Senin, 30 Januari 2017

PENDIDIKAN KARAKTER / NILAI DAN SISTEM PENDIDIKAN INTEGRAL DI PONDOK PESANTREN DALAM USAHA MENGGAGAS PERADABAN MUSLIM


1. Pendahuluan

                Manusia adalah pelaku peradaban, sedangkan tanah adalah medan penyemaian dari aktivitas-aktivitas manusia, sementara waktu adalah alokasi kerja dalam proses membangun peradaban tadi, jika manusia merupakan unsur yang paling fundamental dalam sebuah peradaban, maka langkah apapun bagi terwujudnya sebuah peradaban tidak akan pernah terealisir jika mengabaikan pendidikan dan pembinaan manusia.Jadi, tugas utama pesantren dalam membangun peradaban adalah melahirkan manusia yang berkualitas pada aspek pemikiran (tilawah/kognitif), akhlaq (Tazkiyah/afektif) dan amal (ta’lim/psikomotorik), pembinaan pada ketiga dimensi di atas sejalan dengan teori perubahan sosial dan filsafat sejarah bahwa sebuah perubahan bermula dari ide, keyakinan dan berakhir dengan tindakan.

2. Pembahasan

a. Pengertian Pendidikan Nilai / Karakter

Banyak pakar telah mengembangkan berbagai pendekatan pendidikan karakter /  nilai, diantara berbagai pendekatan yang ada dan banyak digunakan, dapat diringkas menjadi lima macam pendekatan, yaitu : pendekatan penanaman nilai, pendekatan perkembangan kognitif, pendekatan analisis nilai, pendekatan klarifikasi nilai, dan pendekatan pembelajaran berbuat.
 Dalam pelaksanaan Pendidikan Budi Pekerti lebih tepat digunakan Pendekatan Campuran, dengan penekanan pada Pendekatan Penanaman Nilai, karena esensi dari tujuan antara Pendidikan Budi Pekerti dan Pendekatan Penanaman Nilai adalah sama, yakni menanamkan nilai-nilai sosial tertentu dalam diri santri di pondok pesantren.Berbagai metoda pendidikan dan pengajaran yang digunakan dalam berbagai pendekatan lain dapat digunakan juga dalam proses pendidikan dan pengajaran pendidikan nilai atau budi pekerti. Hal ini penting, untuk memberi variasi kepada proses pendidikan dan pengajarannya, sehingga lebih menarik dan tidak membosankan.



Pendidikan budi pekerti memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan nilai dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik.

Nilai-nilai / karakter yang terkandung di dalam pendidikan pesantren seperti Pondok Pesantren Darussalam Gontor adalah fikih sufistik yang lebih mengedepankan nilai / character keagamaan demi membangun peradaban dunia dan akhirat kelak. Nilai-nilai tersebut kemudian menjadi ciri khas nilai dalam pendidikan pesantren yang harus diserap oleh warga pesantren dan masyarakat sekitarnya. Karakter / Nilai tersebut kemudian membentuk pandangan hidup santri, seperti pada nilai-nilai yang dijiwai oleh suasana-suasana yang dapat disimpulkan dalam Panca Jiwa di pesantren, Darussalam Gontor selain itu pula sebagai agen pewaris budaya (agen of of conservative), pesantren berperan sebagai pewaris budaya melalui pendidikan sistem nilai dan kepercayaan, pengetahuan, norma-norma, serta dat kebiasaan dan berbagai perilaku tradisional yang telah membudaya diwariskan pada suatu generasi ke genaerasi berikutnya.Oleh karena pengaruh abad industri ini tidak saja menyentuh aspek ekonomi, tetapi juga moral dan agama, Islam dengan paradigma yang dimilikinya , yaitu ra ahmatan lil alamin, bertanggung jawab atas terjadi benturan-benturan peradaban atau implikasi negatif dari perkembangan dunia, termasuk juga didalamnya adalah masyarakat pesantren yang menjadi bagian integral dari masyarakat secara kesuluruhan tidak bisa menutup mata dan menjauh dari realitas ini. Pertanyaannya adalah bagimana bentuk akomodasi pesantren dalam merespon pesantrenitas sebagaimana fenomenanya telah diuraikan di atas, kiranya nilai- nilai apa sajakah yang dianggap akomodatif dan mampu menjawab tantangan zaman. Dengan demikian Pondok Pesantren  Darussalam Gontor memiliki nilai-nilai yang dijiwai oleh suasana-suasana yang dapat disimpulkan dalam Panca Jiwa.

b. Lima Nilai / karakter  di dalam Panca Jiwa Pondok Pesantren Darsussalam Gontor

             1. Jiwa Keikhlasan, Jiwa ini berarti sepi ing pamrih, yakni berbuat sesuatu bukan karena didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan tertentu. Segala perbuatan dilakukan dengan niat semata-mata untuk ibadah, lillah. Kyai ikhlas medidik dan para pembantu kyai ikhlas dalam membantu menjalankan proses pendidikan serta para santri yang ikhlas dididik.Jiwa ini menciptakan suasana kehidupan Pondok Pesantren Darussalam Gontor yang harmonis antara kyai yang disegani dan santri yang taat, cinta dan penuh hormat. Jiwa ini menjadikan santri senantiasa siap berjuang di jalan Allah, di manapun dan kapanpun berada.

           2. Jiwa kesederhanaan , Kehidupan di Pondok Pesantren Darussalam Gontor diliputi oleh suasana kesederhanaan, sederhana tidak berarti pasif atau nerimo, tidak juga berarti miskin dan melarat, justru dalam jiwa kesederhanan itu terdapat nilai-nilai kekuatan, kesanggupan, ketabahan dan penguasaan diri dalam menghadapi perjuangan hidup.Di balik kesederhanaan ini terpancar jiwa besar, berani maju dan pantang mundur dalam segala keadaan. Bahkan di sinilah hidup dan tumbuhnya mental dan karakter yang kuat, yang menjadi syarat bagi perjuangan dalam segala segi kehidupan .

         3. Jiwa Berdikari,   Berdikari atau kesanggupan menolong diri sendiri merupakan senjata ampuh yang dibekalkan pesantren kepada para santrinya. Berdikari tidak saja berarti bahwa santri sanggup belajar dan berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri, Pondok Pesantren Darussalam Gontor itu sendiri sebagai lembaga pendidikan juga harus sanggup berdikari sehingga tidak pernah menyandarkan kehidupannya kepada bantuan atau belas kasihan pihak lain .

   4. Jiwa Ukhuwwah Diniyyah, Kehidupan di Pondok Pesantren Darussalam Gontor diliputi suasana persaudaraan yang akrab, sehingga segala suka dan duka dirasakan bersama dalam jalinan ukhuwwah diniyyah, tidak ada dinding yang dapat memisahkan antara mereka, ukhuwah ini bukan saja selama mereka di Pondok, tetapi juga mempengaruhi ke arah persatuan ummat dalam masyarakat setelah mereka terjun di masyarakat.Kehidupan di Pondok Pesantren Darussalam Gontor yang berjalan selama 24 jam harus diliputi suasana persaudaraan akrab, sehingga segala kesenangan dirasakan bersama dengan jalinan persamaan agama. Jiwa ukhuwah ini tidak hanya berlaku ketika seorang santri tersebut masih menimba ilmu di pondok, akan tetapi jiwa ukhuwah ini ditujukan kepada persatuan ummat ketika sudah menjadi alumni dari pondok. Dari jiwa ukhuwah ini K.H. Ahmad Sahal berwasiat kepada siswa kelas enam yang telah menyelesaikan pelajaran mereka di kelas VI KMI Pondok Pesantren Gontor: Jadilah anak-anakku perekat ummat; dan fahamilah benar-benar arti perekat ummat

        5. Jiwa Bebas, Bebas dalam berpikir dan berbuat, bebas dalam menentukan masa depan, bebas dalam memilih jalan hidup, dan bahkan bebas dari berbagai pengaruh negatif dari luar, masyarakat. Jiwa bebas ini akan menjadikan santri berjiwa besar dan optimis dalam menghadapi segala kesulitan. Hanya saja dalam kebebasan ini seringkali ditemukan unsur-unsur negatif, yaitu apabila kebebasan itu disalahgunakan, sehingga terlalu bebas (liberal) dan berakibat hilangnya arah dan tujuan atau prinsip.Sebaliknya, ada pula yang terlalu bebas (untuk tidak mau dipengaruhi), berpegang teguh kepada tradisi yang dianggapnya sendiri telah pernah menguntungkan pada zamannya, sehingga tidak hendak menoleh ke zaman yang telah berubah. Akhirnya dia sudah tidak lagi bebas karena mengikatkan diri pada yang diketahui saja.

