memperoleh
sebagian sumber-sumber keuangan untuk membiayai pendanaan dan
perkembangan Pesantren dari masyarakat, sehingga masyarakat juga
merasa memiliki.
Pondok Pesantren sebagai bagian integral dari lembaga
pendidikan berbasis masyarakat yang merupakan sebuah
komunitas yang mempunyai tata nilai tersendiri. Di samping itu,
Pondok Pesantren mampu menciptakan peraturan yang unik dan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
berbeda dari lembaga pendidikan yang lain yang mempunyai nilai
dalam mendidik karakter bagi para santrinya.
“Good character is more to be praised than outstanding
talent. Most talents are to some extent a gift. Good character, by
contrast, is not given to us. We have to build it peace by peace –
by thought, choice, courage and determination.”(John Luther)
Tema besar yang diusung oleh Mendiknas dalam rangka
melakukan perubahan adalah pendidikan karakter. Empat pilar
yang menjadi soko guru pendidikan karakter adalah cerdas, jujur,
tanggung jawab, dan kreatif. Keempat pilar ini diaktualisasi dalam
sebuah pendidikan sehingga menumbuhkan bibit yang memiliki
keempat pilar ini.
Tema ini dapat menjadi jawaban terhadap persoalan yang
berhubungan dengan santri atau peserta didik. Coba kita lihat
potret suram para peserta didik di Indonesia, mulai dari geng
motor, narkoba, pergaulan bebas, tawuran. Sungguh miris kita
mengingatnya. Maka, perlu ada solusi cerdas untuk menangani
permasalahan tersebut. Pendidikan karakter bukanlah sebuah
proses menghafal materi soal ujian, dan teknik-teknik
menjawabnya, namun nilai-nilai pendidikan yang diharapkan
membekas dalam diri anak dan dapat diaplikasikan di dalam
kehidupan sehari-hari.
Dalam historis pendidikan di Indonesia, Pondok Pesantren
termasuk lembaga pendidikan tertua, bahkan dalam sejarah
perjuangan dan pembangunan bangsa, Pondok Pesantren sudah
banyak memberikan kontribusi nyata dalam melahirkan pemimpin
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
yang berkarakter kuat, militan, ikhlas, penuh integritas, gigih,
visioner, pantang menyerah dan ikhlas dalam berjuang. Kontribusi
tersebut tidak berhenti pada masa perjuangan bangsa, melainkan
hingga dewasa ini, pimpinan institusi tertinggi negara banyak
yang dipimpin oleh tokoh nasional dengan latar belakang Pondok
Pesantren.
Menurut UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, disebutkan, bahwa pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat. Untuk mengatasi
ancaman penyimpangan perilaku masyarakat, perlu dilakukan
penguatan pendidikan karakter. Pendidikan karakter sebagai
keniscayaan untuk menata kembali penanaman karakter dan
budaya bangsa. Pendidikan karakter dapat dikembangkan tidak
hanya melalui sekolah formal, namun bisa dilakukan pula melalui
Pesantren, masjid, rumah ibadah, berbagai organisasi sosial
kemasyarakatan hingga lingkungan kerja.
Pada mula dicanangkan oleh Menteri Pendidikan
Nasional pada peringatan Hari Pendidikan Nasional pada 2010
lalu, model pendidikan karakter marak dipraktikkan di
sekolah-sekolah. Lantas, seperti apa efektifitas aplikasi
pendidikan karakter tersebut?, pendidikan karakter itu sangat
efektif dan sesuai di dalam Pesantren sebab di Pesantrenlah
pendidikan integral tercipta, dengan pendidikan integral itu
menciptakan orang yang berakter. Karakter dibangun bukan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
sekedar dengan pembelajaran, akan tetapi juga pengajaran,
pelatihan, pembiasaan, dan pembinaan. Di sini artinya, pendidikan
agama dan moralitas diintegrasikan.
