PROCEEDING 7th METRO INTERNATIONAL CONFERENCE ON
ISLAMIC STUDIES
(MICIS)
The Southeast Asia Islam: Its Contribution in
Developing
Regional Peace and Religius Harmony
Metro, August 12-13Th 2017 POST-GRADUATE STATE INSTITUTE FOR
ISLAMIC STUDIES METRO LAMPUNG
ISBN :
978-602-6739-24-7
PROCEEDING
7th METRO
INTERNATIONAL
CONFERENCE ON ISLAMIC
STUDIES
(MICIS)
The Southeast Asia
Islam:
Its Contribution in
Developing Regional Peace
and Religius Harmony
Aula IAIN Metro, 12-13
Agustus 2017
TIM EDITORIAL
Penanggungjawab
Dr. Thobibatussa’adah,
M.Ag
Tim Editor
Dharma Setyawan, M.A
ISBN : 978-602-6739-24-7
Penerbit
Pascasarjana IAIN
Metro Lampung 2017
Bekerjasama dengan
CV.Anugrah Utama
Raharja
Proceding 7th Metro
International Conference On Islamic Studies (MICIS) │
Iii
Islam Asia
Tenggara (Kontribusi
dalam Membangun Perdamaian Kawasan dan Harmoni Agama) Membaca Islam di
wilayah-wilayah tradisionalnya di Timur Tengah dan sekitarnya maka akan tampak
adanya perbedaan watak yang menyolok dibandingkan dengan Islam di wilayah
pinggiran Asia Tenggara. Diwilayah Timur Tengah dan sekitarnya, Islam dan
umatnya terkesan terlalu gersang bagi bersemainya kembali benih-benih peradaban
Islam yang agung di masa lalu. Selain Wilayah Mekah-Madinah, generasi Muslim
masa depan kemungkinan akan kesulitan mengenali kejayaan dan kebesaran kota
Baghdad di Irak, Tripoli di Libanon, Mosul dan Allepo di Syria, dan beberapa
kota lain di Timur Tengah disebabkan oleh perang terus berkecamuk di wilayah
ini. Perang menyebabkan rusaknya tidak saja rumah-rumah penduduk, masjid, rumah
sakit, madrasah, dan museum, tetapi juga sendi-sendi kehidupan yang menyatukan
umat-bangsa juga ikut remuk. Bagaimana peradaban Islam bisa bangkit kembali di
kawasan ini, bila masa depan warganya sendiri juga tidak jelas. Sebaliknya
Islam Asia Tengara, justru menampakkan suasana jauh berbeda, lebih hangat dan
dinamis karena kuatnya kultur moderasi yang mendasarinya. Kondisi Islam dan
kaum Muslim di Indonesia dan Malaysia kiranya dapat dijadikan contoh dalam hal
ini. Dengan “kecerdikan” masing-masing, Islam dan pemeluknya di kedua negara
ini terus menunjukkan kreativitasnya yang tinggi dalam menjawab tantangan
modernitas, tanpa harus kehilangan watak kepribumian mereka. Tidak mengherankan
bila dunia Islam belakangan lebih menaruh harapan pada Islam di wilayah ini
akan perannya dalam mendorong kebangkitan kembali peradaban Islam di era
modern. Adakah watak “khas” pada Islam Asia Tenggara berbeda dengan di
wilayah-wilayah lain? Unsur-unsur apakah yang mewarnai corak Islam Asia
Tenggara, sehingga mampu tampil lebih dinamis dan dan toleran terhadap berbagai
perbedaan yang ada. Asia Tenggara secara geografis terletak di pinggiran dunia
Islam, walaupun Islam di Asia Tenggara sama sekali bukan tradisi pinggiran
dalam sejarah peradaban Islam. Negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar
tidak terdapat di Timur Tengah, tetapi di wilayah ini. Ekspresi Islam di Asia
Tenggara tampil dengan karakteristik khas yang tidak bisa ditemui di
kawasan-kawasan dunia Islam yang lain. Daya tarik Islam Asia Tenggara tidak
sekadar tempat bagi agama besar dunia–Islam, Buddha, Kristen, dan Hindu tetapi
juga penyebarannya sedemikian rupa sehingga ikatan-ikatan yang mempersatukan
pengikutnya dapat mengaburkan sekaligus menegaskan batas-batas perbedaan politis
dan teritorial. Pada awalnya, banyak kajian Islam cenderung menafikan
keberadaan Islam di kawasan Asia Tenggara.Anggapan itu mendapat kritik dari
banyak Sarjana, baik sarjana Barat maupun Asia Tenggara. Kehadiran kolonialisme
di kawasan ini turut bertanggung jawab atas terciptanya pandangan tersebut.
Orientalis dan kolonialis menciptakan berbagai distorsi tentang Islam yang
dalam kajian para orientalis paradigma itu justru terus diabadikan. Islamisasi
sejarah awal dan perkembangan Islam di Asia Tenggara tidak dapat dilepaskan
dari hubungan kawasan ini dengan dunia luar, seperti Arab, Persia, India dan
Cina. Asia Tenggara adalah melting pot, tempat pertemuan
│ Proceding 7th Metro International
Conference On Islamic Studies (MICIS)
iv berbagai
kebudayaan. Jalur Sutra yang melewati kawasan ini membuat arus perniagaan
berkembang pesat. Catatan menunjukkan, masyarakat Asia Tenggara telah menjalin
hubungan dengan Saudi Arabia, jauh sebelum kedatangan Islam. Terdapat
perdebatan mengenai kapan dan siapa yang membawa Islam ke kawasan Asia
Tenggara. Perdebatan tersebut melibatkan para Sarjana dari dalam dan luar
negeri, seperti Snouck Hurgronje, Syed Naquib al-Attas, A.Hasimy, Azyumardi
Azra, Hamka, Uka Tjandrasasmita, dan sebagainya. Salah satu teori mengatakan
Islam dibawa oleh utusan Syarif Makkah dari Arab pada abad ke-7 M, sementara
teori lain menyebut Islam dibawa oleh para pedagang dari India, Gujarat,
Persia, atau Cina. Dapat dipahami bahwa masuknya Islam ke Asia Tenggara
bersifat gradual dan bisa jadi tidak dilakukan oleh satu aktor tunggal. Selat
Malaka merupakan pintu masuk kapal-kapal dari berbagai negara. Dari Selat
Malaka dan pesisir Sumatra, Islam mulai berkembang di Asia Tenggara. Jalur
perdagangan membawa para saudagar Muslim ke Semenanjung Melayu, Johor, Perlak,
Cirebon, Gresik, dan Kalimantan Barat. Pada waktu berikutnya, pedagang masuk ke
Indonesia Timur, seperti Maluku, Ternate, dan Tidore. Proses masuknya Islam ke
Melayu-Nusantara berlangsung damai (penetration pacifique). Pelayaran
dan perdagangan internasional yang terbentang dari Arab sampai Cina melalui
Selat Malaka juga melewati Bandar Seri Bengawan, Brunei Darussalam.Menurut
Selasilah atau Tersilah Brunei, raja pertama Brunei yang memeluk Islam adalah
Alang Betatar dengan gelar Sultan Muhammad pada awal abad ke-15. Islam telah
ditemukan di kawasan ini sejak abad ke-11. Etnis Muslim Cham yang kemudian
tersebar di Vietnam, Kamboja, dan Thailand telah mendapat pengaruh Islam
sebelum abad ke-15 M.Jalur perdagangan yang menghubungkan Samudra Pasai,
Malaka, dan Brunei juga tidak terpisahkan dari Filipina Selatan. Menurut
Hikayat Sulu, mubaligh yang pertama kali datang ke wilayah ini adalah Syekh
Karim Makhdum. Ia tiba di Kepulauan Sulu dan Jolo pada 1380 M. Setelah itu,
banyak pedagang dan ulama yang mengikuti jejak Syeikh Makhdum. Mereka berdiam
di sana dan mengajarkan Islam kepada penduduk setempat. Filipina juga pernah
menjadi bagian dari Kesultanan Brunei pada abad ke-15. Islam di tempat ini
semakin kuat berkat kedatangan pedagang Muslim dari Jolo, Mindanao, Malaysia,
dan Indonesia. Gelombang penyebaran Islam semakin mantap pada abad ke-12 M.
Menurut Azra, Islamisasi massal terjadi pada abad tersebut ketika para guru
sufi datang memperkenalkan Islam kepada masyarakat lokal. Khususnya, sejak abad
ke-13, Abbasiyah goncang akibat serangan Mongol. Banyak guru tasawuf menumpang
kapal dagang Muslim dari Timur Tengah. Praktik tasawuf ini diperkuat dengan kelompok-kelompok
tarekat, seperti Syattariyah, Qadariyah, Naksyabandiyah, Khalwatiah, dan
Kubrawiah. Kenyataan ini secara umum memengaruhi corak Islam setempat. Islam
yang berkembang adalah Islam yang bersifat akomodatif (kalau tidak dikatakan
sinkretik). Secara umum, tasawuf lebih mudah diterima, sebab ajaran ini dalam
beberapa segi mampu menjembatani latar belakang masyarakat setempat yang
dipengaruhi ajaran Hindu-Buddha dan kepercayaan lokal. Meski Islam tahap ini
sangat diwarnai aspek tasawuf, itu tidak berarti aspek syariah diabaikan sama
sekali. Hal itu terlihat dari sikap para ulama, seperti Nuruddin ar-Raniri dan
ketegasan Wali Songo dengan Syekh Siti Jenar yang menganut wahdatul wujud.
Kecenderungan ke arah ortodoksi berangsur-angsur semakin kuat mulai abad ke-17.
Proses Islamisasi yang semakin masif juga tidak terlepas dari peran kesultanan.
Proses Islamisasi itu bermula ketika raja setempat masuk Islam kemudian diikuti
dominasi peranan kerajaan di tengah komunitas Muslim. Kerajaan tidak hanya
berfungsi sebagai institusi politik, tetapi juga pembentukan institusi Muslim
yang lain, seperti pendidikan dan peradilan.Kesultanan juga menjadi patron bagi
perkembangan intelektualitas dan kebudayaan Islam. Berdasarkan bukti
arkeologis, Samudra Pasai adalah kerajaan Islam pertama di Melayu-Nusantara.
Kemudian, muncul Kesultanan Malaka, Aceh, Palembang, Riau, Tumasik, Perlak,
Johor, Demak, Cirebon, Banten, Goa Tallo, Ternate Tidore, Banjar dan Bima.
Terdapat pula Kesultanan Sulu, Lanao, dan Maguindanao di Filipina, serta
Kesultanan Brunei di Brunei Darussalam.Islamisasi Asia Tenggara tak bisa
terlepas dari kontak kawasan ini dengan dunia luar melalui perdagangan. Asia
Tenggara adalah melting pot, tempat pertemuan berbagai kebudayaan, sehingga
membentuk tradisi Islam Nusantara.
Metro, 3 Agustus
2017 Redaksi
Proceding 7th Metro International Conference On Islamic
Studies (MICIS) │ v KATA
PENGANTAR Komunitas
Muslim Asia Tenggara ditopang oleh jaringan ulama yang terhubung langsung
dengan otoritas terpenting dunia Islam: Makkah-Madinah. Kota suci ini telah
menjadi daya tarik orang-orang Jawi sejak awal. Mereka datang untuk menunaikan
ibadah haji dan bermukim menuntut ilmu. Fenomena itu memunculkan ulama-ulama
Jawi, seperti Syekh Yusuf al-Makassari, Abdur Rauf Singkel, Abdus Samad
al-Palimbani, dan Muhammad Arsyad al-Banjari. Hal itu juga menciptakan suatu
jaringan keilmuan antara ulama Timur Tengah dan Asia Tenggara. Peranan para
Ashhab al-Jawiyyin ini sangat penting dalam perkembangan Islam sejak abad
ke-17. Tidak hanya mengantarkan Islam Asia Tenggara ke arah yang lebih
skripturalistik, tetapi juga membangkitkan intelektualisme Islam. Pada akhir
abad ke-19, kemudahan transportasi pascapembukaan Terusan Suez semakin
meningkatkan intensitas pelayaran ke Timur Tengah. Kian banyak orang Islam
mengadakan perjalanan ke Makkah dan Madinah. Memasuki awal abad ke-20, gerakan
pembaruan Islam mulai masuk ke Asia Tenggara. Gagasan ini dibawa oleh para
jamaah haji yang kembali dari Tanah Suci. Wacana modernisme yang diusung
Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha juga hadir lewat
terbitan-terbitan, seperti al-Manar. Di Indonesia, gagasan modernisme ini
memunculkan organisasi-organisasi pembaruan Islam, seperti Muhammadiyah,
al-Irsyad, Sarekat Islam dan Persis. Pada saat yang sama, ekspansi kaum
modernis menjadi faktor terpenting dalam proses konsolidasi ulama tradisional
yang kemudian bergabung dalam Nahdlatul Ulama. Memasuki pertengahan abad ke-20,
satu per satu negara di Asia Tenggara mendapat kemerdekaan. Pada fase ini,
debat alot antara nasionalisme dan Islam menjadi subjek yang tak dapat
diabaikan. Metro, 3 Agustus 2017 Rektor IAIN Metro Prof. Dr. Enizar, M.Ag
│ Proceding 7th Metro International Conference On Islamic
Studies (MICIS) vi KATA
PENGANTAR Bismillahirrohmanirrokhiim.