                 Peranan panca jiwa di Pondok Pesantren Darussalam Gontor yang menjiwai setiap detik kehidupan di pesantren, salah satu peranan penting panca jiwa adalah sebagai falsafat hidup santrinya. Dan dalam proses pendidikannya, K.H. Imam Zarkasyi dalam sambutannya pada acara resepsi kesyukuran setengah Abad dan peresmian masjid Jami’ Pondok Pesantren Gontor menyatakan beberapa semboyan pendidikan yang terilhami dari panca jiwa pondok pesantren. Semboyan pendidikan itu adalah: “Berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas dan berpikiran bebas”. (Imam Zarkasyi, 1991)

          Disamping semboyan yang sudah disebut diatas masih banyak lagi semboyan-semboyan pendidikan untuk para santri sebagai pencerminan dari Panca Jiwa Pondok Pesantren Darussalam Gontor tadi. Hal tersebut diungkapkan oleh K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi M.A dalam pidatonya pada acara puncak kesyukuran delapan windu 1991. Beliau mengungkapkan: “Dari sinilah keluar filsafat hidup, pencerminan dari Panca Jiwa Pondok Pesantren Darussalam Gontor itu, sehingga banyak semboyan-semboyan pendidikan untuk para santri seperti:, “Hidupilah pondok, jangan menggantungkan hidup dari pondok" , “Berjasalah dan jangan minta jasa”“Jadilah Santri yang: Berani hidup tak takut mati, takut mati jangan hidup takut hidup mati saja” Hidup sekali, hiduplah yang berarti, Jadilah Santri yang pandai menciptakan pekerjaan, bukan yang mencari pekerjaan”, “Berkorbanlah dalam berjuang, dengan Bondo, bahu, piker, lek perlu saknyawane pisan” (Abullah Syukri Zarkasyi, 1991
               Dapat disimpulkan dari ungkapan diatas bahwa kelima panca jiwa Pondok Pesantren Darussalam Gontor yang selalu menjiwai kehidupan dipondok mempunyai peran yang sangat penting dalam jalan pendidikan di pondok pesantren. Karena Pondok Pesantren lebih mementingkan pendidikan daripada pengajarannya. Adapun arah dan tujuan pendidikan di Pondok Pesantren Darussalam Gontor adalah: Kemasyarakatan, Hidup sederhana, Tidak berpartai dan Tujuan pokoknya “ibadah talabul ‘ilmi”, bukan untuk menjadi pegawai. (Abullah Syukri Zarkasyi, 1991)

        Arah dan tujuan tersebut adalah wujud kongkrit dari panca jiwa Pondok Pesantren yang selalu menjiwai kehidupan di Pondok Pesantren Gontor dan dalam hal ini lebih menekankan pada masalah jalannya pendidikan dan pengajaran di Pondok Pesantren Gontor.

        Dengan tekad untuk menjadi sebuah lembaga pendidikan berkualitas, Pondok Darussalam Gontor bercermin pada lembaga-lembaga pendidikan internasional terkemuka. Empat lembaga pendidikan yang menjadi sintesa Pondok Darussalam Gontor yang bersamaan dengan nilai-nilai di dalam Panca Jiwa adalah:
  1. Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, yang memiliki wakaf yang sangat luas sehingga mampu mengutus para ulama ke seluruh penjuru dunia, dan memberikan beasiswa bagi ribuan pelajar dari berbagai belahan dunia untuk belajar di Universitas tersebut.
  2. Aligarh, yang terletak di India, yang memiliki perhatian sangat besar terhadap perbaikan sistem pendidikan dan pengajaran
  3. Syanggit, di Mauritania, yang dihiasi kedermawanan dan keihlasan para pengasuhnya.
  4. Santiniketan, di India, dengan segenap kesederhanaan, ketenangan dan kedamaian
Selain Panca Jiwa Pondok Darussalam Gontor juga memiliki Motto yang agak berbeda dari pesantren lain pada umumnya dalam menekankan pada pembentukan pribadi mukmin yang sholeh sehingga pendidikan nilai yang ada dapat menggagas peradaban muslim di Indonesia  yaitu :

1. Berbudi tinggi, Berbudi tinggi merupakan landasan paling utama yang ditanamkan oleh Pondok Pesantren Darussalam Gontor ini kepada seluruh santrinya dalam semua tingkatan; dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Realisasi penanaman motto ini dilakukan melalui seluruh unsur pendidikan yang ada.
2. Berbadan Sehat, Tubuh yang sehat adalah sisi lain yang dianggap penting dalam pendidikan di Pondok Pesantren Darussalam Gontor ini. Dengan tubuh yang sehat para santri akan dapat melaksanakan tugas hidup dan beribadah dengan sebaik-baiknya. Pemeliharaan kesehatan dilakukan melalui berbagai kegiatan olahraga, dan bahkan ada olahraga rutin yang wajib diikuti oleh seluruh santri sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan.

3. Berpengetahuan Luas, Para santri di Pondok Pesantren Darussalam Gontor ini dididik melalui proses yang telah dirancang secara sistematik untuk dapat memperluas wawasan dan pengetahuan mereka, santri tidak hanya diajari pengetahuan, lebih dari itu mereka diajari cara belajar yang dapat digunakan untuk membuka gudang pengetahuan. Kyai sering berpesan bahwa pengetahuan itu luas, tidak terbatas, tetapi tidak boleh terlepas dari berbudi tinggi, sehingga seseorang itu tahu untuk apa ia belajar serta tahu prinsip untuk apa ia manambah ilmu.
4.      Berpikiran Bebas, Arti bebas disini dititik beratkan pada perbuatan berpikir dan berbuat, bebas menentukan masa depannya. Dengan prinsip jiwa bebas ini para santri harus bebas dalam memilih dan menentukan jalan hidupnya di masyarakat kelak, dengan jiwa besar dan optimis dalam menghadapi kesulitan.Tetapi sangat di sayangkan apabila jiwa bebas ini diartikan dengan arti-arti yang negatif. Seperti kebebasan yang keterlaluan (liberal), sehingga kehilangan arah dan tujuah serta prinsip. Sehingga arti bebas disini harus dikembalikan kepada aslinya, yaitu garis-garis disiplin yang positif dengan penuh tanggungjawab, baik didalam kehidupan pondok dan masyarakat. Dan jiwa-jiwa pondok yang terangkum dalam panca jiwa Pondok Pesantren Darussalam Gontor harus dihidupkan dan dipelihara dan dikembangkan dengan sebaik-baiknya. Berpikiran bebas tidaklah berarti bebas sebebas-bebasnya (liberal). Kebebasan di sini tidak boleh menghilangkan prinsip, teristimewa prinsip sebagai muslim mukmin. Justru kebebasan di sini merupakan lambang kematangan dan kedewasaan dari hasil pendidikan yang telah diterangi petunjuk ilahi (hidayatullah). Motto ini ditanamkan sesudah santri memiliki budi tinggi atau budi luhur dan sesudah ia berpengetahuan luas.


III. Penutup
Islam sebagai agama dan pesantren sebagai media dakwah Islam yang tersebar ke seluruh penjuru Nusantara tampil secara kreatif berdialog dengan masyarakat setempat (lokal), berada dalam posisi yang menerima kebudayaan lokal, sekaligus memodifikasinya menjadi budaya baru yang dapat diterima oleh masyarakat setempat dan masih berada di dalam jalur Islam dalam membangun peradaban Islam.

Dalam pandangan hidup santri, karakter / nilai-nilai yang ada di pondok  pesantren Darussalam Gontor adalah pijakan yang jelas untuk mempertahankan tradisi kepesantrenan yang baik. Jadi dengan demikian nilai-nilai yang terkandung dalam Panca Jiwa Pondok Pesantren Darussalam Gontor  yang terus dipertahankan dan dikembangkan serta diamalkan adalah berdimensi pada agama dengan tetap berada pada tataran tradisi pesantren dan selalu melihat pada perubahan-perubahan yang terjadi terhadap sistem pendidikan pesantren. nilai-nilai yang terkandung dalam Panca Jiwa Pondok Pesantren Darussalam Gontor  itulah yang akhirnya membentuk pandangan hidup santri terhadap pesantrennya.Dengan demikian, maka sistem pesantren di dasarkan atas dialog yang terus- menerus antara kepercayaan terhadap ajaran dasar ajaran agama yang di yakini memiliki nilai kebenaran muthlak dan realitas sosial yang memiliki nilai kebenaran relative. nilai-nilai yang terkandung dalam Panca Jiwa Pondok Pesantren Darussalam Gontor  inilah yang kelak membangun perdaban muslim.

                Dari pembahasan diatas, penulis mengambil beberapa point yang sekiranya bisa menggambarkan secara ringkas permasalahan yang telah diulas sebagai berikut:
  1. Hal yang paling penting dalam suatu Pondok Pesantren Darussalam Gontor bukanlah pelajaran atau kurikulumnya, melainkan jiwa-jiwa yang mendasari kehidupan pesantren tersebut.


  2. Panca jiwa Pondok Pesantren Darussalam Gontor adalah: Keikhlasan, Kesederhanaan, Kesanggupan menolong diri sendiri (zelp help) atau berdikari (berdiri diatas kaki sendiri), ukhuwah islamiyah, dan jiwa bebas merupakan filsafat hidup.

  3. Dari jiwa-jiwa pondok yang lima muncul semboyan pendidikan yang menjadi filsafat pendidikan di pondok pesantren seperti motto Pondok Pesantren Darussalam Gontor.


  4. Peranan Panca jiwa sebagai filsafat hidup dalam pendidikan dan pengajaran di Pondok Pesantren Darussalam Gontor  adalah membuat kongkrit tujuan pendidikan dan pengajaran

                Pendidikan adalah proyek besar bersama, investasi untuk membangun masa depan, harus ditangani dengan sungguh-sungguh, ketekunan dan perhatian penuh, serta melibatkan semua pihak secara massiv dengan menekan biaya serendah mungkin agar terjangkau seluruh lapisan masyarakat.

              Tidak bisa hanya menjadi usaha sampingan, apalagi dicemari dengan interest-interest pragmatis . Pendidikan bertujuan membentuk kepribadian anak didik yang unggul ; pola fikir, sikap dan tingkah laku, serta menyempurnakan akhlak mulia. Sebagai proyek jangka panjang, target pendidikan tidak bisa dibatasi dengan kurun waktu tertentu, terus berkesinambungan sepanjang kehidupan itu sendiri, karena itu sharing pengalaman, dan kolaborasi dalam kebaikan, merupakan suatu keniscayaan (QS. 9 : 71 dan 5 : 2).

           Demikianlah penelitian saya dalam menulis karya ilmiah ini dan  sedikit pengalaman saya selama jadi santri dan ustadz selama  8 tahun di Pondok Pesantren  Darussalam Gontor ditambah pengalaman di Pondok Pesantren Baitul Arqom Jember  dan Pondok Madrasatul Qur’an Tubeireng Jombang selama satu tahun dan pesantren Husnayain Jakarta selama 4 tahun, semoga berkah dan manfaat selalu dari hasil didikan, bimbingan dan pengalaman selama ini.