Usulan model Pesantren, sebagai basis atau pembelajaran
pendidikan karakter ala Pesantren patut direspon. Sebab selama
ini harus diakui bahwa arah pendidikan karakter di Indonesia
belum jelas. Model pendidikan karakter apa yang akan
diaplikasikan Pendidikan Nasional. Standar apa yang digunakan
untuk menentukan karakter itu baik dan tidak baik, tampaknya
Depdiknas sudah berusaha membuat acuan yang jelas
sebagaimana di Pondok Pesantren yang memiliki nilai, falsafah,
sistem atau motto dan lain sebagainya. Jika karakter yang
dimaksud adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri
khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam
lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara, juga masih
umum. Bisa ditafsirkan apa saja. Belum menunjukkan suatu
karakter manusia ideal, setidaknya untuk bangsa Indonesia yang
religius.
Sesuai dengan wataknya, Menurut Abdurrahman wahid
Pesantren memiliki ciri khas tradisi keilmuan yang berbeda
dengan tradisi lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Salah satu
ciri khas Pesantren adalah pengajaran kitab-kitab kuning,
kitab-kitab Islam klasik yang ditulis dalam bahasa Arab, baik
ditulis oleh ulama-ulama Arab maupun ulama-ulama Indonesia
sendiri sebab tradisi tersebut, banyak kalangan yang mengakui
bahwa tradisi pengajaran di Pesantren merupakan tradisi agung
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
yang menjadi kekayaan bangsa Indonesia yang dikenal dengan
"tradisi Pesantren". Pentransmisian ajaran Islam tradisional yang
tertuang dalam kitab-kitab klasik (kitab kuning) itulah yang
menjadi ciri khas tradisionalisme sistem pendidikan di Pesantren.
Walaupun bersifat tradisional, Pesantren telah berfungsi
sebagai salah satu benteng pertahanan umat Islam, pusat dakwah,
dan pusat pengembangan ilmu di Indonesia. Ia merupakan agen
pemberdayaan masyarakat bermoral dan beretika yang mampu
menggembleng para santri dalam menimba ilmu agama dan
menanamkan budi pekerti.
Selain bentuk pengajarannya yang tradisional, Pesantren
juga mempunyai pola kehidupan yang unik. Karena dari
kehidupan lahiriahnya, Pesantren adalah sebuah kompleks dengan
lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan di sekitarnya.
Dalam kompleks itu berdiri beberapa buah bangunan: rumah
kediaman pengasuh/kiai, sebuah surau atau masjid, tempat
pengajaran diberikan, dan asrama tempat tinggal para santri
Sebagaimana Pondok Gontor yang diikuti oleh Pondok
cabang, alumni serta Pesantren yang pimpinannya berlatar
belakang pendidikan Pesantren Gontor tentunya memiliki
Falsafah Pendidikan walaupun ada sedikit perbedaan, paling
tidak, Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan mempunyai
beberapa landasan falsafah, seperti falsafah pendidikan Pondok
Pesantren antara lain: Falsafah Kelembagaan maksudnya Pondok
Gontor berdiri di atas dan untuk semua golongan dan Pondok
adalah lapangan perjuangan, bukan tempat mencari penghidupan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
serta Pondok itu milik ummat, bukan milik kyai sedangkan
Falsafah Kependidikan seperti: Apa yang dilihat, didengar,
dirasakan, dan dialami oleh santri sehari-hari harus mengandung
pendidikan, Hidup sekali, hiduplah yang berarti, Berani hidup tak
takut mati, takut mati jangan hidup, takut hidup mati saja,
Berjasalah, tetapi jangan minta jasa, Sebaik-baik manusia adalah
yang paling bermanfaat bagi sesamanya, Hanya orang penting
yang tahu arti kepentingan, dan hanya pejuang yang tahu arti
perjuangan.