Puji syukur
Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang, Maha
Pengampun dan Maha Penerima Taubat bagi hamba-hamba-Nya yang mau bertaubat dan
mohon ampunan-Nya. Proceeding Metro International Conference On Islamic
Studies (MICIS)Dengan The Southeast Asia Islam:Its Contribution in Developing
Regional Peace and Religius Harmony ini di susun berdasarkan dengan Tema
Seminar International yang diselenggarakan Program Pascasarjana Institut Agama
Islam Negeri Metro Lampung. Dengan proceeding MICIS ini, maka pembaca mempunyai
pemahaman yang komprehensif mengenai Islam Asia Tenggara: Kontribusi dalam
Membangun Perdamaian Kawasan dan Harmoni Agama Namun demikian tidak menutup
kemungkinan di dalam penyusunan proceeding MICIS ini masih terdapat
kekurangan-kekurangan maupun kesalahan, untuk itu di harapkan kritik dan saran
yang konstruktif demi penyempurnaan penyusunan selanjutnya. Akhirnya kami
mengucapkan terimakasih kepada Tim dan semua pihak yang telah membantu atas
terbitnya Proceeding MICIS , dan semoga bermanfaat bagi kita semua.
Amin. Metro, , 3 Agustus
2017 Direktur
Pascasarjana IAIN Metro Dr. Thobibatussadah, M.Ag
Proceding 7th Metro International Conference On Islamic
Studies (MICIS) │ vii Daftar
Isi Religions and the Value of Life in Indonesia Marsudi Syuhud 1-3 Wasatiyyah
Islam For Harmony and Peace The Indonesian Experience Mars Azyumardi Azra,
CBE 4-10 Peranan Universiti Islam Sultan Sharif Ali (UNISSA) Melestari
Mazhab SyafiʻI
di Brunei Darussalam Azme
Matali 11-28 Principles Of Moderation In Islamic Politics Syaripudin
29-41 Challenges in Developing of Vocational Madrasa based on Foster Father Erna
Nurkholida 42-54 Meredam Sikap Fundamentalisme dari Gerakan Radikal Melalui
Gerakan Perubahan Sosial Dalmeri 55-71 Factors Affecting Student Views
Of Afghanistan And Thailand About Islamic Education Curriculum Content In
Pondok Pesantren Luhur Wahid Hasyim Semarang Nur Setyaningrum 72-82 Religion
And Religious Language: A Religious Symbolism for Nonreligious Purposes Aminullah
Elhady 83-92 Terorisme dalam Perspektif Al-Qur’an Pendekatan Tematik Nasrulloh
93-105 The Local Wisdom and Purpose of Tahlilan Tradition Andi
Warisno 106-114 KH. Hasyim Asy’ari: Pendidikan Islam Membentuk Perdamaian Sumarto
115-126
│ Proceding 7th Metro International Conference On Islamic
Studies (MICIS) viii Relasi
Sunni Syiah di Lampung Timur: Dari Perang Dingin Menjadi Harmoni Imam Mustofa 127-150 Prinsip
Manajemen Pendidikan Islam dalam Al Qur’an Achmad Sarbanun 151-164 The
Ancient Malay Book in The Glory of Islam Thobibatussaadah, Abdul Mujib,
Ahmad Madkur 165-174 Implementasi Sistem Ekonomi Islam dalam Membangun Harmoni
Agama di Kawasan Asia Tenggara Mardhiyah Hayati 175-184 Islam dan
Keharmonian Kaum di Singapura Saifuddin Amin 185-198 Change The
Radicalism Movement Through Multicultural Education Zainal Abidin 199-208 Pluralisme
Beragama di Indonesia Nindia Yuliwulandana 209-227 Urgensi Rubu’
Mujayyab dalam Spirit Islam Nusantara (Karya Ibnu Al-Shatir 1304-375 M) Sakirman
228-237 Islam Nusantara As A Counter-Hegemony Againts The Radicalism Of
Religion In Indonesia Khoirurrijal 238-253 Study of Graveyard Mixed Religion
and Ethnicity in Pluralism Society (Case Study at Public Graveyard 21 Kota
Metro-Lampung) Muhamad Dini Handoko, M.Pd. 254-273 Keberterimaan Amil
Zakat LAZIS NU dan LAZIS Muhammadiyah Terhadap Hegemoni Negara dalam
Pengelolaan Zakat Muhamad Nasrudin, M.H. 274-291
Proceding 7th Metro International Conference On Islamic
Studies (MICIS) │ ix Keadilan Hukum Bagi Anak
dalam Bingkai Perundang-undangan di Indonesia Siti Nurjanah 292-302 Strategi
Pendekatan Agama Melalui Lembaga Pendidikan Dalam Pencegahan Gerakan
Radikalisme M. Ihsan Dacholfany dan Ahmad Muzakki 303-324
ISBN :
978-602-6739-24-7
Strategi Pendekatan Agama Melalui Lembaga Pendidikan
Dalam
Pencegahan Gerakan Radikalisme
M. Ihsan Dacholfany
Universitas Muhammadiyah Metro
Ahmad Muzakki
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro Lampung
Abstrak
Artikel ini membahas tentang
strategi pendekatan agama pada lembaga pendidikan dalam rangka pencegahan
gerakan radikalisme yang sedang terjadi pada akhir-akhir ini di Negara kita.
Munculnya gerakan radikalisme yang sudah merambah pada ranah pendidikan menjadi
fenomena sekaligus tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan di tanah air,
terkhusus bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam. Hal ini dikarenakan, sejauh
ini Islam di Negara kita terkenal dengan ke-tassamuh-annya, tawasuth dan
toleransi. Mengantisipasi dan menangkal gerakan radikalisme, posisi pendidikan
dan lembaganya dapat dijadikan pintu masuk untuk mengawali proses
deradikalisasi agama yang sedang “mewabah” di Negara kita. Ranah pendidikan
dapat dijadikan wasilah untuk dijadikan “benteng” dan “palang pintu” dari
program program deradikalisasi. Untuk itu, perlu strategi pendekatan yang
dilakukan yaitu dengan penyusunan kembali kurikulum dan materi pembelajaran
berbasiskan deradikalisasi agama pada setiap level dan jenjang. Selain itu,
peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) tenaga pengajar (guru ataupun
dosen) pada lembaga pendidikan.
Kata
kunci: Radikalisme, Deradikalisme,
Lembaga pendidikan dan pendidikan Islam
Abstract
This article discusses the
strategy of religious approaches to educational institutions in order to
prevent the ongoing movement of radicalism lately in our country. The emergence
of the radicalism movement that has penetrated into the realm of education
becomes a phenomenon as well as a challenge for the world of education in the
homeland, especially for Islamic educational institutions. This is because, so
far, Islam in our country is famous for its tassamuh-an, tawasuth and
tolerance. Anticipating and counteracting radicalism movements, educational
positions and institutions can be an entrance to initiate the process of
religious deradicalization that is "plague" in our country.
Educational domain can be used as a refill to be a "fortress" and
"doorstop" of the program deradicalisasi program. For that, it needs
a strategy approach that is done by the reconstruction of curriculum and
learning materials based on religious deradicalization at every level and
level. In addition, improving the quality of human resources (HR) teaching
staff (teachers or lecturers) at educational institutions. Key word:
Radicalism, Deradicalism, Institute of Islamic education and education
M Ihsan Dacholfany & Ahmad
Muzakki Strategi Pendekatan Agama… │Proceding
7th Metro International Conference On Islamic Studies (MICIS) │304 Pendahuluan
Dewasa ini diskursus tentang radikalisme agama menjadi trend isu
yang menyita banyak perhatian dari berbagai pihak. Munculnya isu tersebut
semakin santer terdengar dibanyak pemberitaan diberbagai media cetak maupun
elektronik. Sejak mulai dari pemberitaan perihal radikalisme dan terorisme,
peristiwa kekerasan menggunakan simbol agama, maupun sampai pada isu adanya
ide, gagasan, usaha pendirian Negara yang berbasis agama. Mengemukanya isu
tentang radikalisme ditanggapi oleh banyak pakar sosial dan keagamaan sehingga
berhipotesa bahwa gerakan radikalisme agama atau yang lazim disebut radikalisme
sebagian besar bermula dari lembaga pendidikan. Benarkah hipotesa atau analisis
dari para pakar tersebut? Atau justru sebenarnya ada dimensi-dimensi lain yang
mempengaruhinya yang belum terungkap secara benderang? Oleh sebab itu, perihal
tentang radikalisme dalam dunia pendidikan masih membutuhkan penelusuran
penelitian dan kajian secara komprehensif. Memperhatikan hal tersebut, maka
pendidikan dalam prakteknya perlu menerapkan asas-asas yang sesuai.1 Mengingat,
dewasa ini agama di Indonesia telah dianggap kehilangan etikanya. Tak
terkecuali pula di dalam lembaga pendidikan, banyak yang telah menganggap
kehilangan karakternya. Padahal, konsep dan tujuan pendidikan di Indonesia
adalah untuk membentuk manusia seutuhnya yang tercermin dari iman dan taqwa,
memiliki kepribadian, cerdas, sehat serta bertanggung jawab. Pada kondisi ini,
pendidikan di Indonesia dianggap belum mampu menterjemahkan dari tujuan yang
dimaksudkan. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab jika dilihat dari perkembangan
keadaan bangsa Indonesia dari masa ke masa, sepanjang era reformasi bergulir
kasus kekerasan (baca; radikalisme) dan terorisme dengan label agama sering
―menghantui‖ masyarakat kita. Tampak terlihat kelompok-kelompok Islam radikal
sedikit banyaknya telah ―berhasil‖ mengubah wajah Islam Indonesia menjadi
intoleran, kejam, tanpa belas kasihan, agresif, beringas, dan penuh kebencian.
Padahal, agama Islam khusunya di Indonesia dikenal memiliki sikap toleran,
kasih sayang, lemah lembut, dan penuh kedamaian. Maraknya gerakan Islam radikal
di Negara ini mencemaskan lembaga pendidikan dan masyarakat khususnya pemeluk
agama Islam, karena dianggap bisa mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara
yang di dalamnya terkandung nilai-nilai, toleransi, pluralisme dan akulturatif,
termasuk dalam beragama. Dengan demikian, Pancasila, UUD 1945 yang merupakan
dasar-dasar berbangsa dan bernegara—bahkan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) dapat terancam eksistensinya. Dalam kontek Negara Indonesia, gerakan
radikal cenderung dilakukan dengan kekerasan. Hal itu terbukti dengan adanya
beberapa peristiwa kekerasan yang menelan banyak korban jiwa. Berdasarkan 1 M.
Ihsan Dacholfany, “Peranan Pengambilan Keputusan Dalam Rangka Menciptakan
Inovasi Di Bidang Pendidikan,” Jurnal Dewantara, Vol. I, no. 1 (June
2016): h. 25.
│ 7th Metro
International Conference On Islamic Studies (MICIS) 304 M Ihsan Dacholfany
& Ahmad Muzakki Strategi Pendekatan Agama… │Proceding 7th Metro
International Conference On Islamic Studies (MICIS) │305 data yang dilansir
dari Badan Nasioanal Penanggulangan Teroris (BNPT) sebelum muncul gerakan ISIS,
di Indonesia sudah terjadi beberapa gerakan radikal yang mengancam rasa aman
serta jiwa masyarakat sehingga tidak sedikit akibat perbuatan gerakan radikal
tersebut menimbulkan kehancuran, keresahan dan korban jiwa. Sementara itu dalam
suatu kasus di lembaga pendidikan, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI), Anas Saidi mengatakan radikalisme ideologi telah merambah dunia
mahasiswa melalui proses Islamisasi. Proses itu dilakukan secara tertutup dan
berpotensi memecah belah bangsa. Radikalisme ideologi jika tidak dicegah dari
sekarang bukan mustahil Indonesia menjadi negara yang porak poranda dan dipecah
karena perbedaan ideologis. Lebih lanjut dikemukakan oleh Anas Saidi, bahwa
pasca reformasi bergulir peta gerakan mahasiswa telah berubah. Kelompok
Cipayung yang sebelumnya dianggap mendominasi gerakan Islam di kampus, kini
digeser oleh kelompok lain yang turut menyebarkan radikalisasi ideologi.