Tentunya dalam mendidik generasi muda Islam, kami menyadari masih sangat banyak hal yang mesti dibenahi dan ditingkatkan, kewajiban kita adalah berusaha untuk melakukan sesuatu yang terbaik (QS. 67 : 2), tanpa merasa diri sebagai yang lebih baik (QS. 53 : 32). Semoga Allah senantiasa melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua, dalam perjuangan menggapai ridha-Nya dalam pengembangan peradaban Islam melalui pendidikan nilai dan Sistem Integral di Pondok Pesantren. Amin.


* Karya tulis ini dibuat oleh M . Ihsan  Dacholfany M.Ed

DAFTAR  PUSTAKA

Abdullah Syukri Zarkasyi, Sambutan Pimpinan Pondok Pesantren dalam Acara Puncak Kesyukuran Delapan Windu, dokumentasi peringatan delapan windu, (Gontor: 1991)


Abuddin Nata,  Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (seri kajian Filsafat Pendidikan Islam), (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cet. I, Juli 2000)



Agus Aris Munandar. Peranan Ulama Dalam Istana Kerajaan- Kerajaan Islam di Pulau Jawa,( Dalam Analisa Kebudayaan No. 3 Tahun IV, Depdikbud, 1983. 

Diktat pekan perkenalan, (Gontor: 2007)

Dokumentasi peringatan delapan windu, (Gontor: 1991)

Fachry Ali. Ulama dan Politik, dalam “Pergulatan Dunia  Pesantren Membangun dari Bawah, Jakarta: Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, P3M, 1985.

Harun Nasution. Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992.

Imam Zarkasyi &  Abdullah Sahal, Wasiat, Pesan, Nasehat dan Harapan Pendiri Pondok Pesantren, (Gontor: 1990)

Imam Zarkasyi, Sambutan pimpinan dalam acara resepsi kesyukuran setengah abad dan peresmian masjid jami’ Pondok Pesantren Gontor, Kenang-kenangan 1926; Peringatan Delapan Windu, 1990, (Gontor: 1990)  

Manfrred Oepen DKK, Dinamika Pesantren, P3M, Jakarta, 1988,

Mansur, Moralitas Pesantren, Safiria Insani Press, Yogyakarta, 2004

Martin Van Bruinessen. Pengantar: Abdurrahman Wahid. Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat. Bandung: Mizan. 1995. 

Mohammad Daud Ali dan Habibah Daud. Lembaga- Lembaga Islam di  Indonesia,(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995.

Said Aqil Siroj. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi. Bandung: Mizan, 2006.
Surajiyo. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia: suatu Penganar.Jakarta: Pt. Bumi Aksara. 2009.

Suwendi.  Rekonstruksi Sistem Pendidikan Pesantren, dalam ‘Pesan

PROBLEMATIKA MADRASAH DAN ALTERNATIF SOLUSINYA

1. PENDAHALUAN

UU No 20/2003 menyiratkan peluang yang sama kepada madrasah dan pesantren yang bukan sekolah umum berciri khas Islam untuk mendapat pengakuan, penghargaan dan tidak didiskriminasikan. Namun, ditingkat implementasi pengelolaan, penyelenggaraan madrasah, apakah terjadi yang sedemikian atau sebaliknya ? Apakah tidak muncul tarik menarik terkait dengan kewenangan pengelolaan secara sentralisasi atau desentralisasi? mencuat pandangan dominan bahwa ketertinggalan pendidikan di madrasah disebabkan oleh perlakuan diskriminasi pemerintah. Benarkah demikian ?
Di era persaingan global ini, trend pendidikan mengalami pergeseran orientasi yang menempatkan pembangunan manusia seutuhnya melalui pendidikan dan latihan dengan beragam jenis, jenjang, sifat dan bentuknya. Pendidikan manusia Indonesia seutuhnya diidealisasikan menjadi titik puncak tercapainya pendidikan nasional yang sampai saat ini menjadi dambaan bangsa Indonesia. Sosok pribadi yang diidolakan belum juga dihasilkan, maka lembaga pendidikan dijadikan ekspektasi alternatif, sebagai instrumen utama proses kemanusiaan dan pemanusiaan, yaitu menghargai dan memberi kebebasan untuk berpendapat dan berekspresi. Penghargaan yang demikian adalah benih yang mulai tumbuh, dan sebagai sebuah proses kebebasan terus-menerus diperjuangkan.
Bagaimana mungkin bisa menjadi manusia yang sesungguhnya, kalau dalam realitasnya memang pendidikan Islam sebagai subsistem dinilai masih kering dari aspek pedagogis, dan lebih mekanistik dalam menjalankan fungsinya sehingga terkesan hanya akan melahirkan peserta didik yang ”kerdil” karena tidak memiliki dunianya sendiri. Menurut Ma’arif, konsep pendidikan telah dipaksa untuk menuruti konsep development-kapitalis yang terelaborasi sedemikian rupa, demi memenuhi kebutuhan industrialisasi, sehingga pendidikan yang seharusnya menjadi media pemberdayaan malah menjadi sarana pembodohan yang sistematis, penciptaan robot-robot intelektual yang terprogram secara maraton dan monoton.
Pendidikan dalam Islam pada hakekatnya adalah untuk semua (education for all), sebagai hak individu warga negara dan juga warga dunia memiliki hak memperoleh pendidikan secara adil. Ternyata, hal yang semestinya merupakan hak tersebut kini tergantikan oleh pendidikan sebagai barang dagangan. Pendidikan menjadi ritus masyarakat yang membodohkan karena mereka yang tidak sekolah dianggap bodoh. Bahkan pendidikan menjadi penyebab terjadinya ketidakadilan, karena masyarakat yang mampu sekolah adalah golongan elite yang kaya sedangkan mereka yang tidak mampu sekolah adalah masyarakat miskin.
Di sisi lain, menurut Fadjar dalam Rahardjo menyatakan bahwa kurang tertariknya masyarakat untuk memilih lembaga-lembaga pendidikan Islam sebenarnya bukan kerena telah terjadi pergeseran nilai atau ikatan keagamaannya yang mulai memudar, melainkan karena sebagian besar lembaga pendidikan Islam yang ada kurang menjanjikan masa depan dan kurang responsif terhadap tuntutan dan permintaan saat ini maupun mendatang. Padahal, paling tidak ada tiga hal yang menjadi pertimbangan masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan, yaitu nilai (agama), status sosial dan cita-cita.

11. LATAR BELAKANG
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia, muncul dan berkembang seiring masuk dan berkembangnya Islam di negeri ini. Madrasah mengalami sejarah panjang pasang surut perkembangan seirama perkembangan Bangsa Indonesia. Baik sejak masa kesultanan, penjajahan hingga kemerdekaan. Perkembangan ini mengubah pendidikan dari bentuk awal seperti pengajian di rumah, mushalla dan masjid menjadi lembaga formal sekolah berbentuk madrasah yang dikenal saat ini.
Pada era kolonialis Belanda, perkembangan madrasah dimulai dari semangat reformasi yang dilakukan masyarakat Muslim. Faktor penting yang melatarbelakangi kemunculan madrasah adalah karena adanya pandangan yang mengatakan bahwa sistem pendidikan Islam tradisional dirasakan kurang bisa memenuhi kebutuhan pragmatis masyarakat. Dan adanya kekhawatiran atas kecepatan perkembangan persekolahan Belanda yang akan menimbulkan pemikiran sekuler di masyarakat. Untuk menyeimbangkan perkembangan sekulerisme, para reformis kemudian memasukkan pendidikan Islam dalam persekolahan melalui pembangunan madrasah.
Pada era Orde Lama, pengaturan dua sistem pendidikan ini kemudian diupayakan untuk dihapus. Paling tidak ada tiga usaha yang dilakukan. Pertama, memasukkan pendidikan Islam ke dalam kurikulum pendidikan umum di sekolah negeri maupun swasta melalui pelajaran agama. Kedua, memasukkan ilmu pengetahuan umum ke dalam kurikulum pendidikan di madrasah. Ketiga, mendirikan sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) untuk memproduksi guru agama bagi sekolah umum maupun madrasah.
Awal pemerintahan Orde Baru (1966), Indonesia mengembangkan dua sistem pendidikan, yaitu pendidikan umum dan keagamaan. Dualisme sistem pendidikan ini sebenarnya produk dari masa kolonialis Belanda. Sistem pendidikan ini pula yang melahirkan dua dasar politik utama, yaitu kekuatan Islam dan nasionalisme. Pada perkembangannya, Pemerintah Indonesia berusaha menyatukannya dalam satu ideologi Pancasila.
Awal pemerintahan Orde Baru, pendekatan legal formal yang dijalankannya tidak memberikan dukungan pada madrasah. Tahun 1972 Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34 Tahun 1972 dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 15 Tahun 1974 yang mengatur madrasah di bawah pengelolaan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud)-sebelumnya, dikelola Menteri Agama.
Tanggapan yang muncul di kalangan muslim sangat beragam dan cenderung keras. Kebijakan itu dinilai sebagai usaha sekulerisme dan menghilangkan madrasah dari sistem pendidikan di Indonesia. Merespon reaksi tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan keputusan bersama antara Mendikbud, Menteri Agama (Menag), dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Isinya, mengembalikan status pengelolaan madrasah di bawah Menteri Agama, tetapi harus memasukkan kurikulum umum yang sudah ditentukan pemerintah.