Adapun Falsafah Pembelajaran adalah: Metode lebih
penting daripada materi pelajaran, guru lebih penting daripada
metode, dan jiwa guru lebih penting daripada guru itu sendiri,
Pondok memberi kail, tidak memberi ikan maksudnya ondok
tidak memberikan ikan kepada santrinya, melainkan kail, untuk
mencari ikannya sendiri, maksudnya apa yang diterima santri di
Gontor adalah ‘kail’, bukan ‘ikan’. Pendidikan 24 jam dalam
lingkup kelas, asrama, masjid dan setiap sudut, dimaksudkan
untuk mempersiapkan alumni-alumni yang mumpuni dalam
segala bidang keilmuan, beserta mengembangkan keilmuannya
sembari terjun ke masyarakat nanti.
Menyitir sebuah kisah, diceritakan seorang kyai menyuruh
seorang santri selepas kelulusan, menuju ke sebuah toko buku
setelah sekian lama nyantri. Ilustrasi di atas merupakan isyarat
bagi santri untuk mengembangkan keilmuannya, meskipun telah
lepas dari institusi Pesantren tempat ia mencari ilmu selama ini.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Jargon carilah ilmu dari buaian hingga liang lahat, tampaknya
dewasa ini diabaikan oleh para pelajar pada umumnya.
Istilah pendidikan yang salah kaprah disamakan dengan
pengajaran, semata pertemuan guru dan murid di kelas pada
jam-jam tertentu, telah melahirkan hasil pendidikan yang
berorientasi pada ijazah. Sehingga, selepas mereka dari akademi
pendidikan (pengajaran, red.) mereka telah terlepas dari
kewajiban mencari ilmu. Alangkah disayangkan, pembelajaran
yang seharusnya bisa dinikmati seumur hidup, dikekang menjadi
kewajiban 9-12 tahun semata., Ujian untuk belajar, bukan belajar
untuk ujian, ilmu bukan untuk ilmu, tetapi ilmu untuk ibadah dan
amal. Sebagai contoh Pendidikan Pondok Darussalam Gontor
menekankan pada pembinaan pribadi mukmin muslim yang
berkarakter seperti berbudi tinggi, berbadan sehat,
berpengetahuan luas dan berpikiran bebas.
Kriteria atau sifat-sifat utama ini merupakan motto
pendidikan di Pondok Darussalam Gontor seperti Berbudi tinggi,
maksudnya Berbudi tinggi merupakan landasan paling utama yang
ditanamkan oleh Pondok ini kepada seluruh santrinya dalam
semua tingkatan; dari yang paling rendah sampai yang paling
tinggi. Realisasi penanaman motto ini dilakukan melalui seluruh
unsur pendidikan yang ada dan Berbadan Sehat maksudnya Tubuh
yang sehat adalah sisi lain yang dianggap penting dalam
pendidikan di Pondok ini. Dengan tubuh yang sehat para santri
akan dapat melaksanakan tugas hidup dan beribadah dengan
sebaik-baiknya. Pemeliharaan kesehatan dilakukan melalui
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
berbagai kegiatan olahraga, dan bahkan ada olahraga rutin yang
wajib diikuti oleh seluruh santri sesuai dengan jadwal yang telah
ditetapkan serta Berpengetahuan Luas maksudnya Para santri di
Pondok ini dididik melalui proses yang telah dirancang secara
sistematik untuk dapat memperluas wawasan dan pengetahuan
mereka. Santri tidak hanya diajari pengetahuan, lebih dari itu
mereka diajari cara belajar yang dapat digunakan untuk membuka
gudang pengetahuan.
Kyai sering berpesan bahwa pengetahuan itu luas, tidak
terbatas, tetapi tidak boleh terlepas dari berbudi tinggi, sehingga
seseorang itu tahu untuk apa ia belajar serta tahu prinsip untuk apa
ia manambah ilmu dan terakhir berpikiran bebas, maksudnya
berpikiran bebas tidaklah berarti bebas sebebas-bebasnya (liberal).
Kebebasan di sini tidak boleh menghilangkan prinsip, teristimewa
prinsip sebagai muslim mukmin. Justru kebebasan di sini
merupakan lambang kematangan dan kedewasaan dari hasil
pendidikan yang telah diterangi petunjuk ilahi (hidayatullah).
Motto ini ditanamkan sesudah santri memiliki budi tinggi atau
budi luhur dan sesudah ia berpengetahuan luas.