Diantara beberapa organisasi kemahasiswaan itu, salah satunya Kesatuan Aksi
Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Kelompok ini dinilai dan dianggap memiliki
hubungan ideologis dengan kelompok radikal internasional Ikhwanul Muslimin,
kelompok ini lebih banyak melakukan radikalisme ideologi dengan cita-cita mendirikan
negara Islam versi mereka sendiri. Jika hal ini tidak dicegah secepatnya
kemungkinan besar Indonesia akan terjadi perang saudara.2 Pandangan serupa juga
dikemukakan oleh Endang Turmudi—seorang peneliti LIPI—yang mengatakan bahwa
adanya radikalisme keagamaan sebenarnya merupakan fenomena yang biasa terjadi
didalam agama apapun, radikalisme sangat berkaitan dengan fundamentalisme yang
ditandai kembalinya masyarakat kepada dasar-dasar agama, fundamentalisme akan
memunculkan radikalisme ketika kebebasan untuk kembali keagama dihalangi oleh
situasi sosial politik yang mengelilingi masyarakat. Fenomena ini akan
menimbulkan konflik bahkan kekerasan antar dua kelompok yang berhadapan.3
Seperti halnya yang terjadi pada kelompok Ikhwanul Muslimin, yang memiliki pandangan,
keyakinan dan sikap fundamentalisme puritan kaku. Mereka selalu merasa paling
benar dan menganggap kelompok lain salah. Tujuan mereka membangun negara Islam,
bahkan untuk mewujudkannya dibolehkan menggunakan cara-cara kekerasan, mereka
beranggapan bahwa mereka yang tidak mendirikan negara Islam dianggap kafir,
halal untuk diperangi karena thogut.4 2 Nyala, “LIPI: Radikalisme
Ideologi Menguasai Kampus,” https://jurnalnyala.wordpress.com/, Bertita,
(March 31, 2016) Lihat juga dalam; “Radikalisme Ideologi Menguasai Kampus,”
http://lipi.go.id/berita/ single/Radikalisme-Ideologi-Menguasai-Kampus/15082, Berita
CNN Indonesia, (February 18, 2016). 3 Endang Turmudzi, Islam Dan
Radikalisme Di Indoneesia, (Jakarta: LIPI Press, 2004), h. 5. 4
“Radikalisme Ideologi Menguasai Kampus,” http://lipi.go.id/, Berita,
(n.d.) diakses pada tanggal 10 Juli 2017.
Proceding 7th
Metro International Conference On Islamic Studies (MICIS) │ 305 M Ihsan
Dacholfany & Ahmad Muzakki Strategi Pendekatan Agama… │Proceding 7th
Metro International Conference On Islamic Studies (MICIS) │306 Berkaca pada
fenomana di atas, idealnya di dalam lembaga pendidikan steril dari
gerakan ataupun paham-paham radikalisme. Sebab, lembaga pendidikan merupakan
suatu lembaga yang berusaha menjadikan manusia untuk dapat mandiri, bertahan
hidup, dan bertanggung jawab atas kehidupannya. Selain itu, lembaga pendidikan
juga sebagai bentuk upaya membebaskan manusia dari belenggu kebodohan.
Karenanya, lembaga Pendidikan seyogyanya mampu merubah tingkah laku manusia
dari yang tidak/belum baik menjadi baik, bukan malah sebaliknya. Namun
demikian, dari dahulu sampai sekarang selalu ada saja hal-hal negatif atau
tidak sesuai dengan harapan dari dunia pendidikan kita. Sehingga lembaga
pendidikan seolah-olah menjadi sebuah sentral perkembangan dalam memunculkan
pelbagai peluang paham-paham tertentu yang tidak sesuai dengan ideologi bangsa.
Dari sinilah kemudian muncul study tentang radikalisme dan terorisme
yang mensinyalir adanya lembaga pendidikan (baca: khususnya Islam) tertentu
(terutama yang bersifat nonformal, seperti pesantren), yang mengambil peran
dalam memunculkan gerakan radikal tersebut. Maka tidak mengherankan jika belakangan
ini muncul stigma negatif dari lembaga pendidikan Islam nonformal —jika
terdapat aksi kekerasan—maka selalu disangkutpautkan dengan pondok
pesantren/madrasah. Memang ironis, jika lembaga pendidikan Islam
nonformal/informal digeneralisir menjadi pemicu munculnya paham radikalisme.
Meski patut diakui bahwa belakangan ini, telah ada sekolah atau madrasah formal
yang diindikasikan mulai mengajarkan elemen-elemen Islam radikal, seperti
halnya mengajarkan kepada murid untuk tidak menghormati bendera merah putih
saat upacara bendera.5 Dalam praktek pemahaman siswa yang sudah terdoktrin
paham-paham radikalisme agama, biasanya akan menolak seremonial/kegiatan yang
berkaitan dengan etika berbangsa dan bernegara. Misalnya, mereka akan menolak
untuk menyanyikan lagu-lagu kebangsaan, terlebih lagi upacara hormat bendera.
Jangankan perihal etika berbangsa dan bernegara, merekapun akan menolak atau
tidak menerima pemahaman tentang Islam yang tidak sesuai dengan apa yang
diyakininya. Menurut Qodir, hal ini dikarenakan pemikiran dan hati mereka telah
terisi doktrin-doktrin agama secara radikal, sehingga tidak ada lagi ―ruang
kosong‖ dalam pikiran dan hatinya untuk menerima pemahaman agama yang tidak
sesuai dengan apa yang selama ini mereka terima dan yakini.6 Seyogjanya,
sebagai warga negara dan kaum terpelajar yang beragama Islam, para siswa
tersebut dapat menghargai tradisi, budaya, dan etika berbangsa serta bernegara.
Dengan demikian, para siswa hendaknya 5 Adapun lembaga pendidikan Islam formal
yang melarang siswanya untuk hormat kepada Bendera Merah Putih saat melakukan
upacara adalah SMP Al-Irysad Tawangmangu dan Sekolah Dasar Al-Albani Matesih di
di Karanganyar. Lebih lengkap lihat dalam “Dua Sekolah Larang Siswa Hormat
Bendera,” www.metrotvnews.com, Berita, (June 6, 2011). 6 Zuly Qodir,
“Deradikalisasi Islam Dalam Perspektif Pendidikan Agama,” Jurnal Pendidikan
Islam Vol. 1, no. 2 (Desember 2012): h. 89.
│ 7th Metro
International Conference On Islamic Studies (MICIS) 306 M Ihsan Dacholfany
& Ahmad Muzakki Strategi Pendekatan Agama… │Proceding 7th Metro
International Conference On Islamic Studies (MICIS) │307 diberikan pemahaman
dan pengetahuan untuk membedakan antara seremonial kenegaraan yang lazim
digunakan pada suatau Negara dengan ritual-ritual keagamaan. Pada dasarnya
lembaga pendidikan Islam—baik formal, nonformal dan informal—merupakan ―palang
pintu‖ untuk ―memproduksi‖ insan kamil. Namun dalam aplikasinya, lembaga
pendidikan Islam sekarang ini telah mengalami disorientasi. Hal ini dapat
dilihat dari proses transfer of knowledge and skill yang dilakukan untuk
mengembangkan proses intelektualisasi, masih kurang memperhatikan pembinaan
pada ranah ―qalbun salim‖ dengan berupaya mewujudkan generasi yang
memiliki ―bastatan fil-ilmi wal jism‖ yang diliputi oleh spritualisasi
dan disiplin moral yang islami. Dengan kata lain, pendidikan Islam masih
dilakukan secara parsial dan tidak komprehensif. Sehingga pada akhirnya, output
wawasan pendidikan agama menjadi terbelah.7 Mengantisipasi dan
meminimalisir munculnya wawasan pendidikan Islam yang parsial—yang pada
akhirnya memahami Islam tidak secara kaffah—maka diperlukan sebuah
metode mengajar yang tepat. Metode pembelajaran menjadi sebuah wasilah bagi
setiap pendidik untuk menentukan langkah dalam proses pembelajaran, sehingga
materi yang disampaikan akan mudah dicerna atau dipahami. Untuk itulah, maka
diperlukan metode yang tepat. Selain itu, dalam usaha meningkatkan mutu
pendidikan, komponen pendidikan yang berupa sumber daya manusia (SDM) mempunyai
peranan yang sangat vital dan urgen dalam pencapaian tujuan, visi dan misi yang
diinginkan8 oleh pendidikan yang ada di Negara ini, sehingga tidak akan ada
siswa yang mengikuti gerakan atau ajakan paham radikalisme. Fenomena munculnya
berbagai tindak kekerasan dalam bentuk demonstrasi, aksi protes hingga
terorisme—dalam realitanya sebagian besar masih dilakukan oleh kelompok umat
beragama Islam. Sebagaimana dicontohkan Azra, bahwa terdapat beberapa kelompok
atau organisasi berbasis muslim di Indonesia yang sering melakukan tindakan
kekerasan; antara lain Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia
(MMI), Laskar Jihad (LJ), Jamaah Ikhwan al Muslimin Indonesia (JAMI), dan
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).9 Selanjutnya, penelitian tentang gerakan
radikalisme dalam dunia pendidikan yang membuat kita terperangah muncul dari
Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) Jakarta. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan antara Oktober 2010 hingga 2011 terhadap guru
Pendidikan Agama Islam (PAI) dan siswa (Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah
Menengah Atas) di 7 M. Ihsan Dacholfany, “Reformasi Pendidikan Islam Dalam
Menghadapi Era Globalisasi: Sebuah Tantangan Dan Harapan,” Jurnal Akademika,
20, no. 1 (2015): h. 179. 8 M. Ihsan Dacholfany, “Inisiasi Strategi
Manajemen Lembaga Pendidikan Islam Dalam Meningkatkan Mutu Sumber Daya Manusia
Islami Di Indonesia Dalam Menghadapi Era Globalisasi,” Jurnal At-Tajdid, Vol.
1, no. 1 (June 2017): h.10. 9 Azyumardi Azra, Konflik Baru Antar Peradaban:
Globalisasi, Radikalisme & Pluralitas, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persadah, 2002), h.170.
Proceding 7th
Metro International Conference On Islamic Studies (MICIS) │ 307 M Ihsan
Dacholfany & Ahmad Muzakki Strategi Pendekatan Agama… │Proceding 7th
Metro International Conference On Islamic Studies (MICIS) │308 Jabodetabek
menunjukkan, bahwa terdapat sekitar 49% siswa setuju dengan aksi radikalisme
demi agama.10 Hasil tersebut kiranya sangat signifikan dengan maraknya aksi
atau gerakan yang muncul belakangan ini. Karenanya, guru-guru Pendidikan Agama
Islam (PAI) memiliki peran strategis untuk menanggulangi gerakan deradikalisasi
pendidikan Islam, dengan cara memberikan pemahaman dan menanamkan nilai-nilai
Islam yang moderat, bukan Islam radikal. Merebak dan menggejalanya paham
radikalisme dalam dunia pendidikan kita, membuat Direktur Jenderal Pendidikan
Islam Kementerian Agama (Kemenag RI) Kamaruddin Amin di Gedung Kemenag, Jakarta
Pusat, Kamis (18/6/2016) menyatakan pihaknya akan segera membentuk pusat kajian
radikalisme di beberapa lembaga pendidikan tinggi agama Islam yang bertujuan
untuk menangkal radikalisme. Pembentukan pusat kajian radikalisme ini,
dilakukan bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Menurut pemaparan Komaruddin, sebenarnya penyebaran paham radikalisme justru
jarang ditemukan di lembaga pendidikan tinggi agama Islam. Akan tetapi,
radikalisasi lebih banyak ditemukan di perguruan tinggi umum, hal ini
dikarenakan kurangnya ilmu dasar agama. Kamaruddin mengklaim, pihaknya belum
menemukan adanya gerakan radikal di lembaga pendidikan tinggi agama Islam,
walupun ada dosen di lembaga tersebut yang memasukkan paham radikalisme dalam pengajarannya,
namun hanya satu atau dua orang. Lebih lanjut, Kamaruddin menjelaskan yang
dimaksud dengan radikalisme yaitu suatu paham yang menyakini bahwa orang lain
yang berbeda pendapat itu salah. ―Misalnya menganggap orang kafir yang berbeda
pendapat dengan dirinya, kita tidak bisa begitu, karena kita moderat.11 Salah
satu cendikiawan muslim, Buddy Munawar Rachman menyatakan sangat prihatin
melihat kondisi sekolah yang intoleransinya terus meningkat. Studi ini beberapa
kali sudah dilakukan. Kejadian akhir-akhir ini hanyalah konfirmasi bahwa betul
ada masalah di dunia pendidikan kita, seperti diberitakan sejumlah media massa,
di Bandung, Jawa Barat, dan Jombang, Jawa Timur, beredar buku Kumpulan Lembar
Kerja Peserta Didik Pendidikan Agama Islam Kelas XI SMA dengan kutipan,
diperbolehkan membunuh orang musyrik. Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Nur
Syam membenarkan adanya 10 Andik Wahyun Muqoyyidin, “Membangun Kesadaran
Inklusif Multikultural Untuk Deradikalisasi Pendidikan Islam,” Jurnal
Pendidikan Islam: Universitas Pesantren Tinggi Jombang, Vol. 2, no. 1 (June
2013), h. 134; Lihat juga dalam Sri Lestari, “Anak-Anak Muda Indonesia Makin
Radikal,” http://www.bbc.com/, Berita CNN Indonesia, (February 18,
2016); Bandingkan dengan Effendi, yang mengungkapkan hasil survei dari Lembaga
Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) yang dipimpin oleh Bambang Pranowo yang
juga guru besar sosiologi Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, pada
Oktober 2010 hingga Januari 2011. Penelitian mengungkapkan bahwa hampir 50%
pelajar setuju dengan tindakan radikal. Data itu menyebutkan 25% siswa dan 21%
guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi. Sementara 84,8% siswa dan 76,2%
guru setuju dengan penerapan Syariat Islam di Indonesia. Jumlah yang menyatakan
setuju dengan kekerasan untuk solidaritas agama mencapai 52,3% siswa dan 14,2%
membenarkan serangan bom. Lihat dalam Edy A. Effendi, “Peneliti LIPI: Anak Muda
Indonesia Makin Radikal,” http://www.uinjkt.ac.id/, Berita, (February
19, 2016). 11 Yohannie Linggasari, “Kemenag Akan Bentuk Pusat Kajian
Radikalisme Di Kampus,” https://www.cnnindonesia.com/, Berita CNN Indonesia,
(June 19, 2015).