111. PERMASALAHAN
Secara legal, madrasah sudah terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional sejak di-berlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Madrasah, juga pendidikan Islam lainnya, terus menghadapi pilihan yang tidak mudah, yaitu antara kebutuhan keagamaan dan kebutuhan duniawi. Di satu sisi, madrasah dituntut bisa berfungsi meningkatkan pemahaman ilmu-ilmu agama dan kemampuan mengamalkan ajaran Islam. Sementara di sisi lain lembaga ini dituntut berfungsi menumbuhkan kemampuan peserta didik dalam memenuhi kebutuhan hidup yang bersifat keduniawian.
Demikian pula dari materi pendidikannya, Semula hanya belajar mengaji Alquran dan ibadah praktis, melalui sistem madrasah materi pelajaran mengalami perluasan seperti tauhid, hadits, dan balaghoh. Dalam perkembangannya kemudian, madrasah juga mengadopsi pelajaran umum seperti di sekolah di bawah Dikbud. Dengan begitu, selain terjadi integrasi ilmu agama dan umum, madrasah memberikan program pendidikan yang setara dengan pendidikan yang diberikan Depdikbud. Melalui proses panjang dan sering melibatkan ketegangan politik antara eksponen yang berbeda pandangan, kecenderungan untuk menyintesiskan dua kutub pendidikan ‘nasional’ dan pendidikan Islam tampaknya semakin terbukti. Perkembangan ini tecermin dalam UU No 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN).
Perubahan kurikulum madrasah itu lebih didasari kebutuhan masyarakat pengguna jasa madrasah, karena tuntutan zaman. Munculnya gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) telah memberi legitimasi teologis perubahan kurikulum madrasah. Dari sini mulai berkembang gagasan integrasi ilmu agama dan iptek yang selama ini dikelompokkan ke dalam ilmu umum atau ilmu sekuler. Muncul kemudian berbagai model madrasah terpadu yang mengintegrasikan ilmu umum dan ilmu agama ke dalam satuan kurikulum madrasah.

Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang dikelola Depag sejak awal kehadiran departemen ini. Namun dengan disahkannya UU No 22/1999 tentang Pemda dan UU No 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, muncul dilema mengenai status madrasah. Ketentuan UU No 22/1999 menyatakan, kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan. Pertanyaannya apakah madrasah termasuk dalam bidang pendidikan atau agama? .
Sebagai bagian dari system pendidikan di Indonesia, perhatian pemerintah pada pendidikan di madrasah sangat diperlukan. Apalagi, pendidikan madrasah menyumbang 20 persen dari total siswa yang ada di sekolah. Di tingkat SLTP atau madrasah tsanawiyah jumlahnya mencapai sekitar 35 persen dari total siswa. Jumlah ini tentu saja sangat signifikan untuk mendukung penuntasan program wajib belajar 9 tahun.
Jika melihat Undang Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bisa dikatakan bahwa agama menjadi salah satu jiwa dan tujuan pendidikan. Pendidikan, sebagaimana klausul pada Bab II adalah bertujuan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi: Manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; Berakhlak mulia; Sehat; Berilmu; Cakap; Kreatif; Mandiri; Menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Arah pengembangan madrasah adalah memperkuat dan memberi makna terhadap pengakuan, madrasah adalah sekolah umum berciri khas Islam. Guna memberikan ciri khas itu, tidak cukup hanya ciri formal dalam kurikulum. Karena itu, ditetapkan tiga program utama yaitu iptek bernuansa Islam; pelajaran agama bernuansa iptek; penciptaan suasana keagamaan di madrasah.
Menghadapi abad ke 21, pembenahan madrasah harus diawali dengan tekad untuk mewujudkannya sekolah unggulan yang mampu memadukan kekuatan iptek. Salah satu ciri Umat Islam Indonesia adalah menyiapkan anak didik yang dapat memadukan iptek dan imtak. Nilai plus madrasah terletak pada pendidikan keimanan yang menekankan kepekaan hati dan ketajaman akal. Dengan nilai plus ini diharapkan madrasah tampil sebagai pioneer proyek reintegrasi ilmu Islam.
Dalam realitasnya, entah karena beban berat yang disandangkan dalam kurikulum madrasah, secara makro, atau karena kurangnya perhatian pemerintah (tidak sebagaimana pada pendidikan / sekolah umum), terjadi kesenjangan prestasi antara madrasah dan sekolah umum, hingga tak sedikit sejumlah pihak menyarankan agar pemerintah mengembalikan madrasah ke bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Mereka menilai, di bawah naungan Depag, keberadaan madrasah justru semakin termarginalkan, karena tanggung jawab Depag yang tidak pendidikan ansich. Namun, Departemen Agama (Depag) menilai, pengembalian ini justru akan mematikan sebagian besar madrasah, yang umumnya berstatus swasta, dengan sejarah panjang yang menyertai tumbuh kembangnya masyarakat.

IV.PEMBAHASAN
Pengakuan keberadaan madrasah yang demikian (sampai saat ini), akan membuka peluang kebhinekaan lembaga pendidikan keagamaan, namun dalam status diakui sebagai bagian dari sisdiknas. Dengan demikian sebagian berpendapat, tidak diperlukan lagi aktivitas ujian ekstra, ujian persamaan dan sejenisnya bagi madrasah yang bukan sekolah umum untuk mengikuti kurikulum sekolah.
Mencuatnya pandangan dominan bahwa ketertinggalan pendidikan di madrasah disebabkan oleh perlakuan diskriminasi pemerintah, berdasarkan pemetaan, terpapar sbb : Perhatian pemerintah terhadap madrasah sangat minim dibandingkan perhatian mereka pada sekolah umum, misalnya dalam mengadakan sarana dan prasarana pendidikan bagi madrasah. Akibatnya, madrasah beroperasi dengan sarana dan prasarana yang serba terbatas dan kurang. Ironisnya, pemerintah lebih banyak melakukan intervensi terhadap kekhasan pendidikan madrasah, selain intervensi mereka terhadap kurikulum.
Dalam menetapkan anggaran pendidikan, Madrasah sebagai sebuah lembaga pendidikan formal yang lebih menitikberatkan visi dan misi kepada model pendidikan agama, selama ini, hanya dijadikan salah satu sektor saja, karena dikategorikan sebagai lembaga keagamaan, unit cost madrasah jauh di bawah sekolah umum, demikian juga halnya dalam hal subsidi dan lain-lain. Apakah perlakuan ini merupakan bias dari pandangan dualistik dalam pendidikan, yang sebenarnya merupakan warisan dari pemerintahan kolonial Belanda? Bantuan dana pendidikan bagi siswa madrasah negeri ternyata jauh lebih kecil dibandingkan siswa sekolah umum di semua tingkatan. Bahkan guru honorer di lingkungan madrasah negeri pun dan guru swasta sama sekali tidak mendapat bantuan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Beberapa pendapat bahwa akibat dari perbedaan perlakuan tersebut berimplikasi pada kredibilitas lembaga pendidikan agama itu sendiri. Akibat dari kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan pendidikan umum di tanah air ini, lembaga pendidikan madrasah menjadi semakin marginal dan cenderung tidak berdaya. Padahal, kalau kita mau jujur melihat, lembaga pendidikan yang disebut madrasah itu telah banyak memberikan kontribusi nyata untuk meningkatkan kualitas bangsa ini dalam sebuah paradigma pendidikan yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas beragama dan berbangsa.
Padahal, diakui atau tidak, Madrasah adalah lembaga pendidikan yang menjalankan fungsi filterisasi terhadap pengaruh yang dibawa oleh arus globalisasi. keberadaan madrasah adalah sebuah wujud partisipasi masyarakat yang menyadari betapa pentingnya madrasah untuk mempersiapkan peserta didik yang siap menantang tantangan perubahan zaman yang berimplikasi pada perubahan sikap dan tingkah laku yang semakin global.
Masalah krusial lain yang dihadapi madrasah, berkaitan dengan kompetensi mengajar dari para guru yang masih kurang relevan. Demikian pula dengan tingkat pendidikan para guru madrasah, masih harus ditingkatkan. Apalagi UU Guru dan Dosen mewajibkan guru minimal berpendidikan S-1 (Untungnya, saat ini Depag telah memberikan solusinya dengan memberikan bea siswa)
Masalah lainnya adalah kesenjangan kesejahteraan guru madrasah dan sekolah umum pun belum terselesaikan. Guru yang berada di bawah Depag tidak mendapat bantuan seperti guru sekolah umum lain, terutama guru madrasah swasta. Guru-guru madrasah negeri juga tidak sedikit mengalami masalah karena banyak yang belum naik kepangkatannya, meski sudah puluhan tahun mengabdi.
Terjadinya ketidakseimbangan dalam proses menjalankan kebijakan di bidang pendidikan menyebabkan jurang kesenjangan dan ketimpangan antara lembaga pendidikan umum dengan madrasah terus terbuka. Bahkan, bentuk-bentuk kesenjangan masih terus terjadi hingga hari ini. termasuk adanya anggapan madrasah hanya sebuah lembaga pendidikan kelas dua alias tidak memiliki kesesuaian standar kualitas mutu pendidikan.
Padahal, madrasah adalah institusi pendidikan yang juga memberi pencerahan kepada anak bangsa melalui proses penyelenggaraan pendidikan sejalan dengan tujuan pendidikan nasional. Karena sistem pendidikan madrasah merupakan subsistem dari sisdiknas, seharusnya penjenjangan pendidikan madrasah sama dengan sistem persekolahan nasional. Rentetan ini membuat keberadaan madrasah semakin terjepit di tengah berbagai bentuk keprihatinan dan ketidakberdayaan dan tuntutan yang selama ini menimpanya.
Sebenarnya, dalam konteks otonomisasi pendidikan, pembelajaran yang berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan hendaknya sudah menjadikan pemerintah pada posisi sebagai fasilitator dan bukan pengendali. Sehingga, pemeran utama pembelajaran adalah guru sebagai pengajar dan murid sebagai yang belajar. Murid atau peserta didik hendaknya diberi hak untuk mendapatkan pengajaran yang sesuai dengan pilihannya dan diperlakukan sesuai dengan potensi dan prestasinya