Pendidikan karakter jika ingin efektif dan berhasil
diharapkan menyertakan tiga basis desain dalam pemogramannya
di ataranya : pertama : membuat motto/slogan yang mampu
menumbuhkan kebiasaan baik dalam segala tingkah laku
masyarakat Pesantren, seperti : Barang siapa yang
bersungguh-sungguh, maka akan berhasil, hidup sekali hiduplah
berarti, Barang siapa yang sabar akan beruntung, dan lain
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
sebagainya, ke dua: Menggunakan konsep pendidikan karakter
pada setiap akktifitas pembelajaran dengan cara mengembangkan
sikap mengasihi dan menyayangi dan berusaha untuk berbuat baik
dengan memberikan penjelasan dan pemahaman tentang pelajaran
yang belum difahami orang lain dan yang ke tiga Pengawasan dan
evaluasi secara terus menerus tentang kebiasaan etika yang baik
dalam berpakaian, makan dan berbicara serta tetap melaksanakan
peraturan atau disiplin yang telah ditetapkan serta ke empat tidak
pilih kasih dalam mendidik anak atau santri, ke lima istiqomah
dalam melakukan kebaikan dan kebenaran dengan disiplin yang
kuat.
Dengan menempatkan pendidikan karakter di Pondok
Pesantren dalam kerangka dinamika dan dialektika proses
pembinaan santri maka para kyai atau ustadz diharapkan
semakin dapat menyadari pentingnya pendidikan karakter sebagai
sarana pedoman tingkah laku, pembinaan akhlak, dan pengayaan
nilai individu dengan cara menyediakan ruang bagi figur suri
tauladan dan menciptakan sebuah lingkungan yang kondusif bagi
proses pendidikan karakter, berupa ketenaga, kenyamanan dan
keamanan yang membantu suasana pengembangan jati diri santri
satu sama lain dalam keseluruhan dimensinya baik itu sosial,
akhlak, mental, etika, estetika intelektual, psikologis, keagamaan.
Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai sebuah usaha
untuk mendidik santri supaya mampu mengambil kebijakan dan
keputusan dengan baik dan benar serta mengaktualisasikannya
dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
kontribusi yang positif kepada Pondok Pesantren maupu setelah
kembali kemasayarakat.
Kesuksesan dan Keberhasilan pendidikan karakter dalam
sistem Pondok Pesantren tidak lepas dari peranan pimpianan/ kyai
atau guru dalam memberikan pengaturan, pengawasan dan
bimbingan yang disertai dengan keteladanan yang murni sebagai
landasannya. Jiwa Keikhlasan yang penuh tanpa pamrih dan jiwa
kemandirian yang dimiliki Pondok Pesantren adalah modal utama
dalam pendanaan operasional Pondok Pesantren, di mana Pondok
Pesantren lebih mengutamakan pada santri dan masyarakat
pendukungnya yang nantinya tidak mengikat pada kebijaksanaan
Pondok Pesantren. Biaya yang dibebankan kepada santri lebih
diutamkan untuk kepentingan santri itu sendiri, sifat kemandirian
dalam pembiayaan adalah keberhasilan dari lembaga Pondok
Pesantren yang telah mampu menjalin jaringan dan komunikasi,
baik terhadap lembaga pemerintah dan masyarakat.
Pondok Pesantren salah satu lembaga yang mempunyai
peran signifikan dan kontribusi besar dalam pembentukan dan
pembangunan karakter dan kapasitas. Dalam penerapan
pendidikannya Pondok Pesantren lebih mengedepankan kepada
serangkaian mental, sikap perilaku, motivasi, keterampilan,
pengalaman oleh sebab sepantasnya bangsa Indonesia
memberikan apresiasi yang tinggi terhadap keberhasilan
pendidikan Pondok Pesantren dan Peran serta Pondok Pesantren
sebagai lembaga pendidikan yang luas penyebarannya di berbagai
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
pelosok tanah air, telah banyak memberikan saham dalam
Pembangunan Karakter Suatu Bangsa.