│ 7th Metro
International Conference On Islamic Studies (MICIS) 308 M Ihsan Dacholfany
& Ahmad Muzakki Strategi Pendekatan Agama… │Proceding 7th Metro
International Conference On Islamic Studies (MICIS) │309 peredaran buku yang
mencantumkan aspek historis ajaran kekerasan di dalam agama, ajaran itu
menimbulkan radikalisme yang tidak sesuai aspek antropologis dan sosiologis
Indonesia sehingga buku harus ditarik.12 Pada posisi ini, seyogjanya
pemerintah—khususnya Kementerian Pendidikan Nasional serta Kementerian
Agama—memberikan perhatian serius pada masalah ini. Apabila tidak segara
diambil tindakan atau dibiarkan begitu saja, intoleransi yang terus menguat
akan berkembang menjadi radikalisme, yang selangkah lagi akan bertumbuh menjadi
terorisme. Selain menghentikan peredaran buku-buku yang berisi ajaran radikal,
guru-guru agama serta Pendidikan Kewarganegaraan perlu dibantu untuk bisa
mengembangkan paham-paham toleransi kebangsaan dan perlu dilatih mengembangkan
sikap inklusif, jika guru-guru agama dan Pendidikan Kewarganegaraan sangat
eksklusif, mereka justru akan menguatkan arus radikalisme di sekolah.
Berdasarkan fakta dan fenomena yang berkembang di lapangan, serta ditambah lagi
dengan dukungan hasil penelitian dari beberapa pakar, bahwa gerakan dan
jaringan radikalisme Islam telah lama menyusup ke lembaga pendidikan juga
termasuk sekolah umum, maka siswa-siswi yang masih sangat awam soal pemahaman
agama dan secara psikologis sedang mencari identitas diri, menjadi ―lahan
subur‖ yang diincar oleh para pendukung ideologi radikalisme tersebut. Dalam
aplikasinya, target mereka adalah menguasai organisasi-organisasi siswa intra
sekolah (OSIS), paling tidak bagian rohani Islam (rohis). Tampaknya jaringan
ini telah mengakar dan menyebar di pelbagai sekolah, sehingga perlu dikaji dan
direspons secara serius oleh lembaga pendidikan yaitu oleh pihak sekolah,
pesantren, pemerintah, maupun orang tua. Tentu saja orang tua akan senang,
anak-anaknya belajar agama. Namun yang perlu diwaspadai adalah ketika ada
penyebar ideologi radikal yang kemudian memanfaatkan simbol, sentimen, dan baju
Islam untuk melakukan cuci otak (brainwash) pada mereka yang masih
pemula belajar agama untuk tujuan yang justru merusak agama dan menimbulkan
konflik. Persoalan lain yang sering mengemuka dewasa ini—selain merebaknya
paham radikalisme—dalam wajah lembaga pendidikan kita adalah masalah
praktek-praktek kekerasan, seperti permusuhan dan tawuran antar sekolah,
perilaku kekerasan antara senior dan junior, kekerasan guru kepada siswa,
pelecehan seksual, dan bullying serta tindakan-tindakan kekerasan
lainnya. Perilaku-perilaku tersebut sangat jauh dari nilai-nilai pendidikan.
Hal ini tentunya sangat disayangkan dan mengapa harus terjadi dalam ―wajah‖
pendidikan kita. Tidak sedikit korban yang harus menanggung beban dari
aksi-aksi tersebut, baik beban psikologi, moral, sosial dan material. Idealnya,
lembaga atau pun dunia pendidikan terbebas dari praktik-praktik kekerasan
apalagi radikalisme. 12 Aloysius B Kurniawan, “Radikalisme Kelanjutan Isu Besar
Intoleransi,” http://print.kompas. com/, Berita, (April 1, 2015).
Proceding 7th
Metro International Conference On Islamic Studies (MICIS) │ 309 M Ihsan
Dacholfany & Ahmad Muzakki Strategi Pendekatan Agama… │Proceding 7th
Metro International Conference On Islamic Studies (MICIS) │310 Kondisi demikian
memang pantas dipertanyakan. Siapa yang harus bertanggung jawab? Apa dan siapa
sebenarnya yang salah? Pemerintah, guru, kurikulum dan materi ajar, metode dan
strategi pembelajaran atau mungkinkah siswanya. Pertanyaan-pertanyaan yang
membuat ―gelisah‖ dan ―galau‖ banyak pihak tersebut mesti dipikirkan bersama
untuk kemudian mecarikan solusinya, sehingga tidak akan saling menyalahkan
antara satu sama lain. Untuk itulah, pada artikel ini penulis akan membahas
tentang strategi pendekatan agama melalui lembaga pendidikan dalam pencegahan
gerakan radikalisme. Radikalisme: Uraian Makna, Pengertian dan Ciri Khasnya Radikalisme
seringkali dimaknai berbeda, tergantung pada tingkatan kelompok kepentingan
yang bersangkutan. Namun demikian, secara subtansi memiliki makna yang sama.13
Selanjutnya, kata radikal jika ditambah dengan kata ―isme‖, maka akan menjadi
kata radikalisme yang tentu saja memiliki arti berbeda dari yang sebelumnya.
Sehingga radicalism, menurut Nuhrison diartikan sebagai doktrin atau
praktik penganut paham radikal atau paham ekstrim.14 Sementara itu, dalam KBBI
disebutkan bahwa radikalisme merupakan faham (isme), tindakan yang
melekat pada seseorang atau kelompok yang menginginkan perubahan baik, sosial,
politik dengan menggunakan kekerasan, berfikir asasi dan bertindak ekstrim.15
Sedangkan berkaitan dengan radikalisme dalam konsep Islam memiliki bermacam
makna. Al-Qur‘an sebagai regulasi tertinggi dan way of life umat Islam
telah mengklasifikasikan beberapa ungkapan tentang radikalisme dengan berbagai
diksi yang berbeda. Adapun beberapa diksi tersebut diantaranya, yaitu: (1) QS.
Al-Baqarah ayat 19, kata Al-udwan, yang menyatakan bahwa permusuhan yang
berlebih dan melampaui batas yang menyebabkan kerusakan dan mengancam
keharmonisan merupakan bentuk perbuatan radikalimse; (2), QS. An-Nahl ayat 90,
terdapat kata al-baghi, yang memiliki konotasi permusuhan yang melampaui
batas dengan tindak kekerasan yang berlebih), (3) QS. Hud ayat 112 terdapat
kata Tughyan; oleh Ibnu Asyur mendefinisikan segala bentuk kerusakan/ushul
mafashid yang akan menjadikan ketidak harmonisan; (4) QS. Al-Maidah ayat
32: terdapat kata al-Qatl yang memiliki makna berbagai jenis 13 Kata
radikal berasal dari kata Radix, yang dalam Bahasa Inggris kata radical
memiliki banyak makna, yakni; ekstrim, menyeluruh, fanatik, revolusioner, ultra
dan fundamental. Lihat dalam A.S.Hornby, Oxford Advenced, Dictionary of
Current English, (UK: Oxford university press, 2000), h. 691; Sementara itu
dalam bahasa arab, kata radikal disebut al-ghuluwwu fiddin. Sedangkan
berkenaan dengan radikalisme, Yusuf Qardhawi menggunakan kata al-tat arruf untuk
menyebut kata radikal, dan al-tat arruf al-dini untuk istilah
radikalisme agama. Kata al-tat arruf berarti berdiri di ujung, jauh dari
pertengahan, bias juga diartikan berlebihan dalam suatu hal. Meskipun pada
awalnya kata ini digunakan untuk hal-hal yang bersifat kongkret, seperti
berlebihan dalam berdiri, duduk, berjalan dan sebagainya, pada tahap berikutnya
penggunaannya diperluas termasuk pada hal-hal yang abstrak seperti berlebihan
dalam berpikir, beragama, dan berperilaku. Lebih lengkap lihat dalam Yusuf
Qardhawi, Islam Radikal Analisis Terhadap Radikalisme Dalam Berislam Dan
Upaya Pemecahannya, ed. Hawin Murtadho, (Solo: Era Intermedia, 2004), h.
23. 14 Lihat dalam Nuhrison M. Nuh, “Faktor-Faktor Penyebab Munculnya Faham/ Gerakan
Islam Radikal Di Indonesia,” HARMONI: Jurnal Multikultural &
Multireligius, Vol. VIII, (September 2009), h. 36. 15 Tim Penyusun Pusat
Pengembangan Bahasa, “Kamus Besar Bahasa Indonesia,” (Jakarta: Depdikbud &
Balai Pustaka, 1998), h. 425.
│ 7th Metro
International Conference On Islamic Studies (MICIS) 310 M Ihsan Dacholfany
& Ahmad Muzakki Strategi Pendekatan Agama… │Proceding 7th Metro
International Conference On Islamic Studies (MICIS) │311 pembunuhan, sehingga
salah satu kategori radikalisme ialah pembunuhan yang disengaja/qatlu amdin,
(5) Terdapat juga kata al-hirbah, yaitu terorisme atau aksi perampokan,
pembunuhan yang menimbulkan kecemasan dan kekacawan, kata az-Dzhulm,
yaitu radikalisme merupakan salah satu bentuk kedzoliman. Pada tahap
selanjutnya, radikalisme secara umum dipahami sebagai suatu gerakan sosial yang
mengarah pada hal-hal yang negatif—meski pada dimensi lain, radikal juga
memiliki makna positif. Sementara itu yang bertendensi negatif biasanya
tercermin pada tuntutan yang keras terhadap perubahan.16 Persepsi ini
setidaknya memiliki subtansi yang sama dengan apa yang telah dikemukakan oleh
Kartodirdjo, bahwa radikalisme merupakan gerakan sosial yang menolak secara
menyeluruh tertib sosial yang sedang berlangsung dan ditandai oleh kejengkelan
moral yang kuat untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang memiliki
hak-hak istimewa dan yang berkuasa.17 Sedangkan oleh Lukman Hakim ditegaskan
dari persepsi seperti itu, maka akan muncul istilah ekstrem, anti Barat, anti
Amerika, dan teroris.18 Hal inilah kemudian oleh Irwan Masduqi, radikalisme
dipandang sebagai satu bentuk kefanatikan terhadap satu pendapat dengan sikap
menegasikan pendapat orang lain, mengabaikan terhadap kesejarahan Islam,
cenderung tidak dialogis. Lebih dari itu, orang yang berfaham seperti ini
biasanya suka mengkafirkan kelompok lain yang tidak sefaham dengannya,
bertindak dan bersikap tekstual dalam memahami teks agama tanpa
mempertimbangkan hal yang bersifat esensial dari tujuan diturunkannya syariat (maqashid
al-syari‟at).19 Dalam perspektif sosio—historis penyebutan istilah
radikalisme pada awalnya dipergunakan dalam kajian sosial budaya. Namun dalam
perkembangan selanjutnya, istilah ini dikaitpautkan dengan persoalan politik
dan agama. Sehingga istilah radikalisme dimaknai sebagai konsep yang akrab
dalam kajian keilmuan sosial, politik dan sejarah. Pada akhirnya istilah
radikalisme ini digunakan untuk menjelaskan fenomena sosial dalam suatu
masyarakat atau negara.20 Persoalan radikalisme pada akhirnya diartikan dan
dimaknai berbeda-beda diantara kelompok dan kepentingan yang ada, misalkan
dalam lingkup keagamaan dan studi ilmu sosial.21 16 Dalam pengertian yang
positif, kata radikal dihubungkan dengan kegiatan berfikir filosofis, yang
salah satu cirinya adalah mendalam, mendasar, sampai ke akar permasalahan.