Dalam upaya menghadapi permasalahan itu, ada beberapa alternatif yang mungkin dilakukan beserta segala konsekuensi antara lain :
1. Pemikiran yang paling simple ditingkat kebijakan, namun bisa bervariasi ditingkat implementasi, yakni menginginkan pendidikan madrasah tetap di bawah Depag secara struktural. Namun, pengelolaan di tingkat daerah diotonomikan sejalan diberlakukannya UU tersebut.
2. Kalau sentralisasi tetap sebagai pilihan maka Depag masih secara langsung menyelenggarakan pembinaan madrasah seperti selama ini. Pilihan ini mengandung makna, Depag memandang madrasah berada dalam kategori sektor agama sebagaimana tertuang dalam UU NO. 22/1999. Sumber dana yang diberikan untuk melakukan pembinaan dapat langsung dikelola Depag. Kekuranganya: anggaran berasal dari sektor agama yang relatif kecil; pemda merasa tidak bertanggung jawab terhadap madrasah; masyarakat kurang terlibat dalam pendidikan; dan tentunya birokrasi berbelit-belit.
3. Melakukan lobi. tinggal bagaimana political will antara pemerintah, DPR, Depdiknas dan Depag serta masyarakat. Pemda setempat memberikan perhatian cukup besar, termasuk anggaran terhadap madrasah dan pesantren. Hal ini secara kalkulasi politik tentu saja akan menguntungkan pembangunan daerah.
4. Menyerahkan pembinaan madrasah ke Pemda tingkat II sehingga satu atap dalam penyelenggaraan. Kelebihannya, antara lain pengakuan madrasah sebagai bagian dari sisdiknas semakin kuat sehingga memperoleh perlakuan sejajar dan tidak ada diskriminasi termasuk dalam masalah anggaran. Kekurangannya; dikhawatirkan Depdiknas kurang memiliki SDM yang mengerti spirit madrasah, sehingga ciri khas Islam berkurang bahkan hilang. Apalagi bila masyarakat sudah cuci tangan dalam pengelolaan sekolah.

Dari beberapa catatan kecil tersebut, perlu disampaikan beberapa pokok pikiran yang harus segera direspons secara terbuka dan dicarikan solusi konkret terhadap permasalahan yang mengemuka.
• Pertama, bagaimana semua pihak yang terkait dengan proses penyelenggaraan pendidikan ini secara serius memperhatikan sarana penunjang pendidikan yang dibutuhkan anak didik di madrasah. Di antaranya, rasio kebutuhan buku paket/buku pegangan siswa, laboratorium, dan sarana pendukung lainnya seperti perpustakaan yang selama ini sangat minim dibanding lembaga pendidikan umum.
• Kedua, merancang pola rekrutmen guru dalam rangka menyediakan tenaga guru yang memenuhi standardisasi, kualifikasi, dan kompetensi di bidang pendidikan, serta berdedikasi tinggi.
• Ketiga, tampaknya perlu mulai dipikirkan subsidi silang, ’’swastanisasi” terhadap sekolah-sekolah negeri (umum) yang sudah mapan dalam penyelenggaraan pendidikannya. Sehingga, berbagai bentuk subsidi dapat dialokasikan secara seimbang kepada sekolah-sekolah yang masih terpinggirkan, khususnya kepada madrasah yang selama ini lebih banyak bergantung kepada swadaya masyarakat.
• Keempat, tidak ada lagi dikotomi antara lembaga pendidikan umum dengan madrasah. Sebab, itu akan menimbulkan kekeliruan pemahaman di kalangan masyarakat luas, yang pada akhirnya menghambat proses penyelenggaraan pendidikan nasional yang sama-sama bertujuan mencerdaskan anak bangsa.
• Dan kelima, memberi kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk memosisikan diri, peran, serta partisipasinya dalam penyelenggaraan pendidikan secara utuh, sebagaimana pada awal-awal keberadaan madrasah, apalagi bila mampu menyediakan orang tua asuh bagi siswa yang kurang mampu.
Dengan mengurai berbagai permasalahan pendidikan keagamaan di Indonesia, kita menjadi lebih cermat, peduli dan nampaknya, hal penting lain perlu diingat pula sbb : Sebenarnya, pemerintahan mana pun tak ingin terjadi adanya ketimpangan sosial dikarenakan kecemburuan pengelola dan pemerhati madrasah di Indonesia. Karena itu, perlu dibuat klausul dalam peraturan pemerintah tentang persentase dana anggaran pendidikan agama. Jika madrasah tetap berada di bawah binaan Depag, dalam hal ini Menteri Agama, pemerintah pusat perlu memikirkan sumber tambahan anggaran untuk meningkatkan pembinaannya sehingga kesan marjinalisasi madrasah bisa terhapuskan. Saat ini permasalahan yang cukup mendasar pada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan adalah potensi mutual throwing, dikarenakan beda penerjemahan tentang otoritas kebijakan pemerintah pusat dan daerah. Hal ini harus disikapi melalui peraturan daerah sebagai penegasan atas pembagian tugas masing-masing pemegang kebijakan. Kemudian juga desain sentralisasi pembinaan madrasah saat ini apakah masih efektif untuk mencapai dan menjaga visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional? Jika dianggap masih bisa, maka Depag perlu melakukan upaya optimalisasi koordinasi dengan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, di samping meningkatkan akuntabilitas lembaganya.

Apa pun kebijakan yang diambil dalam menentukan nasib madrasah (termasuk pesantren) di era otda ini, setidaknya perlu memperhatikan beberapa hal:
1. Tidak merugikan ciri khas Agama Islam baik jangka pendek maupun panjang. Misalnya, adanya perubahan sosial politik, pergantian decision maker, dsb.
2. Tidak ada lagi diskriminasi perlakuan antara madrasah dan sekolah umum. Termasuk misalnya diskriminasi dalam anggaran. Pengaturan dana antara pendidikan di bawah Depdiknas dan Depag hanya masalah teknis prosedural yang diharapkan bisa diatur. Misalnya, melalui Panitia Kerja Anggaran Bersama untuk menentukan kebijakan yang adil dan proporsional antara anggaran pendidikan di bawah Depdiknas dan Depag.
3. Perlunya perhatian pemerintah daerah yang cukup, meskipun selama ini madrasah berada langsung di bawah pusat. Sebab bagaimanapun, persoalan pendidikan adalah persoalan universal, dan merupakan investasi jangka panjang .

V. ASPEK YANG PERLU DIKEMBANGKAN DI LEMBAGA
PENDIDIKAN ISLAM (MADRASAH)
Ada beberapa aspek yang perlu dikembangkan dalam lingkup lembaga pendidikan Islam pada umumnya, dan Madrasah pada khususnya untuk menumbuhkan kualitas SDM yang berwawasan global paling tidak harus asanya pengelolaan yang baik aspek-aspek dibawah ini, yaitu:
1. Aspek pendidikan (pedagogis). Sebagai lembaga yang bergerak dalam dunia pendidikan, lembaga pendidikan Islam berperan penting dalam peningkatan SDM yang berkualitas dan melahirkan kader-kader pemimpin bangsa dan agama yang memiliki wawasan keislaman dan nasionalisme yang tinggi serta mempunyai pandangan yang luas tentang dunia luar. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa reformasi dan pembaharuan dalam Islam haurus dimulai dari pendidikan.
2. Aspek Moral-Spiritual. Pendidikan Islam bertujuan membina peserta didik menjadi seseorang yang mencapai derajat ulul albab yakni intelektual muslim yang tangguh, yang tidak hanya memiliki ketajaman analisis obyektif, tetapi juga subyektif. Lembaga pendidikan Islam berupaya memberikan penguatan dan dasar pemahaman keagaamaan secara baik. Mengajarkan nilai-nilai kejujuran, kerendahan hati, kesederhanaan dan nilai-nilai keluruhan kemanusiaan. Nilai keluhuran itulah yang mengantarkan peserta didik mendapat penilaian yang baik di sisi masyarakat dan di mata Tuhan-Nya.
3. Aspek sosio-kultural. Tidak dapat dipungkiri lembaga pendidikan Islam memberikan pengaruh yang signifikan terhadap corak karekter masyarakat. Merespons persoalan-persoalan masyarakat seperti memelihara tali persaudaraan, menciptakan kehidupan yang sehat dan sebagainya. Lembaga pendidikan dalam aspek ini memberikan penanaman akan pentingnya makna-makna etis dalam dialog keagamaan, khususnya istitusi pendidikan Islam.
4. Aspek Sistem pendidikan. Sistem pendidikan di lembaga pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang dapat berbentuk isolatif tradisional, serta bercorak sintesis dengan berbagai variasi pola pendidikannya.
5. Aspek Sarana dan prasarana. Pengadaan sarana yang sentralistik menjadikan perlakuan yang sama, pukul rata, semua mendapatkan yang sama, tanpa memperhitungkan kesiapan lembaga pendidikan Islam khususnya Madrasah yang menjadi obyek bantuan. Seringkali pemberian bantuan sarana mengindahkan ketersediaan pengelola, keberlangsungan sarana tersebut, biaya maintenance-nya, kesesuaian dengan kebutuhan (needs assesment), sebab kondisi Madrasah di satu lokasi dengan yang lainnya sangat berbeda, dengan kata lain, belum tentu sarana yang diberikan dibutuhkan, tetapi di tempat lain sangat dibutuhkan. Di sisi lain, lokal yang dapat digunakan untuk mendukung pemanfaatan yang optimal dari sarana tersebut Madrasah kita masih belum mampu menyediakan secara khusus, karena konsekwensinya adalah sumberdana masyarakat.
VI. PERLUNYA MADRASAH MENINGKATKAN SUMBERDAYA INSANI.
Kita ketahui bersama bahwa Pendidikan Islam merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis yang bertujuan untuk membentuk manusia yang berkualitas antara lain :
1. Berkepribadian Islam. Ini sebetulnya merupakan konsekuensi keimanan seorang Muslim. Intinya, seorang Muslim harus memiliki dua aspek yang fundamental, yaitu pola pikir (’aqliyyah) dan pola jiwa (nafsiyyah) yang berpijak pada akidah Islam . ada tiga langkah yang harus ditempuh, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw., yaitu:
a. Menanamkan akidah Islam kepada seseorang dengan cara yang sesuai dengan kategori akidah tersebut, yaitu sebagai ‘aqîdah ‘aqliyyah; akidah yang muncul dari proses pemikiran yang mendalam.
b. Menanamkan sikap konsisten dan istiqâmah pada orang yang sudah memiliki akidah Islam agar cara berpikir dan berprilakunya tetap berada di atas pondasi akidah yang diyakininya.
c. Mengembangkan kepribadian Islam yang sudah terbentuk pada seseorang dengan senantiasa mengajaknya untuk bersungguh-sungguh mengisi pemikirannya dengan tsaqâfah islâmiyyah dan mengamalkan ketaatan kepada Allah SWT.
2. Menguasai tsaqâfah Islam. Islam telah mewajibkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu. Berdasarkan takaran kewajibannya, menurut al-Ghazali, ilmu dibagi dalam dua kategori, yaitu:
a. Ilmu yang termasuk fardhu ‘ain (kewajiban individual), artinya wajib dipelajari setiap Muslim, yaitu tsaqâfah Islam yang terdiri dari konsepsi, ide, dan hukum-hukum Islam; bahasa Arab; sirah Nabi saw., Ulumul Quran, Tahfizh al-Quran, ulumul hadis, ushul fikih, dll.
b. Ilmu yang dikategorikan fadhu kifayah (kewajiban kolektif); biasanya ilmu-ilmu yang mencakup sains dan teknologi serta ilmu terapan-keterampilan, seperti biologi, fisika, kedokteran, pertanian, teknik, dll.
3. Menguasai ilmu kehidupan (IPTEK). Menguasai IPTEK diperlukan agar umat Islam mampu mencapai kemajuan material sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi dengan baik. Islam menetapkan penguasaan sains sebagai fardlu kifayah, yaitu jika ilmu-ilmu tersebut sangat diperlukan umat, seperti kedokteran, kimi, fisika, industri penerbangan, biologi, teknik, dll.