Pendidikan karakter menjadi sebuah jalan keluar bagi
sebuah proses perbaikan dalam masyarakat. Namun demikian,
pendidikan karakter yang harus menjadi penopang pendidikan
sains tidak cukup dengan hanya mentransmisikan nilai-nilai di
atas, tetapi memerlukan suatu proses pendidikan yang
menekankan pada tiga komponen karakter yang baik, yakni moral
knowing, moral feeling, dan moral action (Lickona dalam
Megawangi, 2004). Dan juga memerlukan proses pendidikan yang
mencakup penghayatan, pelatihan, dan pembiasaan.
Proses pendidikan seperti itu tidak dapat mudah
dilaksanakan. Ia hanya dapat dilaksanakan dalam sistem
pendidikan asrama / kampus terpadu yang mengarah pada
pembinaan kepribadian seutuhnya. Proses pendidikan terpadu
demikian ini yang sudah lama dilaksanakan oleh lembaga
pendidikan Pesantren. Lebih dari itu, sistem pendidikan Pesantren
mampu melaksanakan pendidikan karakter yang berakar kepada
keyakinan hidup dan keagamaan yang tidak akan tergoyahkan
oleh arus perubahan nilai-nilai sosial budaya yang dihembuskan
oleh era globalisasi.
Pendidikan karakter di Pondok Pesantren dapat difahami
sebagai proses penanaman nilai esensial pada diri anak melalui
serangkaian kegiatan pembelajaran dan pendampingan serta
penagawasan sehingga para santri sebagai individu mampu
mengerti,memahami, mengalami, dan mengintegrasikan nilai
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
yang menjadi core values dalam pendidikan yang dijalaninya ke
dalam kepribadiannya, baik di lingkungan Pesantren maupun
setelah terjun ke masyarakat sehingga Peranan Pendidikan
Pondok Pesantren terhadap pembangunan karakter suatu bangsa,
insya Allah dapat terwujud.
C.Cerita kisah Pendidikan karakter oleh Nasrullah ZM
Dulu, Pak Zar (K.H. Imam Zarkasyi) pernah mengatakan,
“Hiruk pikuk kehidupan santri di Pondok Modern Darussalam
Gontor ini adalah gambar hidup.” Sebuah pemandangan yang
mengagumkan bagi yang menyaksikannya (apalagi jika mampu
meresapi dan menyelaminya).
Kemarin, dalam pertemuan Kemisan guru-guru
Kuliyatu-l-Mu’allimin al-Islamiyah (KMI), K.H. Hasan Abdullah
Sahal mengatakan hal yang sama namun dengan ekspresi bahasa
yang berbeda. Beliau mengistilahkan kehidupan santri di Pondok
ini sebagai “dinamika yang indah.” Hal tersebut dikaitkan dengan
istilah popular, “al-ma‘hadu la yanamu abadan” (‘Pondok tidak
pernah tidur’). Laksana Masjidil Haram, ada saja orang yang
melakukan thawaf; selalu ada santri yang tidak tidur ketika
sebagian besar temannya terlelap dalam mimpi. Ini ceritanya.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Aktivitas yang menjadi titik pengamatan kali ini adalah
malam hari, usai para santri mengadakan “muwajjah” (‘belajar
malam terbimbing’), atau setelah pukul 22.00 WIB. Saat sebagian
besar santri telah masuk kamar di asrama masing-masing, suasana
menjadi hening sejenak, namun bukan berarti tidak ada
kehidupan, tidak ada gerakan/dinamika. Segerombolan santri,
yang sebelumnya berkumpul di depan Kantor Bagian Keamanan,
mulai berpencar, menuju ke tempat tugas masing-masing. Mereka
adalah para “haris al-lail”, dulu disebut “bulis” (‘piket jaga
malam’). Masing-masing tempat dijaga oleh 3–4 orang santri dari
asrama, kelas, dan asal daerah yang berbeda, yang akan berpiket,
menjaga Pondok hingga waktu Subuh menjelang.