Adapun makna yang memberikan kesan negatif biasanya memiliki sikap dan output
berbeda yang mengindikasikan sikap kaku, keras, mau menang sendiri,
memaksakan kehendak, tidak mau kompromi. Lebih lengkap lihat dalam Karwadi,
“Deradikalisiasi Pemahaman Ajaran Islam,” Al-Tahrir, Vol. 14, no. 1,
(Mei 2014): 142–43. 17 Sartono Kartodirdjo, Ratu Adil, (Jakarta: Sinar
Harapan, 1985), h. 38. 18 Endang Turmudzi and Riza Sihbudi, eds., Islam Dan
Radikalisme Di Indonesia, (Jakarta: LIPI Press, 2005), h. 24. 19 Irwan
Masduqi, “Deradikalisasi Pendidikan Islam Berbasis Khazanah Pesantren,” Jurnal
Pendidikan Islam, Vol. I, No. 2 (Desember 2012/1434), h. 2; Lebih dalam
lihat pada Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat
Beragama, (Bandung: Mizan, 2012), h. 116. 20 Bachtiar Effendy, Radikalisme:
Sebuah Pengantar, (Jakarta: PPIM IAIN, 1998), h. 17. 21 Dijelaskan Rubiadi,
bahwa dalam lingkup keagamaan, radikalisme merupakan gerakan-gerakan keagamaan
yang berusaha merombak secara total tatanan sosial dan politik yang ada dengan
jalan menggunakan kekerasan. Lebih lengkap lihat dalam A. Rubaidi, Radikalisme
Islam, Nahdatul Ulama Masa Depan Moderatisme Islam Di Indonesia, (Yogyakarta:
Logung Pustaka, 2007), h. 33; Sedangkan menurut
Proceding 7th
Metro International Conference On Islamic Studies (MICIS) │ 311 M Ihsan
Dacholfany & Ahmad Muzakki Strategi Pendekatan Agama… │Proceding 7th
Metro International Conference On Islamic Studies (MICIS) │312 Memperhatikan
anasir-anasir di atas, dapat dikatakan jika radikalisme merupakan gejala umum
yang bisa terjadi dalam suatu masyarakat. Biasanya, munculnya gerakan dan
kejadian ini tidak bersifat monoton, yakni sangat bervariasi, misalnya dalam
ranah sosial, politik, budaya maupun agama. Sementara, tanda-tanda gerakan dari
radikalisme itu sendiri adalah munculnya tindakan-tindakan keras, ekstrim, dan
anarkis. Munculnya tindakan-tindakan tersebut pada dasarnya merupakan output
sikap dan wujud dari sebuah penolakan terhadap gejala-gejala yang sedang
dihadapi. Memperhatikan faham radikalisme di Indonesia pada akhir-akhir ini
tampaknya mulai muncul dipermukaan. Dengan melihat gejala dan tanda-tanda yang
telah terjadi seperti adanya kejadian bom bunuh diri di tempat ibadah, di
tempat umum, bahkan di pos Polisi. Maka, bangkitnya gerakan-gerakan yang
bersifat radikal tersebut perlu diwaspadai oleh semua pihak yang komitmen
dengan ideologi negara dan bangsa ini. Sebab menurut Karwadi22, dalam diri
seseorang—radikalisme sebagai sebuah aliran (baca; faham)—pada dasarnya muncul
tidak secara otomatis atau ujug-ujug. Namun melalui tahapan dan proses
yang panjang. Biasanya proses yang dijalankan dimulai dari pengenalan,
penanaman, penghayatan, dan penguatan. Proses demikian ini lazim disebut dengan
istilah radikalisasi. Kesuksesan dan keberhasilan proses radikalisasi ini, maka
menjadikan sikap radikal menjadi faham (isme) sehingga menjadi
radikalisme. Yang mesti diketahui bahwa salah satu karakter dasar dari sebuah
faham (isme) adalah menuntut adanya loyalitas dari pengikut yang sering
diwujudkan dalam bentuk keberpihakan, pembelaan, dan pembuktian. Oleh sebab
itu, maka tidak mengherankan jika kemudian para pengikutnya demi sebuah
loyalitas terhadap faham (isme) yang telah dianutnya, akan dengan mudah
bahkan ―mempasrahkan‖ dirinya untuk melakukan tindakan-tindakan yang terkadang
berbahaya, menyimpang dari kebiasaan, aneh dan merusak. Lebih lanjut berkaiatan
dengan radikalisme, dewasa ini di Indonesia muncul gerakan atau kelompok Islam
radikal. Keberadaan dan gerakan kelompok Islam radikal di tanah air ini cukup
―mengguncang‖ banyak pihak. Sebab, sejauh ini Islam di Indonesia terkenal
dengan sikapnya yang moderat; toleran, tassamuh, tawasuth dan
cenderung mengedepankan visi Rahmatan lil Al amin. Namun, akhir-akhir
ini ―wajah‖ Islam Indonesia telah ―tercoreng‖ dan ―terciderai‖ dengan munculnya
sikap dan ulah dari segelintir kelompok Islam radikal. Menurut Jamhari,
kelompok Islam radikal merupakan kelompok yang mempunyai keyakinan ideologis
tinggi dan fanatik yang mereka perjuangkan untuk menggantikan tatanan nilai dan
sistem yang sedang berlangsung. Dengan Hasani dan Bonar, Radikalisme dalam
studi Ilmu Sosial, diartikan sebagai pandangan yang ingin melakukan perubahan
yang mendasar sesuai dengan interpretasinya terhadap realitas sosial atau
ideologi yang dianutnya. lebih lengkap lihat Ismail Hasani and Bonar Tigor
Naipospos, Radikalisme Agama Di Jabodetabek & Jawa Barat: Implikasinya
Terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan, (Jakarta: Pustaka
Masyarakat Setara, 2010), h. 19. 22 Karwadi, “Deradikalisiasi Pemahaman Ajaran
Islam,” Al-Tahrir, Vol. 14, no. 1, (Mei 2014), h. 142.
│ 7th Metro
International Conference On Islamic Studies (MICIS) 312 M Ihsan Dacholfany
& Ahmad Muzakki Strategi Pendekatan Agama… │Proceding 7th Metro
International Conference On Islamic Studies (MICIS) │313 meminjam terminologi
dari Esposito, bahwa dapat diidentifikasi beberapa landasan ideologis yang
dijumpai dalam gerakan Islam radikal. Pertama, kelompok ini berpendapat
bahwa Islam adalah agama yang komprehensif. Kedua, ideologi masyarakat
Barat yang sekuler dan materialistik harus ditolak kalau masyarakat mencontoh
ideologi Barat berarti masyarakat muslim tidak berhasil karena ideologi
masyarakat Barat bukan ideologi yang ideal menurut ajaran Islam.23 Dengan
memperhatikan beragam pengertian tentang radikalisme sebagaimana yang telah
teruarai di atas, maka keberadaan radikalisme memiliki ciri-ciri tersendiri.
Adapun beberapa ciri khas yang sering terlihat dan melekat serta
mengindikasikan bahwa orang atau kelompok tersebut dikatakan berfaham
radikalisme, sebagaimana dikemukakan oleh Qardhawi mencakup beberapa hal,
yaitu; (a) Fanatik kepada suatu pendapat tanpa menghargai pendapat lain; (b)
Mewajibkan orang lain untuk melaksanakan apa yang tidak diwajibkan oleh Allah;
(c) Sikap keras yang tidak pada tempatnya; (d) Sikap keras dan kasar, berburuk
sangka kepada orang lain; dan (e) Mengkafirkan orang lain.24 Beberapa kriteria
tersebut sudah mulai nampak dan menggejala di lingkungan kita. Banyak kasus dan
kejadian yang menggambarkan dengan mudahnya seseorang menuduh dan
mengkafir-kafirkan orang lain yang notabene-nya juga beragama Islam.
Ironisnya, peristiwa ini sering muncul di media-media media sosial (medsos)
yang keberadaannya sangat mudah untuk diakses oleh masyarakat. Fenomena dan
kejadian ini jika terus dibiarkan dan tidak ada tindakan atau upaya pencegahan,
maka akan berdampak tidak baik bagi keharmonisan kehidupan beragama dan
bermasyarakat di Negara kita. Meski patut diakui bahwa bangkit dan munculnya
gerakan-gerakan yang bersifat radikal hanya dimonopoli oleh kelompok-kelompok
yang berfaham dan berideologi tertentu. Namun, gerakannya yang massif,
bersifat radikal, keras dan ekstrim tersebut menjadi salah satu instrument atau
metode kelompok untuk mencapai tujuan ataupun kepentingan tertentu. Hal ini
sudah dapat menjadi indikasi untuk mengatakan bahwa di Negara kita telah ada
dan muncul gerakan radikalisme agama. Selain hal di atas, lebih lanjut Irwan
Masduqi memberikan spesifikasi ciri-ciri yang khas terhadap kelompok radikal,
yaitu: (1) Kelompok radikal sering mengklaim kebenaran tunggal dan menyesatkan
kelompok lain yang tak sependapat; (2) Cenderung mempersulit agama Islam yang
sejatinya samhah (ringan) dengan menganggap ibadah sunnah seakan-akan
wajib dan makruh seakan-akan haram; (3) Kebanyakan berlebihan dalam beragama
yang tidak pada tempatnya; (4) Kasar dalam berinteraksi, keras dalam berbicara
dan emosional dalam berdakwah; (5) Mudah berburuk sangka kepada orang lain di
23 Jamhari and Jajang Jahroni, eds., Gerakan Salafi Radikal Di Indonesia, vol.
Cet.Pertama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 2. 24 Qardhawi, Islam
Radikal Analisis Terhadap Radikalisme Dalam Berislam dan Upaya Pemecahannya…, h.
40-58.
Proceding 7th
Metro International Conference On Islamic Studies (MICIS) │ 313 M Ihsan
Dacholfany & Ahmad Muzakki Strategi Pendekatan Agama… │Proceding 7th
Metro International Conference On Islamic Studies (MICIS) │314 luar
golongannya; (6) Mudah mengkafirkan orang lain yang berbeda pendapat.25
Sementara itu, Syaukanie mengidentifikasi kelompok-kelompok dapat dikatakan
memiliki paham radikal apabila memiliki beberapa indikasi dan sikap ikonoklasme,
demonasi, fatwa kekerasan, konservativisme, budaya instan, dan puritanisme.26
Memperhatikan apa yang telah dikemukakan oleh Masduqi dan Assyaukani di atas,
bahwa kelompok-kelompok radikal memiliki pandangan dan faham yang berbeda
dengan sebagian besar umat muslim yang ada di Negara ini. Kelompok tersebut
memandang dirinya lebih ekslusif dan sering mengklaim kebenaran tunggal dan
menyesatkan kelompok lain yang tak sependapat. Sikap dan pandangan demikian
(merasa benar dan cenderung menyesatkan), oleh Karwadi dikatakan akan berdampak
pada fanatisme sempit dan sikap mengklaim kebenaran, sehingga kadar kebenaran
benar-benar direduksi menjadi terbatas sebagaimana yang diikutinya, dan tidak
menerima kebenaran di luar dirinya.27 Pandangan seperti ini benar-benar sudah
terpatri dan melekat dalam diri orang yang berfaham radikal, sehingga dengan
mudah dan beraninya mereka menyalah-nyalahkan kelompok lain yang tidak
sepandangan dengan mereka. Bahkan, mereka cenderung memposisikan dirnya
seakan-akan telah memiliki kebenaran sempurna dan tidak pernah melakukan
kesalahan sedikitpun. Selain itu, kelompok radikalisme sangat ekstrim dalam
menempatkan ibadah yang memiliki skala priorotas sunah. Bagi kelompok ini,
ibadah yang bernilai sunah seakan telah menjadi wajib dan primer, sehingga
ketika melihat orang yang beraktivitas (baca; beramal) dengan nilai skala
priotitas mubah, maka akan dengan mudah menyesatkan dan bahkan mengharamkannya.
Disamping itu, kelompok radikal tersebut juga cenderung mudah untuk berburuk
sangka (suudzhan) terhadap kelompok lain. Dan yang lebih miris lagi,
munculnya sikap mudah mengkafirkan kelompok lain yang berbeda ide, pendapat dan
gagasan dengan kelompoknya. Bahkan mereka juga menganggap kafir pemerintah yang
menganut demokrasi dan mengkafirkan rakyat yang rela terhadap penerapan 25
Masduqi, “Deradikalisasi Pendidikan Islam Berbasis Khazanah Pesantren,” h. 3-4.
26 Menurut Assyaukani (a) Ikonoklasme pehaman secara tekstual terhadap
modernisasi sebagai produk budaya barat yang memiliki kesamaan nilai dengan
berhala-berhala baru yang harus dimusuhi dan dihancurkan; (b) Demonasi
merupakan paham yang menganggap bahwa orang lain, selain mereka adalah syetan,
salah, sesat, kafir, dan berbagai stigma negatif lainnya (hanya merekalah yang
suci dan benar); (c) fatwa kekerasan, merupakan paham radikal yang mempunyai
kecendrungan untuk menyikapi pihak lain yang berbeda dengan keras, karena setiap
yang berbeda akan distigmatisasi sebagai sesat; (d) Konservativisme, merupakan
paham yang menolak untuk melihat Islam dengan pendekatan historis dan
antroposentris. Islam sebagai artefak telah dinyatakan sempurna sejak zaman
Nabi hingga saat ini, karenanya Islam yang otentik adalah Islam yang mereka
pahami sebagai Islam masa lalu; (e) Budaya instan, pemahaman agama yang radikal
ditengarai disebabkan oleh model pembelajaran agama yang instan dan siap saji.