4. Memiliki keterampilan yang memadai. Penguasaan ilmu-ilmu teknik dan praktis serta latihan-latihan keterampilan dan keahlian merupakan salah satu tujuan pendidikan Islam, yang harus dimiliki umat Islam dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah SWT. Sebagaimana penguasaan IPTEK, Islam juga menjadikan penguasaan keterampilan sebagai fardlu kifayah, yaitu jika keterampilan tersebut sangat dibutuhkan umat, seperti rekayasa industri, penerbangan, pertukangan, dan lainnya.
VII. SEBAGIAN POKOK PIKIRAN DALAM BANYAKNYA PERMASALAHAN

Beberapa pokok pikiran yang harus segera direspons secara terbuka dan dicarikan solusi konkret terhadap permasalahan yang mengemuka.
1. Bagaimana semua pihak yang terkait dengan proses penyelenggaraan pendidikan ini secara serius memperhatikan sarana penunjang pendidikan yang dibutuhkan anak didik di madrasah. Di antaranya, rasio kebutuhan buku paket/buku pegangan siswa, laboratorium, dan sarana pendukung lainnya seperti perpustakaan yang selama ini sangat minim dibanding lembaga pendidikan umum.
2. Merancang pola rekrutmen guru dalam rangka menyediakan tenaga guru yang memenuhi standardisasi, kualifikasi, dan kompetensi di bidang pendidikan, serta berdedikasi tinggi sehingga dapat meningkatkan Kualitas sumberdaya Insani.
3. Tampaknya perlu mulai dipikirkan subsidi silang, ’’swastanisasi” terhadap sekolah-sekolah negeri (umum) yang sudah mapan dalam penyelenggaraan pendidikannya. Sehingga, berbagai bentuk subsidi dapat dialokasikan secara seimbang kepada sekolah-sekolah yang masih terpinggirkan, khususnya kepada madrasah yang selama ini lebih banyak bergantung kepada swadaya masyarakat.
4. Tidak ada lagi dikotomi antara lembaga pendidikan umum dengan madrasah. Sebab, itu akan menimbulkan kekeliruan pemahaman di kalangan masyarakat luas, yang pada akhirnya menghambat proses penyelenggaraan pendidikan nasional yang sama-sama bertujuan mencerdaskan anak bangsa.
5. Memberi kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk memosisikan diri, peran, serta partisipasinya dalam penyelenggaraan pendidikan secara utuh, sebagaimana pada awal-awal keberadaan madrasah, apalagi bila mampu menyediakan orang tua asuh bagi siswa yang kurang mampu

VIII.PENUTUP
Eksistensi madrasah, mulai tingkat Madrasah Ibtidaiyah (MI), Tsanawiyah (MTs), hingga Madrasah Aliyah (MA) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), sebagai elemen penting dalam sistem pendidikan nasional (sisdiknas) sulit terbantahkan.
Peran signifikan madrasah itu di samping terkait langsung dengan usaha suksesnya kebijakan wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah, pada saat bersamaan juga merupakan titik awal bagi usaha sistematis untuk mewujudkan cita kualitas insani anak bangsa yang beriman, berilmu, dan bertaqwa. Satu hal yang tidak boleh dilupakan, sesungguhnya keberadaan madrasah merupakan reaksi terhadap parsialisme kebijakan sistem pendidikan yang lebih mengunggulkan aspek rasional ketimbang spritual dan budi pekerti.
Sehingga, ke depan, madrasah dapat menjadi lembaga pendidikan ”alternatif” yang mampu mengedepankan mutu dan memiliki daya saing dalam mewujudkan integritas dan kualitas insani bangsa ini. Tentunya, tanpa harus menghilangkan ciri khas madrasah sebagai lembaga pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai Islami yang berfungsi sebagai filter.
Peluang menjadi lembaga pendidikan yang bermutu dan memiliki daya saing yang tinggi sesungguhnya sangat terbuka dengan adanya penegasan madrasah adalah lembaga pendidikan umum yang bercirikan agama Islam. Konsekuensi logisnya, madrasah menanggung ”dua beban” pendidikan sekaligus. Tidak hanya mentransfer aspek-aspek kauniyah, tetapi juga memiliki kredibilitas yang mumpuni dalam mentransfer aspek-aspek diniyah dalam proses penyelenggaraan pendidikannya.
Dan, kualitas pendidikan di madrasah (sudah banyak contoh baik negeri maupun swasta ) terbukti dengan kerja kerasnya mampu memperkuat daya saing dan mutu pendidikan madrasah di kancah pendidikan nasional. Hal itu sejalan penegasan pasal 17 ayat (2) dan pasal 18 ayat (3) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Penegasan UU Sisdiknas tersebut seharusnya menjadi cermin bening bagi pemerintah, masyarakat, praktisi, pelaku, atau stakeholders pendidikan, agar tidak lagi memandang sebelah mata kepada madrasah.
Dalam salah satu rapat kerja Komisi VIII dengan pemerintah yang diwakili Menteri Agama (Menag) dan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Senin (19/2/2007), mencuat pandangan dominan bahwa ketertinggalan pendidikan di madrasah disebabkan oleh perlakuan diskriminasi pemerintah. Untuk menjawab itu, dalam dua butir kesimpulan rapat, pada akhirnya DPR sepakat membentuk panitia kerja dengan agenda menghapus berbagai bentuk perbedaan perlakuan dalam bidang pendidikan.

IX. KHOTIMAH
Demikianlah makalah yang dapat saya sampaikan, atas segala kekurangan dan kekhilafan mohon maaf dan dimaklumi, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.amin

Wallahu a’lam bis-showab
Wassalam. Wr.Wb.

Minggu, 29 Januari 2017

Filsafat Pendidikan (Masyarakat dan Kurikulum Pendidikan)

   