Suasana Pondok kembali senyap, namun tidak lama. Para
santri petugas bagian listrik (dulu Bagian Diesel atau “qismu
makinah”) berkeliling Pondok mematikan lampu-lampu gedung
yang tidak terpakai, seperti masjid, aula, bangunan-bangunan
kelas, dsb. Itu adalah tradisi yang sekarang berjalan. Dulu sekali,
ketika lampu PLN belum menjamah Gontor, bagian diesel akan
mematikan lampu tepat pukul 22.00 WIB, dan menggantikannya
dengan “lampu bulis,” yakni diesel khusus yang mensuplai listrik
untuk tempat-tempat tertentu saja. Jika masih ada santri yang akan
“sahiru layali” alias begadang untuk belajar malam secara
individu, mereka akan menyalakan lampu tempel pribadinya yang
dapat dibawa ke mana-mana, termasuk untuk piket jaga di depan
setiap asrama.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Di malam hari, mulai pukul 22.00–04.00, ada santri yang
bertugas piket memukul bel. Jika siang hari yang dipukul bel
besar, malam hari, bel kecil yang dipukul sebanyak jam ketika itu.
Jika jam menunjukkan pukul 23.00 WIB, bel akan dipuku
sebanyak 11 kali; jika pukul 24.00 WIB atau pukul 00.00 WIB,
bel akan dipukul 12 kali, begitu seterusnya. Bersamaan dengan
itu, beberapa Pengurus Bagian Keamanan akan berkeliling dengan
“sepeda dinas”-nya, menyelusuri areal Pondok, mengontrol semua
tempat yang ada piket jaga malamnya. Mereka mengontrol,
mengabsen, membangunkan petugas jaga yang tidur, dsb.
Seiring berkembang luasnya kampus Pondok, tempat jaga
malam anak-anak santri itu, kini, sangat luas; mulai dari Gedung
Olahraga di sebelah timur hingga perumahan guru Buyut Makkah
di sebelah barat; mulai kawasan Satelit di dekat sungai Malo
hingga penggilingan padi, BMT, dan perumahan guru di sebelah
utara, dekat jalan raya. Sangat luas. Rentang jaraknya bisa 1 Km.
Menginjak pukul 01.00–02.00 WIB dini hari, ganti lagi
santri yang bergerak, berkeliling Pondok. Mereka adalah beberapa
anak santri yang dengan gerobak khasnya bertugas membagikan
kopi Bagian Keamanan untuk para piket jaga malam itu. Cita
rasanya, wow, jangan ditanya! Yang penting memenuhi syarat;
ada “wedang kopi,” hitam dan (tidak terlalu) panas. Beberapa
tahun yang lalu, dalam acara Drama Arena atau Panggung
Gembira, kopi (“qahwah Qismul Amn,” begitu mereka menyebut)
ini pernah dijadikan bahan anekdot. Sambil menirukan sebuah
produk iklan kopi susu, seorang siswa menenggak kopi dengan
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
begitu ekspresif. Usai itu, dia berkata, “Pas kopinya; kurang
gulanya.” Hadirin pun tergelak. Itulah kopi Bagian Keamanan.
Sensasional, terkenang sepanjang masa.
Pukul 02.00 WIB dini hari, sudah ada santri yang bangun.
Mereka bergegas menuju kamar mandi, berwudlu, dan
menunaikan shalat Tahajjud. Menjelang ujian pertengahan atau
akhir tahun, jumlahnya akan meningkat berlipat kali. Tempat
shalat mereka di mana-mana: ada yang shalat di Masjid Jami‘; ada
yang di teras asrama masing-masing; dan tidak sedikit yang shalat
di bawah cakrawala yang bertabur bintang atau puncak-puncak
bangunan bertingkat, yang di siang hari untuk jemuran. Usai
shalat, mereka akan membaca buku, menghafal pelajaran, dsb.,
sambil menanti waktu Subuh tiba.