Agama disajikan sebagai doktrin dan dogma yang tidak bisa diperdebatkan; (f)
Puritanisme, pemahaman yang menginginkan untuk memahami Islam secara orisinil,
dari sumber aslinya yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah dengan mengesampingkan hasil
pemikiran dan ijtihad para ulama-ulama terdahulu. Konsekwensi dari sikap ini,
mereka cenderung untuk melihat teks al-Qur’an dan As Sunnah secara harfiyah dan
tekstual. Lebih Lengkap lagi lihat dalam Luthfie Assyaukani, Islam Benar
Versus Islam Salah, (Depok: Katakita, 2007), h. 129-178. 27 Karwadi,
“Deradikalisiasi Pemahaman Ajaran Islam,” h. 144.
│ 7th Metro
International Conference On Islamic Studies (MICIS) 314 M Ihsan Dacholfany
& Ahmad Muzakki Strategi Pendekatan Agama… │Proceding 7th Metro
International Conference On Islamic Studies (MICIS) │315 demokrasi, mengkafirkan
umat Islam di Indonesia yang menjunjung tradisi lokal. Sejatinya, untuk menjadi
muslim kaffah merupakan cita-cita dari setiap umat Islam. Namun,
intepretasi tentang kaffah cukup beragam, sehingga ada yang memaknainya
dengan cara dan bersikap yang berlebihan, keras, serta tidak mau mendialogkan
antara tektual dan kontekstual. Sehingga, cara bersikap kelompok ini dalam ber-amar
ma‟rif nahi munkar, sangat kontras dengan setting social yang ada.
Padahal, Allah swt telah menegaskan dan mewanti-wanti kepada umat Muslim
untuk tidak bersikap dan bertindak demikian.28 Munculnya Gerakan Radikalisme
Agama: Sebuah Tantangan ataukah Harapan? Pada dasarnya gerakan
radikalisme telah mengarungi perjalanan waktu dan masa yang sangat panjang
sejak berabad-abad silam. Secara historis, kita tidak bisa menampik bahwa
keberadaan radikalisme agama tidak dapat dipisahkan dari fakta sejarah
kelompok-kelompok Islam yang bersitegang pasca wafatnya Rasulullah saw. Fakta
sejarah mengungkapkan bahwa keberadaan kelompok-kelompok Islam tersebut dalam
meraih kesuksesan tujuan politis dan atau mempertahankan paham keagamaannya,
menggunakan jalan kekerasan (perang, pembunuhan, dsb). Sementara itu di era
modern ini, menurut Huda muncul dan bangkitnya gerakan radikalisme agama
disangkutpautkan dengan reaksi negatif atas gelombang modernitas yang
memenuhsesaki negara-negara Muslim pada awal abad ke-20. Menurutnya, pengaruh
modernitas ini bukan hanya pada dimensi kultural, tetapi juga dimensi
struktural-institusional, seperti sains dan teknologi serta instrumen modern
lainnya, khususnya pandangan mengenai kesadaran kebangsaan yang melahirkan
konstruksi negara-bangsa modern.29 Meski demikian ada juga yang berasumsi bahwa
munculnya radikalisme karena menguatnya ketidakadilan dan ketidak bebasan yang
diselenggarakan kelompok dominan dalam politik dan ekonomi.30 Bermacam
pandangan mengenai munculnya gerakan radikalisme jika diuraikan akan sangat
panjang, karena tidak luput adanya ―kegagalan‖ proses dialogis, penerapan
ideologi serta konsep faham-faham lain; seperti: liberalism, sosialisme,
marxisme, kolonialisme, modernisme terhadap masyarakat muslim. Diakui oleh
Masduki, bahwa pemicu lain atas munculnya kembali radikalisme di era modern
merupakan efek dari kegagalan ideologi-ideologi yang diterapkan demi tujuan
modernisasi dunia Islam. Memang ideologi-idelogi modern 28 Bahwa Ia (Allah)
menghendaki hal-hal meringankan dan tidak mengendaki hal-hal yang memberatkan
umat-Nya. lebih lengkap dalam QS. Al-Baqarah ayat 185. 29 Nurul Huda Ma’arif,
“Kompas,” November 18, 2002. 30 Andy Hadiyanto, Dewi Anggraeni, and Rizki Mutia
Ningrum, “Deradikalisasi Keagamaan: Studi Kasus Lembaga Dakwah Kampus
Universitas Negeri Jakarta,” “Passion of the Islamic Studies Center”
JPI_Rabbani, n.d.
Proceding 7th
Metro International Conference On Islamic Studies (MICIS) │ 315 M Ihsan
Dacholfany & Ahmad Muzakki Strategi Pendekatan Agama… │Proceding 7th
Metro International Conference On Islamic Studies (MICIS) │316 mengambil peran
penting dalam kemajuan ekonomi dan peningkatan produksi, akan tetapi di sisi
lain mengakibatkan dekadensi moral.31 Kemudian, menyoal tentang penyebab
munculnya gerakan radikalisme di Indonesia khususnya, Zada menengarai ada dua
faktor penyebab, yaitu: faktor intern dan eksteren.32 Sementara
itu, berkaitan dengan semakin ―intens‖ munculnya gerakan radikalisme dikalangan
umat Islam, menurut Azra33 bersumberkan dari beberapa hal, yaitu: (a) Pemahaman
keagamaan yang literal, sepotong–sepotong terhadap ayat-ayat Al-Quran; (b)
Salah membaca terhadap sejarah umat Islam yang dikombinasikan dengan idealisasi
berlebihan terhadap umat Islam pada masa tertentu34; (c) Deprivasi politik,
sosial dan ekonomi yang masih bertahan dalam masyarakat; (d) Masih berlanjutnya
konflik sosial bernuansa intra dan antar agama dalam masa reformasi35; (e)
Keterbukaan informasi, internet dijadikan sasaran oleh kelompok radikal dalam
menyebarkan buku-buku dan informasi tentang jihad. Dengan memperhatikan
beberapa faktor penyebab munculnya gerakan radikalisme agama sebagaimana yang
telah terurai di atas—diakui atau tidak—khusus di Indonesia mulai tumbuh dan
berkembang pasca terjadinya peristiwa reformasi. Peristiwa tersebut seolah
menjadi momentum anti klimaks bagi munculnya berbagai organisasi, kelompok dan
gerakan. Pada satu sisi, hal ini akan berdampak positif untuk pembelajaran
kehidupan di alam demokrasi. Namun pada aspek lain, keberagaman dinamika
berorganisasi dan berkelompok, tidak menutup kemungkinan akan berdampak
negatif. Terlebih 31 Masduqi, “Deradikalisasi Pendidikan Islam Berbasis
Khazanah Pesantren,” h. 5-7. 32 Menurut Zada faktor yang pertama muncul dari
dalam diri umat Islam itu sendiri yang disebabkan adanya penyimpangan
norma-norma agama. Munculnya sekularisme didalam kehidupan menjadi spirit untuk
kembali pada ajaran Islam yang otentik (fundamen). Namun sayangnya, munculnya
spirit ini diberengi dengan pemahaman agama yang bersifat totalistik (kaffah)
dan formalistik yang cenderung bersikap kaku dalam memahami teks-teks agama.
Selain itu, kajian dan pendalaman terhadap agama hanya dipandang dari satu arah
yaitu tekstual, tidak melihat dari berbagai sisi, sehingga sikap dan tindakan
yang muncul harus merujuk pada perilaku Nabi secara literal. Sementara itu,
faktor yang kedua dilatarbelakangi adanya dorongan dari luar terhadap umat
Islam untuk menerapkan syari’at Islam dalam sendi-sendi kehidupan. Lebih
lengkap lihat Khammami Zada, Islam Radikal, Pergulatan Ormas-Ormas Islam
Garis Keras Di Indonesia, (Jakarta: Teraju, 2002), h. 7. 33 Azyumardi Azra,
“Akar Radikalisme Keagamaan Peran Aparat Negara, Pemimpin Agama Dan Guru Untuk
Kerukunan Umat Beragama,” (Makalah Workshop, Memperkuat Toleransi Melaluai
Institusi Sekolah, diselenggarakan oleh The Habibie Center, Hotel Aston Bogor,
Mei 2011). 34 Ini terlihat dalam pandangan dan gerakan salafi, khususnya dalam
spectrum sangat radikal seperti wahabiyah yang mncul di semenanjung Arabia pada
akhir abad 18 awal sampai pada abad 19 dan terus merebak sampai sekarang ini.
Tema pokok kelompok dan sel salafi ini adalah pemurnian Islam, yakni
membersihkan Islam dari pemahaman dan praktek keagamaan yang mereka pandang
sebagai bid’ah, yang tidak jarang mereka lakukan dengan cara-cara kekerasan. 35
Menurut Azra hal ini disebabkan oleh berbagai faktor amat komplek. Pertama,
berkaitan dengan euphoria kebebasan, dimana setiap orang atau kelompok merasa
dapat mengekspresikan kebebasan dan kemauanya tanpa peduli dengan pihak-pihak
lain. Kedua, masih berlanjutnya fragmentasi politik dan sosial khususnya
dikalangan elit politik, sosial, militer, yang terus mengimbas ke lapisan bawah
(grassroot) dan menimbulkan konflik horizontal yang laten dan luas.
Ketiga, tidak konsistennya penegakan hukum. Keempat, meluasnya disorientasi dan
dislokasi dalam masyarakat Indonesia, karena kesulitan-kesulitan dalam
kehidupan sehari-hari. Beberapa factor tersebut berdampak pada orang-orang atau
kelompok yang terhempas dan terkapar ini dengan mudah dan murah dapat melakukan
tindakan emosional, dan bahkan dapat disewa untuk melakukan tindakan melanggar
hukum dan kekerasan. Lihat dalam Azra, “Akar Radikalisme Keagamaan Peran Aparat
Negara, Pemimpin Agama Dan Guru Untuk Kerukunan Umat Beragama,.”
│ 7th Metro
International Conference On Islamic Studies (MICIS) 316 M Ihsan Dacholfany
& Ahmad Muzakki Strategi Pendekatan Agama… │Proceding 7th Metro International
Conference On Islamic Studies (MICIS) │317 lagi jika tidak dibarengi dengan
aturan dan regulasi yang baik untuk mengatur jalannya kehidupan dalam
berorganisasi dan berkelompok, maka akan menimbulkan persoalan dan masalah
sosial yang baru. Salah satu contonya adalah gerakan radikalisme agama
sebagaimana yang sedang mengemuka akhir-akhir ini. Menurut Fealy dan Hooker,
dengan telah terbukanya kran demokratisasi pasca bergulirnya reformasi,
akan menjadi lahan subur bagi tumbuhnya kelompok Islam radikal.36 Meski patut
diakui pula bahwa fenomena radikalisme dapat muncul dari berbagai unsur dan
bermacam ―pemantik‖, misalkan keadaan sosial, ekonomi, politik, perkembangan
teknologi37 dan sebagainya. Meski demikian, gerakan radikalisme dalam Islam di
tanah air, seringkali dinisbahkan dengan persoalan paham keagaman. Peristiwa
dan gerakan radikalisme agama yang sedang mengemuka di Indonesia menjadi
tantangan tersendiri bagi pemerintah dan umat Islam lainnya (baca; yang tidak
pro dengan faham radikal). Sebab, fenomena ini telah mencoreng jati diri umat
Islam Indonesia, yang sejak semula—dalam perspektif historis masuk dan
tersebarnya Islam di nusantara memang melalui jalur-jalur tertentu dan
nirkekerasan—sehingga wajah Islam Indonesia dikenal diberbagai belahan dunia
sebagai Islam yang moderat, toleran, tawasut dan tasamuh. Namun, gara-gara
bayaknya kejadian dan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok
yang berfaham radikal dengan mengatasnamakan Islam, maka menyebabkan Islam
dicap sebagai agama teror dan umat Islam dianggap menyukai jalan kekerasan suci
untuk menyebarkan agamanya.38 Kejadian seperti ini tentu saja merugikan banyak
pihak, baik untuk kalangan umat Islam itu sendiri, pemerintahan dan masyarakat
secara umum. Sejalan dengan itu, munculnya radikalisme agama menjadi tantangan
tersendiri bagi umat muslim Indonesia, untuk menghilangkan stigmasi-stigmasi
negatif yang melekat. Sehingga nama dan visi besar agama Islam tidak
tercoreng lagi dengan adanya aksi-aksi radikalisme. Namun demikian, upaya dan
usaha dalam menangani masalah ini tidak akan terwujud, apabila tidak ada
campurtangan dan melibatkan berbagai unsur serta elemen yang ada. Paling tidak,
untuk meminimalisir dan mempersempit aksi serta gerakan radikalisme, dapat
dilakukan dengan cara membuat dan menerbitkan regulasi-regulasi baru
36 Greg Fealy and Virginia Hooker, eds., Voices of Islam in Southeast Asia:
A Contemporary Sourcebook, (Singapore: ISEAS, 2006), h. 4. 37 Lihat saja
dalam situs-situs internet yang conten-nya berisi propaganda dan ajakan untuk
masuk surga dengan jalan pintas, yaitu menjadi “syuhada” dengan cara menjadi
pembom bunuh diri. Lain dari pada itu, tertulis juga hal-hal ancaman; seperti
jika tidak mau menjalankan jalan terorisme, mereka yang membaca situs-situs itu
akan dikutuk sepanjang hayatnya.Tidak cukup sampai disini, cara dan teknik
membuat bom-pun diajarkan dengan jelas. Sungguh memprihatinkan bahwa pemikiran
para teroris kini justru mendapat tempat di masyarakat. Ada banyak ajakan
menjadi “martir” atau orang kita senang menyebut menjadi“pengantin bom” di
surga, seperti kita perhatikan beberapa tahun teakhir di Indonesia berulang
kali terjadi pemboman tempat-tempat umum oleh sekelompok orang yang diduga
keras sebagai pelaku terorisme di Indonesia. Lebih lengkap lihat Abdul Munir
Mulkhan, Pengantin Bom Dan Radikalisasi Di Indonesia, (Yogyakarta:
Filosofi, 2011), h. 204. 38 Abu Rokhmad, “Radikalisme ISlam Dan Upaya
Deradikalisasi Paham Radikal,” Walisongo, Vol. 20, No. 01, (Mei 2012):
h. 80.