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
      Pandangan filsafat pendidikan sama pernaannya dengan landasan filosofis yang menjiwai seluruk kebijaksanaan pelaksanaan pendidikan. Antara filsafat dan pendidikan terdapat kaitan yang sangat erat. Filsafat mencoba merumuskan citra tentang manusia dan masyarakat, sedangkan pendidikan berusaha mewujudkan citra tersebut. Formula tentang hakekat dan martabat manusa serta masyarakat erutama di Indonesia dilandasi oleh filsafat yagn dianus bangsa Indonesia dilandasi oleh fislafat yagn dianus bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila merupakan sumber dari segala gagasan mengenai wujud manusia dan masyarakat yang dianggap baik, sumber dari egama sumber yang menadi pangkal serta muara dari setiap keputusan dan tindakan dalam pendidikan dan pembelajaran.
Filsafat mengadakan tinjauan yang luas mengani realita, maka dikupaslan antara lain pandangan dunia dan pandangan hidup. Konsep-konsep mengenai ini dapat menjadi landasan penyusunan konsep tujuan dan metodologi pendidik. Disamping itu, pengalaman pendidik dalam menuntut pertumbuhan danperkembangan anak akan berhubungan dan berkenalan dengan realita. Semuanya itu dapat disampaikan kepada flsafat untuk dijadikan bahan-bahan pertimbangan dan tinjauan untuk memperkembangkan diri. Hubungan filsafat dengan filsafat pendidikan dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Filsafat mempuyai objek lebih luas, sifatnya universal. Sedangkan filsafat pendidikan objeknya terbatas dalam dunia filsafat pendidikan saja
2. Filsafat hendak memberikan pengetahuan/ pendiidkan atau pemahaman yang lebih mendalam dan menunjukkan sebab-sebab, tetapi yang tak begitu mendalam
3. Filsafat memberikan sintesis kepada filsafat pendidikan yang khusus, mempersatukan dan mengkoordinasikannya
4. Lapangan filsafat mungkin sama dengan lapangan filsafat pendidikan tetapi sudut pandangannya berlainan
Dalam menerapkan filsafat pendidikan, seoran guru sebagai pendidik dia mengharapkan dan mempunyai hak bahwa ahli-ahli filsafat pendidikan menunjukkan dirinya pda masalah pendiidkan pad aumumnya serta bagaimna amasalah itu mengganggu pada penyekolhan yang menyangkut masalah perumusan tujuan, kurkulum, organisasi sekolah dan sebagainya. Dan para pendidik juga mengahrapkan dari ahli filsafat pendiidkan suatu klasifikasi dari uraian lebih lanjut dari konsep, argumen dirinya literatur pendidikan terutam adalam kotraversi pendidikan sistem-sistem, pengjuian kopetensi minimal dan kesamaan kesepakatan pendidikan.
Brubacher (1950) mengemukakan tentang hubungan antara filsafat dengan filsafat pendidikan, dalam hal ini pendidikan : bahwa filsafat tidak hanya melahirkan sains atau pengetahuan baru, melainkan juga melahirkan filsafat pendidikan. Filsafat merupakan kegiatan berpikir manusia yang berusaha untuk mencapai kebijakan dankearifan. Sedangkan filsafat pendidikan merupakan ilmu ayng pad ahakekantya jawab dari pertanyaa-pertanyaan yagn timbul dalam lapangan pendidkan. Oleh karen aberisfat filosofis, dengan sendirinya filsafat pendidikan ini hakekatnya adalah penerapan dari suatu analisa filosofis terhadap lapangan pendidikan.


BAB II
PEMBAHASAN
a.      Devinisi Masyarakat
“Masyarakat” yang berarti pergaulan hidup manusia sehimpun orang yang hidup bersama dalam sesuatu tempat dengan ikatan aturan tertentu, juga berarti orang, khalayak ramai”.[1] Menurut Hasan Sadily memberi pengertian bahwa masyarakat ialah “Kesatuan yang selalu berubah, yang hidup karena proses masyarakat yang menyebabkan terjadi proses perubahan itu”.[2] Sedangkan menurut Plato masyarakat ialah “merupakan refleksi dari manusia perorangan”. Suatu masyarakat akan mengalami keguncangan sebagaimana halnya manusia perorangan yang terganggu keseimbangan jiwanya yang terdiri dari tiga unsur yaitu nafsu, semangat dan intelegensia.[3]
Dalam konsep an-Nas bahwa masyarakat adalah makhluk sosial. Manusia tidak dapat hidup sendiri dengan mengabaikan keterlibatannya dengan kepentingan pergaulan antara sesamanya dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam hubungan manusia dengan masyarakat terjadi interaksi aktif. Manusia dapat mengintervensi dengan masyarakat lingkungannya dan sebaliknya masyarakat pun dapat memberi pada manusia sebagai warganya. Oleh karena itu, dalam pandangan Islam, masyarakat memiliki karakteristik tertentu. Prinsip-prinsip ini harus dijadikan dasar pertimbangan dalam penyusunan sistem pendidikan Islam. Masyarakat merupakan lapangan pergaulan antara sesama manusia. pada kenyataannya masyarakat juga dinilai ikut memberi pengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan dan perilaku manusia yang menjadi anggota masyarakat tersebut. Atas dasar pertimbangan ini, maka pemikiran tentang masyarakat mengacu pada penilaian bahwa:
1.      Masyarakat merupakan kumpulan individu yang terikat oleh kesatuan dari berbagai aspek seperti latar belakang budaya, agama, tradisi kawasan lingkungan dan lain-lain.
2.      Masyarakat terbentuk dalam keragaman adalah sebagai ketentuan dari Allah, agar dalam kehidupan terjadi dinamika kehidupan sosial, dalam interaksi antar sesama manusia yang menjadi warganya.
3.      Setiap masyarakat memiliki identitas sendiri yang secara prinsip berbeda satu sama lain.
4.      Masyarakat merupakan lingkungan yang dapat memberi pengaruh pada pengembangan potensi individu.
Dari beberapa penjelasan yang telah dijelaskan di atas, dapatlah diberi kesimpulan bahwa pengertian masyarakat yang pemakalah maksudkan ialah sekelompok manusia yang terdiri di dalamnya ada keluarga, masyarakat dan adat kebiasaan yang terikat dalam satu kesatuan aturan tertentu.
Masyarakat itu sendiri merupakan satu factor yang pokok mempengaruhi pendidikan, di samping ia merupakan arena tempat berkisarnya proses pendidikan.[4] Pola hidup masyarakat tidak hanya menyangkut lapangan pekerjaan pendidikan dan kehidupan keluarga belaka, tetapi jauh dari itu meliputi keorganisasian masyarakat sosial, upacara dan adat istiadat yang berlaku serta kehidupan keragamaan, namun dalam suatu masyarakat atau desa terdapat beberapa pola hidup, tapi dalam pembahasan ini penulis hanya mengambil salah satu diantaranya adalah masalah sosial.

b.      Hubungan Masyarakat dan Pendidikan
Kebutuhan manusia yang dibutuhkan dari masyarakat tidak hanya menyangkut bidang material melainkan juga bidang spiritual, termasuk ilmu pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan sebagainya. Dengan demikian, dapat ditarik suatu pemahaman bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan pendidikan manusia memerlukan adanya lingkungan social masyarakat. Dari sebab inilah para ahli pendidikan umumnya memasukkan lingkungan masyarakat sebagai lingkungan pendidikan.[5]
Masyarakat merupakan satu realitas dalam tata kehidupan manusia. Tiap-tiap pribadi hidup dalam suatu sistem sosial, dengan segala kondisi dan konsekuensi-Konsekuensinya. Tiap pribadi adalah bagian suatu keluarga yang hidup dalam suatu masyarakat, demikian pula masyarakat adalah bagian daripada suatu bangsa atau kehidupan zamannya. Kehidupan manusia berlangsung dalam masyarakat dan sebagaian untuk masyarakat disamping sebagian untuk dirinya sendiri. Fungsi kemanusiaan tiap pribadi dimana manusia menunaikan semua fungsi kemanusiaan dan fungsi sosial dalam masyarakat adalah masalah pendidikan. Prof. Thomson meuraikan dalam bukunya :”Moder Philosophy Of Education”. Pendidikan berhubungan dengan masalah manusia pribadi dan masyarakat, oleh beberapa ahli diberi batasan sebagai proses penyesuaian oleh pribadi untuk melaksanakan fungsinya dalam masyarakat. Tujuan umum poendidikan sering dirumuskan untuk menyiapkan generasi muda menjadi orang dewasa anggota masyarakat yang mandiri dan produktif.[6]
Suatau kenyataan bagi setiap orang bahwa masyarakat yang (relatif) baik, maju, modern ialah masyarakat yang di dalamnya ditemukan suatu tingkat pendidikan yang (relative) baik, modern dan baik, dalam wujud lembaga-lembaganya maupun jumlah dan tingkat orang yang terdidik. Pendidikan modern hanya akan ditemukan didalam masyarakat yang modern pula. Dalam suatu masyarakat Nampak adanaya lembaga-lembaga pendidikan yang modern dan lengkap, maka kecenderungan dan optimism bahwa masyarakat tersebut dalam waktu segera akan maju. Kenyataan ini tersimpul dalam kata-kata Prof. Richey sambil mengutip tulisan John Dewey. Seseorang mungkin berpendapat bahwa pendidikan ialah metode fundamental untuk memajukan dan memperbaharui masyarakat dan bahwa itu adalah sebagai masalah setiap orang yang berminat dengan pendidikan untuk menggunakan sekolah sebagai alat utama dan efektif bagi memajukan dan memperbaharui suatu masyarakat.