Pukul 03.00 WIB, bagian diesel akan kembali berkeliling
menghidupkan PAM (dulu diesel air) dan mengontrol
tempat-tempat wudhu dan kamar mandi, mana yang airnya belum
mengalir. Petugas listrik dan air ini, jika sedkit saja lengah, wah,
jangan tanya, akan menjadi bulan-bulanan seluruh penghuni
Pondok, dari santri hingga guru-guru. Seolah peranannya kecil,
namun, bagi Gontor, mereka itu benar-benar penggerak
kehidupan, penuh pegabdian, syarat pengorbanan.. Kelalaiannya
akan membuat santri terlambat berwudhu, shalat Subuh, dsb.
Sementara itu, guru-guru, para staf Pengasuhan Santri
berkeliling Pondok mengontrol bagaimana awal kehidupan hari
itu dimulai. Kalau dulu ada Guru senior yang rajin seperti
Al-Ustadz H. Syarif Abadi, tahun 90 an ada ustadz Suharsono
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Kalimantan, ustadz Imam Kalimi dan Husni Kamil, Hanif hafidz
(bagian Pengasuhan Santri), mereka bahkan berkeliling,
memasuki kamar-kamar atau pengurus organisasi santri (OPPM)
atau Gerakan Paramuka, membangunkan mereka yang masih
tidur. Di bagian lain, para “mudabbir” (‘pengurus asrama’) sudah
pula terjaga, berwudhu, dan mengenakan “baju dinas-”nya.
Setelah melaporkan diri ke Bagian Keamanan Pusat, atasannya,
sekitar pukul 03.30 WIB, serempak, mereka bertugas,
membangunkan anggotanya. Suaranya menggelegar,
mengagetkan, menunjukkan tanggung jawabnya. Ada yang
bertugas memukul-mukul sambil berteriak; ada juga yang
membangunkan anggota yang ogah-ogahan bangun; dan ada yang
berjaga di tempat wudhu atau teras asrama. Mereka meniru
pendahulunya, melestarikan tradisi Pondok sejak puluhan tahun
silam, melaksanakan tugas dengan sepenuh hati, kegaduhan pun
menjalar ke seluruh Pondok.
Pada waktu yang bersamaan, masih pukul 03.30 WIB,
Bagian Penerangan bekerjasama dengan para santri anggota
Jam‘iyyah al-Qurra’, menuju masjid, menghidupkan sound
system, mengumandangkan qira’ah qur’an, membangunkan ahli
Pondok dengan lantunan ayat-ayat sucinya. Demi mendengar
suara qira’ah, para piket jaga malam juga berbondong-bondong
menuju ke Bagian Keamanan, melaporkan tugasnya menjaga
semalam. Setelah itu, mereka kembali ke kamar masing-masing.
Irama kehidupan santri pun berubah seiring pergantian
waktu: diawali shalat Subuh, membaca al-Qur’an, olahraga
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
ringan, mandi, sarapan, dan masuk kelas. Kehidupan baru pun
segera dimulai.
Begitulah mesin sistem, mesin penggerak kehidupan,
mesin keikhlasan di Pondok Modern Darussalam Gontor bekerja.
Semua sudah sangat tahu dan memahami apa tugasnya, dan
bagaimana menjalankannya, dengan penuh kesadaran, tanpa
dibayar sepeserpun. Sebuah pendidikan karakter yang tidak
mudah ditiru.
Menjadi bagian dari mesin sistem Gontor itu, apapun
peranannya, bagi santri Gontor, merupakan kenangan indah ketika
telah menjadi alumni; akan terbawa, tertularkan, tersyiarkan.
Kebencian atau kejengkelan akan ketatnya disiplin, baik bagi
pengatur maupun yang diatur, akan menjadi nostalgia yang akan
selalu dirindukan. Terkadang, di antara mereka ada yang sulit
menirukan. Akhirnya, keinginan kembali ke Gontor, menapak
tilas perjalanannya, menjadi obat mujarab yang selalu ingin
diulang, tak tergantikan. Benar-benar sebuah gambar hidup
dengan dinamika yang Indah.
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany
Pendidikan Karakter, Belajar ala Pesantren Gontor
M. Ihsan Dacholfany