Proceding 7th
Metro International Conference On Islamic Studies (MICIS) │ 317 M Ihsan
Dacholfany & Ahmad Muzakki Strategi Pendekatan Agama… │Proceding 7th
Metro International Conference On Islamic Studies (MICIS) │318 yang kontennya
dapat menjangkau seluruh elemen. Sehingga, ruang gerak, aksi dan sel-sel
radikalisme dapat dilemahkan—bila perlu dapat dihilangkan sama sekali keberadaannya.
Islam sebagai agama samawi yang diturunkan Allah—pada dasarnya tidak
sedikit pun bertujuan untuk menjadikan umatnya agar berperilaku dan bersikap
kaku, keras, mementingkan diri sendiri, serta tidak mau kompromi sebagaimana
yang telah terurai pada ciri khas dan karakter orang-orang yang berfaham
radikal. Sekali lagi, peluang dan harapan Indonesia dalam memulihkan serta
mengembalikan image Islam sebagai agama yang memiliki ―brand‖ Rahmatan
lil „al-amin, masih terbuka lebar. Hanya saja, membutuhkan spirit dan
kerjasama dari berbagai pihak untuk mewujudkanya. “Paling Pintu”
Deradikalisasi: Pendekatan Agama Pada Lembaga Pendidikan Radikalisme
pada dasarnya dapat ―menjangkiti‖ siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. Baik
kepada orang yang memiliki pendidikan dan pengetahuan agama yang luas, maupun
kepada orang yang memiliki keterbatasan pendidikan serta pengetahuan agama.
Namun demikian, Rokhmad mensinyalir bahwa pendidikan dan lembaga pendidikan
berpeluang untuk menjadi penyebar benih-benih radikalisme dan sekaligus
penangkal (baca: deradikalisasi) Islam radikal.39 Karenanya, perlu ada
stretegi, metode, pendekatan ataupun program-program yang dirancang dan disusun
secara serius untuk mencegah tumbuhsuburnya gerakan radikalisme tersebut.
Pendidikan dan lembaganya memang dapat dijadikan pintu masuk untuk mengawali
proses deradikalisasi agama yang sedang ―mewabah‖ di Negara kita. Sebab,
menurut Hendry lembaga pendidikan berperan sebagai sebuah proses social
engineering untuk melakukan penetrasi secara halus (penetration of
pacifque) tentang pandangan dunia, nilai dan gagasan kepada peserta didik,
sehingga mendorong terjadinya proses transformasi pada ranah pemikiran,
kesadaran, sikap dan perilaku.40 Namun kekhawatiran juga muncul. Alih-alih menjadikan
pendidikan dan lembaganya sebagai ―benteng‖ deradikalisasi, tetapi masih kecolongan
juga dengan munculnya lembaga pendidikan yang justru menanamkan faham-faham
radikalisme. Lalu, kira-kira pintu pendidikan dan lembaganya yang mana, yang
harus dimasuki terlebih dulu? Semestinya memang harus dilakukan dari segala
jenjang, yakni formal, informal dan non formal. Upaya itu tidak boleh terfokus
pada level formal semata, sehingga menafikan level informal dan nonformal. Dan
tidak menutup kemungkinan, jika kedua level ini memiliki potensi yang lebih
besar dalam mensukseskan dan meng-goal-kan program serta proses
deradikalisasi agama. 39 Ibid. 40 Eka Hendry AR, “Pengarus Utamaan
Pendidikan Damai (Peaceful Education) Dalam Pendidikan Agama Islam (Solusi
Alternatif Upaya Deradikalisasi Pandangan Agama),” AT-TURATS, Vol. 9,
No. 1 (June 2015), h. 4.
│ 7th Metro
International Conference On Islamic Studies (MICIS) 318 M Ihsan Dacholfany
& Ahmad Muzakki Strategi Pendekatan Agama… │Proceding 7th Metro
International Conference On Islamic Studies (MICIS) │319 Mengapa demikian?
Sebab, pada kedua level ini terdapat institusi-institusi kecil yang sangat
mendasar sifatnya di dalam sistem sosial. Salah satunya adalah pendidikan di
dalam institusi keluarga. Sebagai bagian dari struktur terkecil di dalam
masyarakat, keberadaan pendidikan di dalam keluarga menjadi faktor penting
sebagai ―palang pintu‖ dan ―benteng awal‖ dari program deradikalisasi.
Keterlibatan dan keikutsertaan para orang tua dalam mensosialisasikan gerakan
deradikalisasi agama sejak dini menjadi salah satu bentuk aksi riil untuk
mengantisipasi dan mememinimalisir munculnya bentuk-bentuk radikalisme. Namun
sekali lagi, institusi kecil ini tidak akan dapat berjalan maksimal, apabila
tidak ada koherensi dan sinergitas dengan multiaspek yang lain seperti ekonomi,
sosial, politik, budaya dan agama. Membicangkan proses ikhtiar deradikalisasi
dalam kontek lembaga pendidikan—formal, informal dan nonformal—diperlukan
sebuah pendekatan yang lebih terstruktur dan sistematis. Dalam kerangka
pendidikan formal dan informal, strategi yang perlu dilakukan untuk
mengantisipasi dan mencegah berkembangbiaknya sel-sel radikalisme di
tengah-tengah masyarakat dapat dimulai dari: pertama, penyusunan
kurikulum dan materi pembelajaran berbasiskan deradikalisasi agama. Hal ini
penting dilakukan, mengingat kurikulum dan content-content yang terdapat
pada mata pelajaran menjadi ―menu‖ pilihan yang akan ―dikonsumsi‖ secara continu
oleh peserta didik. Mencermati hal ini, Hendry mengatakan bahwa diantara
wahana untuk menumbuhkan kesadaran tentang perdamaian, anti kekerasan dan
pentingnya persatuan serta kesatuan adalah dengan memasukkan pesan-pesan
perdamaian, toleransi, anti-kekerasan dan kebutuhan hidup bersama secara damai
(life together in harmony) ke dalam muatan mata pelajaran.41 Sejalan
dengan ini, seyogjanya pesan-pesan deradikalisasi agama dapat terintegrasi
kedalam seluruh materi pelajaran yang ada. Dengan kata lain, hal ini tidak
hanya menjadi fokus pada pengajaran materi agama Islam—baik di sekolah maupun
madrasah—dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi sekalipun. Disadari atau
tidak, selama ini content-content deradikalisasi agama yang
mencakup tentang saling menghargai, toleransi (tasamuh), tawasuth dan
saling menghormati serta kerjasama antara pemeluk agama, tampaknya telah
termaktub dalam materi PAI dan pendidikan keagamaan yang ada. Namun demikian,
patut kita akui bahwa content ini baru sekadarnya saja dan masih berupa
sisipan yang dimasukkan dalam pokok-pokok bahasan pada mata pelajaran tersebut.
Maksudnya, pesan tentang deradikalisasi agama masih sebatas formalitas ―kejar
target‖ pencapaian ketuntasan belajar dan belum sepenuhnya diterjemahkan atau
dimaknai sebagai core dari kesadaran untuk berbuat. Dengan demikian,
reformulasi dan redasain kurikulum serta materi pembelajaran berbasis
deradikalisasi agama perlu dilakukan dan perlu dicatat 41 Ibid.
Proceding 7th
Metro International Conference On Islamic Studies (MICIS) │ 319 M Ihsan
Dacholfany & Ahmad Muzakki Strategi Pendekatan Agama… │Proceding 7th
Metro International Conference On Islamic Studies (MICIS) │320 oleh semua pihak
dalam kerangka meninimalisir—bahkan mengilangkan sama sekali bentuk dan
tindakan radikalisme agama. Strategi yang kedua, peningkatan kualitas
sumber daya manusia (SDM) tenaga pengajar (guru ataupun dosen) pada lembaga
pendidikan. Penulis meyakini bahwa selama ini guru atau pun dosen banyak yang
mengetahui pesan-pesan deradikalisasi agama, namun belum terinternalisasi
dengan baik. Persoalan ini berkaitan dengan bagaimana para pendidik
mengaplikasikannya. Diasumsikan ada misperception dan miscommunication
tentang penggunaan metode, strategi dan pendekatan dalam pembelajaran.
Alhasil, pesan-pesan tersebut tidak tersampaikan kepada siswa/mahasiswa,
sehingga deredikalisasi agama belum dipahami secara komprehensif dan tidak
mampu memunculkan output kesadaran siswa/mahasiswa akan hal tersebut.
Oleh sebab itu, berkaitan dengan peningkatan kualitas SDM di institusi
pendidikan formal—mungkin juga informal dan non formal—perlu ada kiat dan upaya
yang harus dilakukan. Pertama, para pendidik perlu di upgrade pengetahuan
dan pemahaman yang luas serta mendalam tentang deradikalisasi agama—baik dari
sisi teori maupun praktik—serta kandungan al-Qur‘an dan hadis-hadis nabi yang
mendeskripsikan gagasan dan pesan (massage) tentang deradikalisasi
agama. Tidak cukup hanya sampai disini, para pendidik juga perlu membaca untuk
memahami, mencermati dan mempelajari praktek-praktek yang mengandung pesan (massage)
deradikalisasi agama dari yang telah dan pernah dipraktekkan oleh Rasul, para khulafaurrayidun
dan para khalifah Islam sesudahnya. Selanjutnya, para pendidik harus mampu
menarik mainstreaming isu deradikalisasi agama kedalam ranah
bentuk-bentuk kegiatan yang praktis, yaitu internalisasi nilai-nilai agama dan
moralitas, sehingga ―program‖ deradikalisasi agama dapat terintegrasi dengan
aspek-aspek lain, dan bukan hanya sekadar isu pinggiran (marginalized issue)
yang hanya diperhatikan oleh pihak-pihak tertentu. Dan yang lebih penting lagi
bahwa deradikalisasi agama jangan hanya menjadi wacana periodic dan temporer,
namun harus segera di terapkan dan dilakukan. Karenanya harus ada political
of recognition dari para stake holder tentang gerakan deradikalisasi
agama. Dengan demikian, semua orang (baca; yang pro gerakan deradikalisasi
agama) akan merasa memiliki kepentingan untuk berbuat, bersikap dan bertindak
dalam mewujudkan cita-cita dan visi Islam rahmatan lil al-amin sebagaimana
yang dikehendaki oleh setiap manusia. Kedua, melakukan pergumulan dengan
peserta didik untuk membahas diskursus-diskursus isu deradikalisasi agama dan
diskursus tentang fiqh toleransi42. Hal-hal tersebut mesti diperkenalkan kepada
para peserta didik yang dimulai sejak dari tingkat dasar hingga perguruan
tinggi yang disesuaikan dengan jenjangnya masing-masing. Oleh karena itu, sudah
sepatutnya para 42 Mengenai Fiqh Toleransi lebih lengkap lihat dalam Zuhairi
Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam Rahmatan Lil’Alamin,
(Jakarta: Pustaka Oasis, 2010), h. 202.