c.       Landasan Filosofis Kurikulum Pendidikan
Pendidikan berperan sangat penting dalam keseluruhan aspek kehidupan manusia, sebab pendidikan berpengaruh langsung kepada kepribadian ummat manusia. Pendidikan sangat menentukan terhadap model manusia yang dihasilkannya. Kurikulum sebagai rancangan pendidikan, mempunyai kedudukan sentral; menentukan kegiatan dan hasil pendidikan. Penyusunannya memerlukan fondasi yang kuat, didasarkan atas hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Kurikulum yang lemah akan mengahasilkan manusia yang lemah pula.
Pendidikan merupakan interaksi manusia pendidik dan terdidik untuk mencapai tujuan pendidikan. Interaksi pendidik dan terdidik dalam pencapaian tujuan, bagaimana isi, dan proses pendidikan memerlukan fondasi filosofis, agar interaksi melahirkan pengertian yang bijak dan perbuatan yang bijak pula. Untuk mengerti kebijakan dan berbuat secara bijak, ia harus tahu dan berpengetahuan yang diperoleh melalui cara berfikir sistematis, logis dan mendalam, secara radikal, hingga keakar-akarnya. Upaya menggambarkan dan menyatakan suatu pemikiran yang sistematis dan komprehensif tentang suatu fenomena alam dan manusia disebut berfikir secara filosofis. Filsafat mencakup suatu kesatuan pemikiran manusia yang menyeluruh.
Pendekatan Ilmu dengan filsafat berbeda, ilmu menggunakan pendekatan analitik, mengurai bagian-bagian hingga bagian yang terkecil. Filsafat mengintegrasikan bagian-bagian hingga menjadi satu kesatuan yang menyeluruh dan bermakna. Ilmu berkaitan dengan fakta-fakta sebagaimana adanya, secara objektif dan menghindari subjektifitas. Filsafat melihat sesuatu secara das sollen (bagaimana seharusnya), faktor subjektif sangat berpengaruh. Tetapi filsafat dan ilmu memiliki hubungan secara komplenter; saling melengkapi dan mengisi. Filsafat memberikan landasan bagi ilmu, baik pada aspek ontologi, epistimologi, maupun aksiologinya.
Dalam konteks pendidikan, filsafat pendidikan merupakan refleksi pemikiran filosofis untuk mengatasi permasalahan pendidikan. Filsafat memberi arah dan metodologi terhadap praktik pendidikan, sebaliknya praktik pendidikan memberikan bahan-bahan bagi pertimbangan-pertimbangan filosofis. Menurut Butler (1957:12), hubungan filsafat dengan filsafat pendidikan sebagai berikut: 1) Filsafat merupakan basik bagi filsafat pendidikan, 2) Filsafat merupakan bunga bukan batang bagi pendidikan, 3) filsafat pendidikan merupakan disiplin tersendiri yang memiliki hubungan erat dengan filsafat umum, meski bukan essensinya, 4) Fisafat dan teori pendidikan adalah satu.
d.      Hubungan Masyarakat dengan Kurikulum Pendidikan
Secara bertahap masyarakat tradisional yang berorientasi kepada status akan beralih menjadi masyarakat modern yang berorientasi kepada prestasi.[7] Prestasi yang diraih tentunya dengan melakukan pendidikan yang baik dan terarah pencapaiannya. Guna tercapainya suatu pendidikan yang baik, maka harus ada acuan, batasan, dan arahan sebagai bagian dari proses pendidikan yaitu kurikulum. Kurikulum merupakan bagian dari sistem pendidikan yang tidak bisa dipisahkan dengan komponen sistem lainnya. Tanpa Kurikulum suatu sistem pendidikan tidak dapat dikatakan sebagai sistem pendidikan yang sempurna. Ia merupakan ruh (spirit) yang menjadi gerak dinamik suatu sistem pendidikan, Ia juga merupakan sebuah idea vital yang menjadi landasan bagi terselenggaranya pendidikan yang baik. Bahkan, kurikulum seringkali menjadi tolok ukur bagi kualitas dan penyelenggaraan pendidikan. Baik buruknya kurikulum akan sangat menentukan terhadap baik buruknya kualitas output pendidiksan, dalam hal ini, peserta didik.
Dalam kedudukannya yang strategis, kurikulum memiliki fungsi holistik dalam dunia pendidikan; Ia memiliki peran dan fungsi sebagai wahana dan media konservasi, internalisasi, kristalisasi dan transformasi ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan nilai-nilai kehidupan ummat manusia. Dalam hal pengaruh sekolah terhadap masyarakat pada dasarnya tergantung pada luas tidaknya prodak serta  kualitas out put pendidikan sekolah itu sendiri. Semakin besar out put sekolah tersebut dengan disertai kualitas yang mantap, dalam artian mampu mencetak sumber daya manusia yang berkualitas, maka tentu saja pengaruhnya sangat positif bagi masyarakat sebaliknya, meskipun lembaga pendidikan mampu mengeluarkan out put-nya, tetapi dengan SDM yang rendah secara kualitas, itu juga menjadi masalah, tidak saja bagi out put yang bersangkutan, tetapi juga berpengaruh bagi masyarakat.[8]
Sebagai wahana dan media konservasi, kurikulum memiliki konstribusi besar dan strategis bagi pewarisan amanat ilmu pengetahuan yang diajarkan Allah SWT melalui para nabi dan rosul, para filosof, para cendikiawan, ulama, akademisi dan para guru, secara turun temurun, inter dan antar generasi melalui pengembangan potensi kognetif, afektif dan psikomotorik para muridnya. Sehingga ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kehidupan dalam kerangka menciptakan situasi kondusif, dinamis dan kostruktif tatanan dunia ini berlangsung secara kontinum.
Sebagai wahana dan media internalisasi, kurikuluim berfungsi sebagai alat untuk memahami, menghayati dan sekaligus mengamalkan ilmu dan nilai-nilai itu, dalam spektrum relitas kehidupan yang sangat luas dan universal, sehingga kehidupan ini memiliki kebermaknaan, dalam arti nilai guna dan hasil guna.
Kurikulum berperan dan berfungsi sebagai wahana dan media kristalisasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kehidupan, sebab manusia baik sebagai objek maupun subjek pendidikan dan kurikulum, tidak hanya dituntut mengerti, memahami, mengauasai, menghayati dan mengamalkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai itu, tetapi juga dituntut untuk memiliki concern dan commitment terhadap ilmu dan nilai-nilai itu. Sehingga pemilik ilmu pengetahuan dan nilai-nilai itu merasa memiliki (sense of belonging) dan merasa tanggungjawab (sense of responsibility) yang replektif terhadap diri dan lingkungannya, atas dasar amanat yang diembannya..
Lebih jauh, kurikuluim bukan hanya berfungsi sebagai wahana dan media konservasi, internalisasi dan kristalisai, tetapi Ia juga merupakan wahana dan media transformasi. Pemilik ilmu pengetahuan dan nilai-nilai, dituntut mempelopori, memimpin dan mendesain peradaban ummat manusia yang konstruktif, dinamis, produktif dan innovatif, serta mengawal, membimbing, membina, dan mengarahkan perubahan- perubahnya secara proaktif dan dedikatif melalui perubahn-perubahan peradaban yang semakin baik.[9]
e.       Hubungan Masyarakat dengan Kompetensi Sosial Pendidik
Kompetensi Sosial adalah kemampuan untuk memulai dan mempertahankan hubungan timbal balik yang memuaskan dengan teman sebaya. Dalam devinisi lain dijelaskan bahwa Kompetensi sosial adalah kondisi yang memiliki keterampilan sosial, emosional, dan intelektual dan perilaku yang dibutuhkan untuk berhasil sebagai anggota masyarakat. Kompetensi Sosial juga harus memiliki dan menggunakan kemampuan untuk mengintegrasikan pikiran, perasaan dan perilaku untuk mencapai tugas sosial dan hasil yang dinilai dalam konteks host dan budaya.
Kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, kepala sekolah, orang tua/wali siswa, dan masyarakat sekitar. Kompetensi sosial menuntut guru untuk mampu bergaul secara proporsional dan profesional. Mampu bergaul secara proporsional artinya ia dapat memosisikan dirinya siapa yang sedang dihadapinya. Jika berkomunikasi dengan teman sejawat (misalnya dengan guru yang lain) tentunya bahasa, sikap dan perilaku berbeda ketika berkomunikasi dengan atasan (misalnya kepala sekolah) atau dengan siswa. Kita sebagai guru harus bisa menenpatkan diri di tengah-tengah orang lain. Janganlah menjadi orang yang mengucilkan diri atau bahkan dikucilkan oleh orang lain. Tentunya kompetensi sosial yang dimilliki guru sangat erat dengan kompetensi keperibadiannya. Manakala guru memiliki kompetensi keperibadian yang baik dapat dipastikan ia mudah dan mampu berkomunikasi dengan orang lain. Lain halnya jika dalam keadaan sebaliknya.
Kemampuan dasar kedua bagi pendidik adalah menyangkut kepeduliannya terhadap masalah-masalah sosial selaras dengan ajaran Islam. Sikap gotong –royong, tolong- menolong, egalitarian (persamaan derajat antara sesama manusia), sikap toleransi dan sebagainya juga perlu dimiliki oleh pendidik untuk selanjutnya diciptakan dalam suasana pendidikan dalam rangka transinternalisasi sosial atau transaksi sosial antara pendidik dan anak didik.
Masalah penyebaran guru dan ketidakcocokan latar belakang pendidikan dan penugasan guru merupakan masalah yang sangat signifikan. Dalam menangani masalah, pemerintah telah melakukan berbagai upaya antara lain melalui penataran dan pemberian kesempatan tugas belajar. Perubahan dan perkembangan masyarakat yang semakin maju menuntut profesi guru menyesuaiakan diri dengan perubahan dan kebutuhan masyarakat.

BAB III
PENUTUP

a.      Kesimpulan
Dari uraian makalah diatas, dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa masyarakat ialah kesatuan yang selalu berubah, yang hidup karena proses masyarakat yang menyebabkan terjadi proses perubahan itu. Masyarakat menurut pemakalah ialah Sekelompok manusia yang terdiri di dalamnya ada keluarga, masyarakat dan adat kebiasaan yang terikat dalam satu kesatuan aturan tertentu.
Kebutuhan masyarakat tidak hanya menyangkut bidang material melainkan juga bidang spiritual, termasuk ilmu pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan sebagainya. Pendidikan berhubungan dengan masalah manusia pribadi dan masyarakat.
Kurikulum sebagai rancangan pendidikan, mempunyai kedudukan sentral; menentukan kegiatan dan hasil pendidikan. Kurikulum yang lemah akan mengahasilkan manusia yang lemah pula. Kurikulum merupakan bagian dari sistem pendidikan yang tidak bisa dipisahkan dengan komponen sistem lainnya. Kurikulum pendidikan sangat mendukung bagi terciptanya out put peserta didik yang berkualitas, yang akan turun langsung kedalam satuan elemen masyarakat.


[1] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1984), h. 186.
[2] Hassan Sadily, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia (Cet. I; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), h. 50.
[3] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Cet. 33; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 29.
[4] Omar Mohammad At-Toumy Al-Syaibany, Falsafah pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), Cet I, h. 164
[5] Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. I, h. 120
[6] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktik, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010), Cet 13, h. 59
[7] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), Cet ke 16, h. 268
[8] Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), h. 104

[9] M Ihsan Dacholfany dan Ayi Sofyan, Kurikulum Berdasarkan Filsafat Behaviorisme, Artikel ini diakses pada: Jum’at, 18 Maret 2011, dari: http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2009/05/12/kurikulum-berdasarkan-filsafat-behaviorisme/