│ 7th Metro
International Conference On Islamic Studies (MICIS) 320 M Ihsan Dacholfany
& Ahmad Muzakki Strategi Pendekatan Agama… │Proceding 7th Metro
International Conference On Islamic Studies (MICIS) │321 pendidik terutama guru
agama dapat memperkenalkan gagasan-gagasan tersebut kepada peserta didik dalam
kerangka membangun kepekaan dan kesadaran tentang arti pentingnya sebuah
kebersamaan, kerjasama, saling menghormati, saling menghargai, dan saling
melindungi antara sesama umat manusia. Selanjutnya, dalam kontek pembelajaran,
materi tentang deradikalisasi agama mestinya disampaikan secara fleksibel—baik
berkenaan dengan pemilihan metode, strategi maupun segi waktu pembelajarannya.
Tujuannya sangat sederhana, yaitu agar peserta didik tersebut dapat
mengkontekstualisasikan dan meresapi kandungan pesan-pesan yang terdapat dari deradikalisasi
agama—baik pada ranah kognitifnya, afektif dan ranah psikomotoriknya. Sehingga
peserta didik dapat berpikir tentang urgensi damai dan konflik, bersikap lebih
terbuka (inklusif), toleran dan rasional serta dapat melakukan berbagai
tindakan dengan muatan damai, seperti kemampuan bekerjasama, berkomunikasi
secara lebih baik dan memiliki kemampuan dalam menyelesaikan masalah (problem
solving) yang muncul di tengah-tengah masyarakat, termasuk radikalisme
agama. Kesimpulan Berdasarkan abstraksi dan anasir-anasir tersebut di
atas, maka dapat penulis simpulkan bahwa gerakan radikalisme agama telah
―menjangkiti‖ sebagian masyarakat Indonesia. Fenomena munculnya gerakan
radikalisme agama di Negara ini di ―pantik‖ atau dilatarbelakangi adanya sikap
pemehaman keagamaan yang tidak komrehensif, ―kegagalan‖ dalam memahami sejarah
umat Islam; kondisi sosial, ekonomi, politik, pendidikan plus dengan
kecanggihan teknologi dan kemudahan akses informasi tanpa batas. Munculnya
radikalisme agama menjadi tantangan tersendiri bagi umat muslim Indonesia,
untuk menghilangkan stigma negatif yang sudah terlanjur melekat. Nama
dan visi besar agama Islam harus di ―sterilkan‖ dari aksi-aksi radikalisme.
Untuk itulah perlu adanya upaya dan usaha dalam meminimalisir dan mempersempit
aksi serta gerakan radikalisme, dengan cara membuat dan menerbitkan regulasi-regulasi
baru yang kontennya dapat menjangkau seluruh elemen. Sehingga, ruang gerak,
aksi dan sel-sel radikalisme dapat dilemahkan—bila perlu dapat dihilangkan sama
sekali keberadaannya. Pendidikan dan lembaganya memang dapat dijadikan pintu
masuk untuk mengawali proses deradikalisasi agama yang sedang ―mewabah‖ di
Negara kita. Sebagai bagian dari struktur terkecil di dalam masyarakat,
keberadaan pendidikan di dalam keluarga menjadi faktor penting sebagai ―palang
pintu‖ dan ―benteng awal‖ dari program deradikalisasi. Sedangkan membicangkan
proses ikhtiar deradikalisasi dalam kontek lembaga pendidikan—formal, informal
dan nonformal—diperlukan sebuah pendekatan yang lebih terstruktur dan
sistematis. Pertama, penyusunan kurikulum dan materi pembelajaran
berbasiskan deradikalisasi agama. Pesan-pesan
Proceding 7th
Metro International Conference On Islamic Studies (MICIS) │ 321 M Ihsan
Dacholfany & Ahmad Muzakki Strategi Pendekatan Agama… │Proceding 7th
Metro International Conference On Islamic Studies (MICIS) │322 deradikalisasi
agama dapat diintegrasikan ke dalam seluruh materi pelajaran yang ada.
Reformulasi dan redasain kurikulum serta materi pembelajaran berbasis
deradikalisasi agama perlu dilakukan dan perlu dicatat oleh semua pihak dalam
kerangka meninimalisir—bahkan mengilangkan sama sekali bentuk dan tindakan
radikalisme agama. Kedua, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM)
tenaga pengajar (guru ataupun dosen) pada lembaga pendidikan. Peningkatan
kualitas SDM di institusi pendidikan formal, perlu ada kiat dan upaya yang
harus dilakukan, yaitu: (1) Para pendidik perlu di upgrade pengetahuan
dan pemahamannya tentang deradikalisasi agama—baik dari sisi teori maupun
praktik. Para pendidik harus mampu menarik mainstreaming isu
deradikalisasi agama ke dalam ranah dan bentuk-bentuk kegiatan praktis, yaitu
internalisasi nilai-nilai agama dan moralitas; (2) Melakukan pergumulan dengan
peserta didik untuk membahas diskursus-diskursus isu deradikalisasi agama. Para
pendidik terutama guru agama dapat memperkenalkan gagasan-gagasan tersebut
kepada peserta didik dalam kerangka membangun kepekaan dan kesadaran tentang
arti pentingnya sebuah kebersamaan, kerjasama, saling menghormati, saling
menghargai, dan saling melindungi antara sesama umat manusia; (3) Materi
tentang deradikalisasi agama mestinya disampaikan secara fleksibel—baik
berkenaan dengan pemilihan metode, strategi maupun segi waktu pembelajarannya.
Referensi
AR, Eka Hendry. ―Pengarus
Utamaan Pendidikan Damai (Peaceful Education) Dalam Pendidikan Agama Islam
(Solusi Alternatif Upaya Deradikalisasi Pandangan Agama),.‖ AT-TURATS Vol. 9, no. 1 (June 2015). A.S.Hornby. Oxford
Advenced, Dictionary of Current English,. UK: Oxford university press,
2000. Assyaukani, Luthfie. Islam Benar Versus Islam Salah,. Depok:
Katakita, 2007. Azra, Azyumardi. ―Akar Radikalisme Keagamaan Peran Aparat
Negara, Pemimpin Agama Dan Guru Untuk Kerukunan Umat Beragama,.‖ Makalah Workshop presented at the Memperkuat Toleransi
Melaluai Institusi Sekolah, diselenggarakan oleh The Habibie Center, Hotel
Aston Bogor, Mei 2011. ———. Konflik Baru Antar Peradaban: Globalisasi,
Radikalisme & Pluralitas,. Jakarta: PT Raja Grafindo Persadah, 2002.
Dacholfany, M. Ihsan. ―Peranan Pengambilan Keputusan Dalam Rangka Menciptakan
Inovasi Di Bidang Pendidikan,.‖ Jurnal
Dewantara, Vol. I, no. 1 (June 2016). ———. ―Reformasi Pendidikan Islam
Dalam Menghadapi Era Globalisasi: Sebuah Tantangan Dan Harapan,.‖ Jurnal Akademika, 20, no. 1 (2015). ―Dua Sekolah
Larang Siswa Hormat Bendera,.‖
Www.metrotvnews.com. Berita, June 6, 2011. Effendi, Edy A. ―Peneliti
LIPI: Anak Muda Indonesia Makin Radikal,.‖
Http://www.uinjkt.ac.id/. Berita, February 19, 2016.
│ 7th Metro
International Conference On Islamic Studies (MICIS) 322 M Ihsan Dacholfany & Ahmad Muzakki Strategi Pendekatan
Agama… │Proceding 7th Metro International Conference
On Islamic Studies (MICIS) │323 Effendy, Bachtiar. Radikalisme:
Sebuah Pengantar,. Jakarta: PPIM IAIN, 1998. Endang Turmudzi. Islam Dan
Radikalisme Di Indoneesia,. Jakarta: LIPI Press, 2004. Fealy, Greg, and
Virginia Hooker, eds. Voices of Islam in Southeast Asia: A Contemporary
Sourcebook,. Singapore: ISEAS, 2006. Hadiyanto, Andy, Dewi Anggraeni, and
Rizki Mutia Ningrum. ―Deradikalisasi Keagamaan: Studi Kasus Lembaga Dakwah
Kampus Universitas Negeri Jakarta,.‖ “Passion of the
Islamic Studies Center” JPI_Rabbani, n.d. Hasani, Ismail, and Bonar Tigor
Naipospos. Radikalisme Agama Di Jabodetabek & Jawa Barat: Implikasinya
Terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan,. Jakarta: Pustaka
Masyarakat Setara, 2010. Jamhari, and Jajang Jahroni, eds. Gerakan Salafi
Radikal Di Indonesia,. Vol. Cet.Pertama,. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004. Kartodirdjo, Sartono. Ratu Adil,. Jakarta: Sinar Harapan,
1985. Karwadi. ―Deradikalisiasi Pemahaman Ajaran Islam,.‖ Al-Tahrir, Vol. 14, no. 1, (Mei 2014). Kurniawan,
Aloysius B. ―Radikalisme Kelanjutan Isu Besar Intoleransi,.‖ Http://print.kompas.com/. Berita, April 1, 2015.
Lestari, Sri. ―Anak-Anak Muda Indonesia Makin Radikal,.‖ Http://www.bbc.com/. Berita CNN Indonesia, February
18, 2016. Linggasari, Yohannie. ―Kemenag Akan Bentuk Pusat Kajian Radikalisme
Di Kampus,.‖ Https://www.cnnindonesia.com/. Berita
CNN Indonesia, June 19, 2015. Ma‘arif, Nurul Huda. ―Kompas,‖ November 18, 2002. M. Ihsan Dacholfany. ―Inisiasi Strategi
Manajemen Lembaga Pendidikan Islam Dalam Meningkatkan Mutu Sumber Daya Manusia
Islami Di Indonesia Dalam Menghadapi Era Globalisasi,.‖ Jurnal At-Tajdid, Vol. 1, no. 1 (June 2017). Masduqi,
Irwan. Berislam Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat Beragama,.
Bandung: Mizan, 2012. ———. ―Deradikalisasi Pendidikan Islam Berbasis Khazanah
Pesantren,.‖ Jurnal Pendidikan Islam Vol.
I, no. 2 (Desember /1434 2012). Misrawi, Zuhairi. Al-Quran Kitab Toleransi:
Tafsir Tematik Islam Rahmatan Lil‟Alamin,. Jakarta: Pustaka
Oasis, 2010. Mulkhan, Abdul Munir. Pengantin Bom Dan Radikalisasi Di
Indonesia,. Yogyakarta: Filosofi, 2011. Muqoyyidin, Andik Wahyun.
―Membangun Kesadaran Inklusif Multikultural Untuk Deradikalisasi Pendidikan
Islam,.‖ Jurnal Pendidikan Islam: Universitas Pesantren Tinggi
Jombang, Vol. 2, no. 1 (June 2013). Nuh, Nuhrison M. ―Faktor-Faktor
Penyebab Munculnya Faham/ Gerakan Islam Radikal Di Indonesia,.‖ HARMONI: Jurnal Multikultural & Multireligius, Vol.
VIII (September 2009). Nyala. ―LIPI: RADIKALISME IDEOLOGI MENGUASAI KAMPUS,.‖ Https://jurnalnyala.wordpress.com/. Bertita, March
31, 2016. Qardhawi, Yusuf. Islam Radikal Analisis Terhadap Radikalisme Dalam
Berislam Dan Upaya Pemecahannya,. Edited by Hawin Murtadho. Solo: Era
Intermedia, 2004. Qodir, Zuly. ―Deradikalisasi Islam Dalam Perspektif
Pendidikan Agama,.‖ Jurnal
Pendidikan Islam Vol. 1, no. 2 (Desember 2012). ―Radikalisme Ideologi
Menguasai Kampus,.‖ Http://lipi.go.id/.
Berita, n.d.
Proceding 7th Metro International
Conference On Islamic Studies (MICIS) │ 323 M Ihsan Dacholfany
& Ahmad Muzakki Strategi Pendekatan Agama… │Proceding 7th Metro International Conference On Islamic
Studies (MICIS) │324 ―Radikalisme
Ideologi Menguasai Kampus,.‖ Http://lipi.go.id/berita/single/Radikalisme-Ideologi-Menguasai-Kampus/15082.
Berita CNN Indonesia, February 18, 2016. Rokhmad, Abu. ―Radikalisme
ISlam Dan Upaya Deradikalisasi Paham Radikal,.‖ Walisongo, Vol.
20, no. 01, (Mei 2012). Rubaidi, A. Radikalisme Islam, Nahdatul Ulama Masa
Depan Moderatisme Islam Di Indonesia,. Yogyakarta: Logung Pustaka, 2007.
Tim Penyusun Pusat Pengembangan Bahasa. ―Kamus Besar Bahasa Indonesia,.‖ Jakarta: Depdikbud & Balai Pustaka, 1998. Turmudzi,
Endang, and Riza Sihbudi, eds. Islam Dan Radikalisme Di Indonesia,.
Jakarta: LIPI Press, 2005. Zada, Khammami. Islam Radikal, Pergulatan
Ormas-Ormas Islam Garis Keras Di Indonesia,. Jakarta: Teraju, 2002.
│ 7th Metro International Conference On Islamic Studies
(MICIS) 324
Tidak ada komentar:
Posting Komentar